Jumat, 29 September 2017, bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan ketiga Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VIII: Menyoal Ekofeminisme disambut antusias dan aktif oleh seluruh peserta kelas ini. Nur Hidayati atau yang akrab disapa Yaya, selaku Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menjadi pengampu kelas pada malam hari itu. Yaya menyampaikan presentasinya pada malam itu dengan tema Perjuangan “Lingkungan Hidup” yang Feminis. Yaya yakin bahwa perempuan dan kerusakan ekologi memiiliki hubungan yang cukup erat dikarenakan kerusakan ekologi dan lingkungan yang terjadi pada saat ini jauh lebih merugikan perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga butuh adanya perjuangan melestarikan lingkungan yang berperspektif feminis untuk kesejahteraan perempuan. Yaya membuka kelas pada malam itu dengan pemaparan data Walhi mengenai bencana ekologis (bencana ekologis adalah bencana alam yang tidak bisa dicegah seperti gunung meletus atau tsunami dan juga bencana alam yang terjadi karena campur tangan manusia karena merusak keseimbangan alam seperti banjir, longsor, dll) yang menimpa Indonesia pada tahun 2016 lalu, bahwa ternyata sudah terjadi 2.342 bencana ekologis sepanjang tahun 2016 dan menyebabkan kematian sebanyak 522 jiwa serta sekitar 3 juta jiwa harus mengungsi dan menderita akibat bencana ekologis yang terjadi. Jika merujuk pada data yang dimiliki oleh Walhi, maka akan terlihat jelas bahwa bencana ekologis yang terjadi di Indonesia selama tahun 2002-2016 terus meningkat terutama bencana alam yang dipicu oleh perilaku manusia seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung (disebabkan oleh faktor pemanasan global). Hal ini menunjukkan bahwa manusia salah dalam mengelola lingkungan dan alamnya, sehingga menyebabkan bencana ekologis. Salah satu faktor penyebab kerusakan alam dan lingkungan oleh manusia adalah karena adanya ketimpangan ekonomi-politik di seluruh dunia. Secara mudah dapat diartikan bahwa ketimpangan ekonomi-politik, ini akhirnya menyebabkan korporasi mengeksploitasi alam secara masif untuk mendapatkan profit secara besar-besaran sehingga korporasi akan melihat alam sebagai komoditas yang harus terus-menerus dieksploitasi tanpa memikirkan konservasi dan perbaikan atas kerusakan alam yang telah mereka lakukan. Ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan oleh korporasi ini akhirnya menyebabkan sumber-sumber agraria dan sumber daya alam lainnya dikuasai oleh korporasi. Hal ini bisa terus berlangsung karena kebijakan dan peraturan perundang-undangan di sektor agraria dan pengelolaan sumber daya alam berpihak pada korporasi dengan dalih pembangunan infrastruktur dan membuka lapangan baru bagi masyarakat luas. Pada akhirnya negara melalui institusi pemerintahannya, menjadi bagian dari konflik agraria dan sumber daya alam yang secara tidak langsung berkontribusi pada bencana ekologis yang terjadi saat ini. Yaya mengungkapkan hubungan antara penguasaan sumber kehidupan alam dengan manusia bisa dianalisis dengan menggunakan teori Ekologi Politik. Yaya mengutip ini dari Mia Siscawati, seorang dosen Kajian Gender Universitas Indonesia yang berkonsentrasi pada perjuangan lingkungan dan feminisme. Menurut Yaya teori Ekologi Politik sebagai pisau analisis mulai dikembangkan pasca tahun 1945 dan merupakan pertemuan antara tiga pendekatan yaitu Cultural Ecology (Anthropology & Geography), Community/Human Ecology dan Hazards/Disasters Studies. Pada awalnya, teori Ekologi Politik dikembangkan untuk menganalisis masalah akses dan kontrol sumber daya alam dan pengembangan dari pendekatan ekonomi politik. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan Ekologi Politik digunakan untuk mengkaji aspek politik, ekonomi, dan sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan hidup dan deplesi kekayaan alam. Kajian Ekologi Politik kontemporer meletakkan komunitas tidak hanya sebagai objek dari kekuasaan, regulasi dan kepemerintahan. Komunitas tidak dilihat sebagai entitas tunggal yang homogen, tapi entitas plural yang heterogen (terbentuk akibat perbedaan kelas sosial, etnisitas, umur, jenis kelamin, status perkawinan, wilayah hidup, mempunyai kedekatan dengan pusat kekuasaan atau tidak). Teori Ekologi Politik ini secara sederhana bertujuan untuk melihat bahwa peradaban masyarakat saat ini tidak bisa dilihat secara hierarkis (anggapan bahwa masyarakat kota lebih penting dari masyarakat desa, misalnya) karena misalnya seperti hal makanan, rantai makanan masyarakat di perkotaan masih bergantung pada masyarakat desa sehingga kesejahteraan dan kelestarian ekologis harus diperhatikan untuk kebaikan bersama. Menurut Yaya, untuk meneruskan perjuangan lingkungan hidup yang feminis, teori Ekologi Politik ini bisa dijadikan pisau analisis pertama sebelum menaruh perspektif feminis di dalam kerangka berpikirnya. Teori Ekologi Politik Feminis sendiri merupakan kerangka pikir feminis yang digunakan untuk mengeksplorasi pengetahuan perempuan tentang tubuhnya, relasi tubuh perempuan dengan alam, dan pengetahuan perempuan (baik individu maupun kolektif) dalam pengurusan alam dan sumber-sumber kehidupan. Pengalaman pribadi perempuan, termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi khas perempuan, termasuk pengetahuan perempuan mengenai alam yang selama ini lekat dengan diri mereka. Pada teori Ekologi Politik Feminis, perempuan tidak dianggap sebagai entitas yang homogen. Aspek kelas, etnisitas, usia, seksualitas, status perkawinan, wilayah hidup, merupakan aspek penting yang membuat setiap perempuan memiliki keragaman pengalaman, peran, fungsi, dan posisi sehingga perbaikan hidup perempuan harus menjadi fokus dalam upaya perjuangan keadilan ekologis. Perjuangan keadilan ekologis yang feminis ini masih terus dihadapkan dengan pandangan Anthroposentris, yang melihat bahwa manusia adalah pusat kehidupan sehingga alam bebas untuk dieksploitasi demi kemakmuran umat manusia. Pandangan ini harusnya diubah menjadi pandangan Ecosentris yang melihat bahwa manusia dan alam sama pentingnya karena manusia dan alam memiliki interaksi dan hubungan timbal balik yang sama-sama menguntungkan untuk keberlangsungan kehidupan manusia, terutama perempuan yang selama ini lebih dirugikan akibat kerusakan dan bencana ekologis yang terjadi. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |