Kamis (31/05), kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) seri “Feminisme dan Agama” pertemuan kedua diselenggarakan di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Kelas kedua diampu oleh Prof. Musdah Mulia, seorang feminis muslim dan guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Musdah Mulia memulai kelasnya dengan memperkenalkan berbagai bentuk ketidakadilan gender yang ada di masyarakat dan sejauh mana peran interpretasi agama dalam memperkuat kultur patriarki tersebut. “Nilai femininitas dan maskulinitas tidak ada hubungannya dengan takdir atau kodrat, nilai-nilai tersebut merupakan konstruksi budaya”, tutur Musdah Mulia. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa konsep dan peran gender merupakan konstruksi sosial. Menurutnya peran dan relasi gender yang timpang dibangun dan dilestarikan melalui nilai-nilai budaya, pola asuh, sistem pendididkan, norma hukum dan interpretasi ajaran agama yang bias. Ia menjelaskan bahwa islam menginginkan pola relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan, yaitu laki-laki dan perempuan saling menghargai dan menghormati dalam ketulusan bukan dalam ketertindasan satu pihak. Perempuan yang dikenal namanya dengan berbagai aktivisme kemanusiaan dan keagamaan ini menjelaskan konsep Tauhid sebagai jalan keluar atas berbagai interpretasi agama islam yang bias. Menurut Musdah Mulia, pada Abad ke-7 Masehi, Nabi Muhammad SAW telah membawa misi kemanusiaan melalui ajaran islam. Konsep Tauhid yang dibawa Rasulullah memiliki implikasi terhadap kesetaraan antara manusia karena: “Tiada Tuhan Selain Allah SWT”. Artinya semua manusia sama, setara, semuanya adalah sama-sama ciptaan. Maka manusia bukanlah Tuhan bagi manusia yang lainnya. Raja bukanlah Tuhan bagi rakyat, suami bukanlah Tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah Tuhan bagi orang miskin, majikan bukanlah Tuhan bagi PRT. Semua manusia memiliki posisi yang setara. Maka Tauhid atau ajaran tentang ketuhanan memiliki implikasi terhadap kesetaraan dan keadilan antar manusia. Kemudian, Musdah Mulia juga menjelaskan bahwa konsep Tauhid yang dibawa Rasulallah tersebut juga merupakan gugatan atas hierarki dalam masyarakat yang feodalistik pada Abad ke-7 Masehi tersebut, yaitu masyarakat yang melakukan praktik perbudakan. Dalam peradaban modern norma tentang Hak Asasi Manusia baru muncul setidaknya pada 10 Desember 1948. Sedangkan menurut Musdah Mulia, konsep Tauhid bukan hanya menyoal tentang ketuhanan yang tunggal, tapi maknanya lebih dari itu, yaitu dengan konsep tuhan yang tunggal maka semua manusia adalah sama, maka dari itu konsep Tauhid adalah juga gagasan tentang Hak Asasi Manusia “Tauhid menjadi kata kunci dalam memahami persoalan keagamaan. Sama seperti persoalan ketimpangan gender, Islam mengakui ada fungsi biologis berbeda diantara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan bukan untuk mendiskriminasi, lihat surah Al-Imran ayat 195”, tutur Musdah Mulia. Selain itu, Musdah Mulia lebih menyarankan untuk melihat teks Alquran tidak kaku, artinya kita perlu melihat makna dan visi dibalik teks tersebut. Menurutnya Islam sendiri sebagai sebuah ajaran agama memiliki kontribusi terhadap perempuan antara lain: perempuan adalah pemimpin, pemilik, subjek, merdeka, dan mandiri. Musdah menjelaskan bahwa ajaran tentang mahar merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap eksistensi perempuan. Sebelum Islam datang, mahar dalam pernikahan adalah milik wali perempuan yaitu ayahnya atau saudara laki-lakinya. Namun setelah Islam datang, mahar merupakan hak sepenuhnya istri/perempuan. Dengan demikian artinya perempuan diakui sebagai manusia yang memiliki hak atas aset. Lalu ajaran tentang hak waris, Musdah Mulia menjelaskan bahwa dalam tradisi Jahiliyah perempuan tidak memiliki hak waris, bahkan pada zaman itu istri merupakan benda yang diwariskan—kalau suaminya meninggal, sang istri diwariskan pada saudara laki-laki, entah sebagai istri atau budak. Kemudian menyoal poligami, Musdah menjelaskan bahwa pada zaman Jahiliyah, masyarakat Arab adalah masyarakat poligami dan justru menurutnya ayat tentang poligami memiliki visi yang monogami. Artinya memiliki istri satulah yang paling dekat dengan kemuliaan. “Nabi tidak poligami selama 28 tahun, kemudian di enam tahun terkahir masa kenabian baru ada pernikahan lagi, itu pun karena dalam kondisi genting yaitu perang yang memang tujuannya untuk memerdekakan perempuan budak. Jadi kalau ada argumen poligami itu sunah nabi, kenapa yang diujung saja yang dibicarakan, yang 28 tahun bersama Siti Khadijah tidak pernah dibicarakan”, tegas Musdah Mulia. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |