Komunitas Jejer Wadon bersama elemen mahasiswa dan aktivis perempuan dan anak serta kelompok masyarakat kembali menggelar aksi budaya berupa pembacaan puisi dan orasi. Tak hanya itu, aksi juga menggalang pembubuhan tanda tangan sebagai bentuk solidaritas kepada para korban di Solo Car Free Day, Minggu pagi (22/5). Menyikapi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak seperti pembunuhan atas YY (14) di Bengkulu, kasus di Lampung Timur, pemerkosaan dan pembunuhan atas MS (10) di Gorontalo. Termasuk juga kasus yang terjadi di Kecamatan Jebres Kota Surakarta pada 8 Mei 2016 yakni pencekokan minuman keras (miras) kepada tiga orang siswa kelas tiga SMP oleh delapan orang laki-laki. Komunitas Jejer Wadon lewat koordinator aksinya, Yuliana Paramayana berpendapat bahwa maraknya kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini terhadap perempuan dan anak-anak harus mendapatkan perhatian yang sangat serius dari berbagai pihak seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam pernyataan sikapnya Jejer Wadon juga mendorong agar pendidikan seksual sejak dini diberikan kepada remaja di sekolah dan masuk dalam kurikulum. Sikap pemerintah saat ini dapat dikatakan terlambat karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual awalnya tidak mendapat respons yang baik. Baru setelah marak terjadi kasus kekerasan dan gencarnya para aktivis menyerukan darurat kekerasan seksual, maka RUU ini masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2016, demikian Yuliana Paramayana menambahkan. Terkait penanganan kasus oleh para penegak hukum terlihat adanya kesan tebang pilih, karena kasus kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah tapi juga menengah ke atas. “Sedangkan kenyataan hukum tidak berpihak kepada yang lemah dan masih tumpul ke bawah. Ini sungguh tidak adil,”pungkas Yuliana Paramayana. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |