Kemitraan Indonesia bersama Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan Diskusi Publik dengan tema “Perempuan Desa Gambut” dalam rangka merayakan Hari Perempuan Pedesaan Internasional pada Senin (15/10) di Conclave TB Simatupang. Kegiatan ini juga diselenggarakan sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi perempuan desa gambut dalam pembangunan desa serta guna menelaah lebih jauh persoalan dan kerentanan yang dihadapi perempuan desa gambut. Kegiatan ini juga mengundang secara khusus perempuan penganyam purun dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan untuk memamerkan dan menjual anyaman purun. Sebagai pembuka, acara ini dimulai oleh sambutan dari Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Kemitraan Indonesia Monica menyatakan bahwa isu perempuan desa gambut penting untuk diperbincangkan. “Di tengah kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, perempuan dan anak perempuan di pedesaan gambut adalah kelompok-kelompok yang paling rentan, namun keberadaan dan persoalan yang mereka alami sering tak nampak dan tak terperhatikanterdampak. Mereka mengalami dan merasakan langsung dampaknya, tetapi isu ini jarang dibicarakan, jarang diperhatikan. Untuk itu dalam diskusi ini saya berharap kita tidak sekadar memaparkan persoalan yang mereka hadapi tetapi tiba pula pada solusi.,” tutur Monica. Menurutnya, masyarakat desa gambut menghadapi ancaman kebakaran hutan dan perubahan iklim yang nyata, dan hal tersebut menurutnya memperparah kondisi rentan perempuan dan anak. Kemudian, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro dalam sambutannya mengucapkan terima kasih kepada Kemitraan--yang selama ini mendampingi perempuan desa gambut---atas kesediaannya mendukung acara diskusi dalam rangka menyebarkan pengetahuan publik terhadap isu perempuan desa gambut. Myrna Asnawati, Deputi III dari BRG (Badan Restorasi Gambut) dalam kesempatan tersebut memberikan pemaparan mengenai bagaimana posisi perempuan dalam restorasi gambut. BRG berkomitmen mengembalikan dan memulihkan lahan gambut yang terdampak. Berbicara gambut bukan berbicara mengenai kelompok atau stakeholders, melainkan berbicara semua lapisan masyarakat, berbicara tentang kepedulian kepada yang lain. Kepedulian terhadap gambut menurut Myrna nampak dari para perempuan desa. Oleh sebab itu, BRG berupaya mendorong agar perempuan terlibat dalam restorasi gambut. Keterlibatan perempuan dalam restorasi gambut yang dimaksudkan Myrna bukan sekadar peningkatan kuantitas perempuan yang terlibat tetapi juga terhadap akses manfaat yang proporsional. Namun menurut Myrna hambatan kultural adalah salah satu yang menghambat hal tersebut. Melibatkan perempuan bukan hal yang mudah sebab tidak banyak perempuan yang mau dan/atau diizinkan oleh keluarganya terlibat dalam kegiatan restorasi gambut. Walaupun demikian BRG terus berupaya memberdayakan perempuan desa gambut, misalnya melalui pelatihan-pelatihan dan memperkuat roda kegiatan ekonomi di desa yang berbasis sumber daya agar lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Diskusi publik ini menghadirkan Catharina Indirastuti (spesialis gender Kemitraan Indonesia), Rusmina (Perempuan Penganyam Purun Kalimantan Selatan), dan Misiyah (Direktur Eksekutif Institut Kapal Perempuan) sebagai pembicara dan Atnike Nova Sigiro sebagai moderator. Atnike mengantarkan diskusi dengan dengan menyatakan bahwa 15 Oktober sebagai Hari Perempuan Pedesaan Internasional. Peringatan ini menurutnya adalah bentuk pengakuan dan pemberdayaan perempuan pedesaan yang perlu diapresiasi, sebab dalam kehidupan bersama, eksploitasi dan ketidakadilan pada perempuan desa jarang dibicarakan--perempuan pedesaan adalah kelompok yang sering terabaikan. Padahal perempuan dan juga desa adalah tulang punggung masyarakat. Perayaan Hari Perempuan Pedesaan Internasional adalah momentum pengakuan atas eksistensi perempuan desa. Atnike menyatakan harapannya bahwa peringatan ini menguatkan pula komitmen negara Indonesia untuk memberdayakan para perempuan desa. Diskusi dimulai dengan paparan dari Catharina Indirastuti yang menjelaskan sejumlah persoalan masyarakat di desa gambut khususnya perempuan. Catharina menjelaskan bahwa Indonesia memiliki 20 juta Ha lahan gambut yang tersebar dari Sumatra hingga Papua. Dengan luas ini, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di Asia Tenggara, dan pada peringkat empat di dunia. Catharina menyatakan bahwa gambut memiliki peran penting dalam ekosistem. Pertama, gambut mengandung karbon dua kali lebih banyak daripada hutan yang ada di seluruh dunia, sehingga bila gambut dikeringkan, ia akan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Kedua, gambut memiliki sifat seperti spons yang dapat menyimpan air, mencegah terjadinya banjir, dan menjamin pasokan air bersih sepanjang tahun. Ketika musim hujan gambut akan menahan air dan ketika musim kemarau gambut akan melepaskan air. “Kubah Gambut di sumatera kubah gambut yang ada di Kalimantan, Sumatera, dan Papua dapat diibaratkan waduk yang dapat menyimpan jutaan kubik air hujan. Namun kita tidak menyadari fungsi tersebut. Selain kedua fungsi tersebut, gambut merupakan ruang hidup bagi berbagai unsur biotik dan abiotik. Ekosistem di lahan gambut merupakan rumah bagi beranekaragam spesies flora dan fauna, termasuk beragam spesies langka, seperti orang utan dan harimau sumatra,” tutur Chatharina. Lebih jauh, Catharina menjelaskan bahwa kesalahan tata kelola gambut tidak hanya berdampak secara ekologis tetapi juga secara sosial. Menurutnya pengeringan gambut yang selama ini dilakukan berorientasi pada pemanfaatan lahan dan melupakan prinsip tata kelola lahan yang berkelanjutan. Pengeringan lahan gambut berdampak pada pemanasan global, memperpanjang musim kemarau, meningkatnya risiko kebakaran hutan, tercemarnya tanah dan air, hilangnya pengetahuan lokal, dan berubahnya etos dalam bercocok tanam. Artinya, degradasi ekosistem gambut menyebabkan kerentanan ekologi, kerentanan budaya, kerentanan sumber kehidupan dan penghidupan dan kerentanan berbasis gender. Menurut Catharina perempuan desa gambut adalah kelompok yang paling terdampak dari kerusakan lahan gambut. “Kerusakan lahan gambut membuat perempuan tercerabut dari kerja-kerja pertanian dan beralih profesi menjadi buruh harian lepas di perkebunan sawit. Para laki-laki desa gambut bermigrasi untuk mencari sumber penghidupan baru, meninggalkan perempuan dan anak-anak di desa, implikasinya adalah meningkatnya jumlah perempuan kepala keluarga,” jelas Catharina. Kerusakan lahan gambut dengan demikian memiskinkan perempuan dan menghilangkan kemandirian pangan, dan mengancam kesehatan perempuan juga anak. Mengacu pada data Koalisi perempuan, Catharina menyatakan bahwa daerah-daerah gambut seperti misalnya Kalimantan Selatan merupakan daerah dengan angka perkawinan anak tertinggi, memiliki angka stunting tinggi, dan angka putus sekolah yang tinggi. Lebih jauh, hilangnya pengetahuan perempuan akibat hilangnya lahan gambut berimplikasi pada hilangnya tanaman-tanaman yang dekat dengan perempuan, obat-obatan dari alam, bahan baku anyaman, bahan pangan lokal. Kemudian, paparan selanjutnya oleh Rusmina dan Lisa (Perempuan Penganyam Purun Kalimantan Selatan). Rusmina dan Lisa mewakili perempuan penganyam purun di desanya, mengatakan bahwa tanaman purun penting bagi keberlangsungan ekonomi dan pengetahuan perempuan sebab purun adalah bahan utama untuk membuat anyaman bakul, tas, topi, atau tikar--dengan keterampilan menganyam yang dikuasai perempuan Banjar di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Budaya menganyam sudah dikenal sejak 500 tahun lalu di Banjar. Keberadaan purun ini bergantung pada kelestarian gambut. Dengan demikian degradasi lahan gambut membuat rentan para perempuan penganyam purun, sebab purun adalah sumber penghidupan bagi banyak perempuan. Mereka terlibat pada pada proses pencarian, pengambilan, penjemuran, penganyaman, membeli dan mengepul, hingga menjual di pasar-pasar mingguan atau pasar kerajinan. Misiyah, Direktur Institut KAPAL Perempuan dalam kesempatan tersebut juga memaparkan tentang pentingnya pelibatan perempuan dalam tata kelola desa demi tercapainya keadilan gender. Menurutnya perlu sejumlah upaya serius untuk memastikan keterlibatan perempuan dalam menentukan kebijakan dan anggaran desa. Bersama KAPAL Perempuan, Misiyah memberdayakan perempuan melalui program sekolah perempuan. Tujuannya adalah menumbuhkan kesadaran kritis, komitmen, kesadaran politik, dan kesadaran tentang keadilan gender di diri para perempuan. Sekolah perempuan menyasar perempuan desa yang terpinggirkan tujuannya agar para perempuan dapat terlibat pada ruang partisipasi seperti Musdes, Musrenbang, dan pada kelompok atau forum independen. Proses aksi kolektif yang dilakukan para perempuan bersama sekolah perempuan telah menghasilkan sejumlah capaian diantaranya adalah lahirnya kebijakan anggaran tingkat desa, kabupaten, kecamatan dan nasional. Hingga saat ini telah hadirnya 130 rancangan dan kebijakan yang pro masyatakat miskin dan responsif gender. Atnike sebagai moderator menutup dikusi publik Perempuan Desa Gambut dengan memberikan apresiasi pada seluruh narasumber dan peserta diskusi. Menurutnya Perayaan Hari Perempuan Pedesaan Internasional yang diselenggarakan oleh Kemitraan Indonesia dan Jurnal Perempuan kali ini merupakan wadah penting dimana pengetahuan para narasumber dan pengalaman perempuan perempuan penganyam desa purun dielaborasi dan disebarkan. Diskusi ini adalah salah satu dari sekian banyak upaya mendorong keadilan gender bagi perempuan desa secara khusus dan kepada seluruh perempuan secara umum. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |