Pada Rabu (24/07/2024) lalu, Konde.co, media daring yang mengusung perspektif perempuan dan kelompok minoritas, meluncurkan buku “Panduan Peliputan Pemilu Berperspektif Gender dan Inklusi untuk Jurnalis”. Kegiatan yang didukung oleh British Embassy Jakarta tersebut dilaksanakan secara hybrid di Hotel Akmani, Menteng, Jakarta Pusat, serta daring melalui platform Zoom dan kanal YouTube Konde Institute, menggandeng Anita Dhewy (Wakil Pemimpin Redaksi Konde.co). Acara ini menghadirkan pembicara, yaitu Hendriana Yadi (Dewan Pers), Lilis Listyowati (Kalyanamitra), dan Yuni Setia Rahayu (Politisi PDIP, Wakil Bupati Sleman 2010-2015), serta Sonya Helen (Jurnalis Harian Kompas) sebagai penanggap. Nabila Wahyu Apriyanti (Executive Manager Konde.co) melalui pidato pembukanya menyampaikan bahwa, “Buku panduan yang dapat diikuti dan juga actionable oleh para jurnalis dan rekan media dalam melakukan peliputan pemilu dan pilkada tanpa mengabaikan perspektif gender, serta inklusi adalah hal yang perlu kita pastikan tetap ada.”
Dirinya menambahkan bahwa pemilu merupakan momen yang sangat penting untuk memastikan suara perempuan dan kelompok marginal agar tidak hanya didengar, tetapi juga memiliki dampak yang nyata dalam proses demokrasi Indonesia, utamanya tahun 2024 ini. Suara perempuan sejatinya jauh melampaui sekadar tokenisme, tetapi mampu mengkonstruksi demokrasi yang representatif tanpa meminggirkan pengalaman valid mereka. Sebagai moderator, Salsabila Putri Pertiwi (Redaktur Konde) mulai memandu kegiatan peluncuran dengan mengundang para pembicara untuk mengupas situasi pemilu tahun ini, serta andil media dalam mendorong teraktualisasinya perspektif gender dan inklusi. Yuni Setia Rahayu (Politisi PDIP, Wakil Bupati Sleman 2010-2015) melalui pemaparannya menguak pengalaman dan tantangan perempuan dalam politik praktis di Indonesia. Sebagai wakil bupati perempuan pertama di Sleman, Yuni membagikan pengalamannya sebagai politisi perempuan yang menghadapi berbagai hambatan, salah satunya tantangan dalam penggunaan hijab. Di samping itu, stigma-stigma yang didasarkan pada tafsir misoginis terhadap agama juga berkelindan menjadi hambatan tersendiri bagi Yuni dan rekan-rekan perempuan sejawatnya. Narasi media yang menggambarkan perempuan sebagai kelompok yang tidak layak menjadi pemimpin pun turut memperkeruh kondisi ini, utamanya menggoyahkan sudut pandang masyarakat sebagai calon pemilih. Lilis Listyowati (Kalyanamitra) pada gilirannya memaparkan pandangannya mengenai konsepsi pemilu yang inklusif. Dirinya menyegarkan pemikiran partisipan dengan mengulas kembali perihal definisi inklusif, yakni mengikutsertakan semua elemen masyarakat tanpa adanya pembedaan atas dasar apapun. Inklusif juga tidak hanya tercermin melalui konteks fisik manusianya, tetapi juga substansi seperti sarana prasarana, program, dan lain sebagainya. Lilis juga memaparkan hasil studi oleh Kalyanamitra, Flower Aceh, LAPPAN Ambon, dan Solidaritas Perempuan Anging Mamiri Makassar yang menemukan adanya 8 bentuk kekerasan berbasis gender dalam pemilu 2024. Kekerasan tersebut di antaranya intimidasi terhadap perempuan dan kelompok rentan, diskriminasi baik kepada perempuan penyelenggara pemilu maupun caleg perempuan, narasi seksis terhadap caleg perempuan, kekerasan seksual, kekerasan di ranah privat, mobilisasi perempuan dan kelompok rentan untuk perolehan suara, pemungutan suara yang tidak inklusif, hingga beban kerja berlebih pada penyelenggara pemilu. Penekanan pada pemungutan suara yang tidak inklusif itu bagi Lilis tercermin melalui jarak Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang terlalu jauh, kotak suara yang terlalu tinggi, ketiadaan kertas suara khusus netra, hingga stigma negatif pada pemilih dari kelompok LGBTQ+. Hendriana Yadi (Dewan Pers) melalui gilirannya menekankan perihal peran penting pers dalam pemilu utamanya untuk mewujudkan pemilu yang berlangsung secara sehat dan adil. Ia menyoroti situasi pesatnya perkembangan buzzer dalam menyebarkan hoaks selama periode pemilu yang membuat kedudukan pers menjadi semakin relevan. Dalam konteks ini, pers memiliki tanggung jawab penting dalam memberikan perspektif yang setara dan seimbang untuk kepentingan semua lapisan masyarakat, termasuk perempuan dan kelompok minoritas lainnya sebagai pemegang hak politik yang sama. Pers yang kredibel juga dapat berperan menjadi filter yang efektif terhadap kekeliruan informasi, menciptakan analisis berita yang mendalam, dan ruang untuk dialog yang konstruktif. Melalui pemberitaan yang baik dan seimbang, pemilih dapat terbantu untuk mengambil keputusan dengan informasi yang akurat sehingga pemilu menjadi lebih transparan dan akuntabel. Sementara, Anita Dhewy (Wakil Pemimpin Redaksi Konde.co) mengupas secara khusus buku panduan peliputan pemilu yang berperspektif gender dan inklusi ini. Anita memaparkan data dari Konde.co yang menunjukkan bahwa media selama ini cenderung menyorot caleg-caleg perempuan sebatas atribut fisik semata, alih-alih substansi yang mereka tawarkan melalui program kerjanya. Selaras dengan pembicara-pembicara sebelumnya, Anita turut menegaskan bahwa ruang redaksi memiliki peranan krusial dalam memandu jurnalis menyorot isu pemilu dengan perspektif gender dan inklusi. Sonya Helen Sinombor (Jurnalis Harian Kompas) sebagai penanggap menyampaikan bahwa buku panduan peliputan berbasis gender dan inklusi untuk jurnalis pada akhirnya menjadi karya yang diperlukan hari-hari ini sehingga media mampu meneropong isu pemilu maupun pilkada ke depan dengan merekognisi pengalaman dan suara perempuan. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |