Jakarta (4/3), Cakra Wikara Indonesia (CWI) mengadakan seminar tentang status agenda politik perempuan seusai Pemilu 2019 di Hotel Akmani. Diskusi yang didukung Kedutaan besar Kanada untuk Indonesia inimemperbincangkan dua persoalan mendasar tentang politik perempuan, yakni tentang representasi pasif dan representasi aktif perempuanDalam sambutannya, Anna Margret selaku ketua CWI menyatakan bahwa kedua persoalan tersebut bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam mempersoalkan politik perempuan. CWI melakukan kerja-kerja dalam upaya mendorong perubahan pada representasi pasif yaitu mendorong kehadiran perempuan secara kuantitatif, namun di saat yang bersamaan memastikan perempuan yang terpilih untuk mendorong agenda-agenda politik perempuan agar terjadi perubahan dalam tata kelola politik di Indonesia. Anna Margret menyatakan bahwa ada beberapa persoalan yang penting untuk diperbincangkan tentang politik perempuan, dinataranya persoalan krisis sumber rekrutmen caleg perempuan dan upaya mendorong peningkatan keterwakilan berbasis jumlah. “Saat ini dari total 575 anggota DPR-RI, kita memiliki 123 anggota legislatif perempuan di DPR-RI. Berdasarkan hasil pemilu 2019, CWI melihat bahwa ketika kita bicara soal kebijakan afirmatif, kita menghadapi persoalan mulai dari sebelum masa Pemilu, yaitu pada masa pencalonan. Tahap ini adalah tahap kritis sehingga menurut CWI, meskipun pemilu berikutnya masih di tahun 2024, penting agar mengkritisi persoalan ini sejak saat ini,” Ungkap Anna. Menurut Anna, penting agar kita mengingat filosofi di balik kebijakan afirmasi yaitu mendorong keterwakilan perempuan dan komitmen mendorong keterwakilan kelompok yang selama ini terpinggirkan dari berbagai proses inti pengambilan keputusan. “Dalam pemilu ada 3 momen kritis yaitu pencalonan, pada tahap ini perempuan sudah harus bertarung untuk mendapatkan nomor urut atas dan Dapil yang strategis, pada tahap berikutnya perempuan harus bertarung di tingkat perolehan suara dan di tahap ketiga perempuan harus berartung dalam perolehan kursi. Temuan CWI menunjukkan bahwa berbanding terbalik dengan tren pada laki-laki, jumlah perempuan terus merosot dari tahap pertama hingga tahap ketiga,” jelas Anna. Bagi Anna data tersebut menunjukkan pengalaman khas perempuan dan bahwa sistem Pemilu seperti besaran parliamentary threshold dan nomor urut berkontribusi pada minimnya representasi pasif perempuan. Minimnya caleg perempuan yang berada pada nomor urut satu menjadi salah satu penyebab rendahnya perolehan suara oleh anggota legislatif perempuan. Menurut Anna, selain menghadapi persoalan pada sistem pencalonan. Penting agar kita memikirkan strategi politik perempuan untuk tahun 2024. Namun yang paling genting untuk direspons saat ini adalah bagaimana kita mengawal agenda politik perempuan. “Saat ini kita telah memiliki sejumlah aleg perempuan yang terpilih. Dari sini kita perlu melihat bagaiamana agenda politik perempuan. Paling tidak ada sekitar 50 RUU yang masuk dalam prioritas Prolegnas 2020. Apa yang bisa kita lakukan dengan minimnya perempuan yang berada di kepemimpinan komisi?,” Ungkap Anna. Dalam diskusi tersebut, Maria Ulfah selaku Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa kerja-kerja yang dilakukan oleh Komnas Perempuan berkaitan erat dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh para anggota legislatif di parlemen. “Salah satu agenda Komnas Perempuan adalah membangun konsesus nasional tentang pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan, untuk mencapai cita-cita terebut dibutuhkan kepemimpinan-kepemimpinan perempuan yang punya perspektif, solid dan bisa membawa perubahan bagi perempuan lewat regulasi,” tutur Maria. Maria mengatakan bahwa Komnas Perempuan telah melakukan pemetaan terhadap 50 RUU yang masuk Prolegnas 2020. Menurutnya ada 16 RUU yang beradampak terhadap strategis pada perempuan. Dalam kesempatan itu Maria menyatakan kekecewannya karena tidak masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dalam Prolegnas tahun 2020, padahal menurut Maria, RUU ini memiliki dampak strategis bagi perempuan. Menurut Maria RUU ini penting untuk disahkan sebab ada 9 jenis tindak pidana seksual yang tidak dikenal dalam UU lainnya yaitu pelecehan seksual, elsploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawainan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. “Kekerasan seksual membutuhkan regulasi hukum yang khusus sebab UU yang ada hanya mengatur pemidanaan. UU yang ada belum komprehensif mengatur pencegahan dan pemulihan komprehensif bagi korban. RUU PKS tidak berhenti pada soal pemidanaan tetapi juga tentang rehabilitasi pelaku, tukas Maria”. Meski berbagai persoalan kekerasan seksual telah disinggung juga dalam UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, KUHP, UU TPPO, namun menurut Maria masih diatur secara parsial. Komnas Perempuan bersama mitra-mitranya telah melakukan kajian hukum positif terhadap berbagai UU terkait kekerasan seksual dan menemukan bahwa persoalan kekerasan seksual yang dibahas pada tiap regulasi hukum tersebut tidaklah menyeluruh. Regulasi yang ada secara khusus misalnya bicara mengenai pelecehan seksual terhadap anak, atau perdagangan orang tetapi tidak mengenali jenis kekerasan seperti perbudakan seksual dll. Maria menjelaskan bahwa dalam perspektif hukum positif belum ada regulasi hukum di Indonesia yang mendedah dan mengenali isu kekerasan seksual secara mendalam seperti RUU ini. Maria menegaskan bahwa tingginya kasus dan terus meningkatnya angka kekerasan seksual menegaskan bahwa keberadaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangatlah dibutuhkan. Dalam kesempatan tersebut, Dian Kartika Sari, Aktivis perempuan juga membagi pengalamannya mengenai advokasi agenda politik perempuan. Menurut Dian, resistensi terhadap berbagai RUU terkait agenda perempuan memang kerap terjadi, ia memaparkan bahwa RUU PKDRT dan RUU TPPO pada masanya juga sempat menuai sejumlah penolakan. Strategi utama yang perlu dilakukan adalah menghadirkan suara korban dan tunjukkan fakta-fakta kekerasan seksual, karena seringkali sebuah tawaran kebijakan ditolak karena dipandang sebagai asumsi belaka. “Kita perlu menunjukkan pada publik bahwa persoalan kekerasan seksual adalah urusan kemanusiaan dan bukan urusan perempuan saja. Penting untuk membangun argumen bahwa korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan, melainkan bisa terjadi pada laki-laki, anak, orang tua dan siapa saja,” kata Dian. Dian menambahkan bahwa strategi lain yang tidak kalah pentingnya untuk mendorong pengesahan RUU PKS adalah membangun konsolidasi antara semua pihak, khususnya para anggota legislatif, baik itu perempuan maupun laki-laki. Senada dengan itu, Maria menyampaikan 5 rekomenasi dari Komnas Perempuan untuk memperkuat strategi pengesahan RUU PKS yaitu; pertama, penguatan agensi semua aktor dengan perspektif HAM berbasis gender, khususnya bagi para anggota legislatif. Kedua, meningkatkan ekosistem untuk akses dan kualitas layanan informasi, artinya perlu ada proses edukasi terbuka pada publik tentang bagaimana proses pembuatan regulasi. Ketiga, pengingkatan konsolidasi dan peran jaringan advokasi yaitu antara CSO, akademisi, dunia usaha, masyarakat adat dll. Keempat, penguatan kerangka hukum di tingkat nasional dan daerah. Maksudnya adalah penting untuk mengkonsolidasi pemerintah daerah untuk mendorong Perda, Pergub dan membentuk komunitas-komunitas lokal yang mencegah perkawinan anak sembari menunggu hadirnya regulasi di tingkat nasional. Kelima, penguatan sinergi lintas daerah, CSO, akademisi/ perguruan tinggi, lembaga keagamaan, adat, media, dan dunia usaha. (Abby Gina). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |