Pada Kamis (26/9/2024) Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menggelar seminar bertajuk “SEMESTA”, yang merupakan singkatan dari Sehat, Aman, Tanpa Stigma, bertempat di Rumah Belajar Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta Selatan. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memperingati Hari Aborsi Aman Internasional. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran tentang aborsi aman di Indonesia serta menghapus stigma yang seringkali menjerat perempuan dalam mengambil keputusan terkait kesehatan reproduksi mereka. Seminar yang diselenggarakan oleh YKP dihadiri oleh berbagai pihak dari berbagai latar belakang. Hadir sebagai salah satu narasumber utama adalah R. Vensya Sitohang, M.Epid., Ph.D. selaku Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia dari Kementerian Kesehatan RI, Emma Rahmawati selaku perwakilan dari Bareskrim Polri, Kotimun selaku perwakilan LBH APIK Jakarta, dan Gizka Ayu Pratiwi selaku Koordinator Advokasi dan Kebijakan di YKP. Seminar ini dimoderatori oleh Ika Ayu, Ketua dari Save All Women and Girls (SAWG).
Selain para narasumber, seminar ini juga dihadiri oleh media dan para content creator. Acara ini tidak hanya menarik minat para profesional dari bidang kesehatan dan hukum, tetapi juga masyarakat umum, termasuk pegiat hak asasi manusia (HAM), pegiat isu feminis, akademisi, dan komunitas yang peduli terhadap isu hak atas tubuh, seksualitas, dan kesehatan reproduksi. Aborsi seharusnya dianggap sebagai hak dasar bagi setiap perempuan, terlepas dari alasannya, karena hak atas tubuh dan kesehatan reproduksi adalah hak asasi manusia yang fundamental. Dalam perspektif feminis, aborsi tidak hanya relevan bagi korban kekerasan seksual atau pemerkosaan, tetapi merupakan bagian dari hak perempuan untuk menentukan sendiri masa depan reproduksinya. Perempuan harus memiliki otonomi penuh atas tubuh mereka, termasuk hak untuk memilih apakah ingin melanjutkan kehamilan atau tidak. Konsep ini menekankan bahwa tubuh perempuan tidak boleh diatur oleh negara atau sistem hukum yang memaksakan kontrol reproduksi. Ketika negara mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh melakukan aborsi, itu mencerminkan kontrol negara yang patriarki atas tubuh perempuan. Dalam sistem hak yang ideal, perempuan seharusnya bebas dari tekanan sosial, moral, atau hukum ketika memutuskan untuk menjalani aborsi. Keputusan tersebut harus sepenuhnya berada di tangan perempuan itu sendiri, tanpa harus memenuhi syarat-syarat yang mengikat secara hukum, seperti keharusan membuktikan korban kekerasan seksual atau alasan kesehatan. Sementara itu, Kotimun menjelaskan dari segi aparat penegak hukum, terutama polisi, masih banyak yang belum memiliki perspektif gender yang memadai dalam menangani kasus-kasus aborsi. Banyak polisi yang masih melihat aborsi sebagai tindak kriminal, sehingga pendekatan mereka lebih represif dari pada mendukung hak-hak perempuan. Perspektif yang tidak sensitif gender ini sering mengakibatkan proses hukum yang mengkriminalisasi perempuan yang mencari akses terhadap aborsi aman, terutama ketika aborsi dilakukan karena alasan di luar kekerasan seksual. Dalam sistem hukum yang patriarki, aparat penegak hukum kerap lebih fokus pada penegakan aturan-aturan hukum yang sempit, tanpa mempertimbangkan kompleksitas kebutuhan dan pengalaman perempuan. Misalnya, dalam kasus aborsi, polisi kerap membutuhkan bukti yang sangat formal seperti keterangan penyidik atau surat dokter, yang dapat memperlambat akses perempuan ke layanan aborsi aman. Ini tidak hanya mengabaikan situasi emosional dan fisik perempuan, tetapi juga membuat mereka merasa lebih tertekan, rentan terhadap stigma, dan mengalami ketidakadilan hukum. Selain itu, polisi cenderung masih terjebak dalam pola pikir konservatif yang menilai perempuan berdasarkan norma-norma sosial yang membatasi hak reproduksi perempuan. Alih-alih melindungi perempuan dan hak-hak mereka, hukum diimplementasikan untuk mengontrol pilihan-pilihan perempuan. Penegakan hukum yang kaku dalam hal aborsi tidak mempertimbangkan realitas atau pengalaman yang dihadapi perempuan, seperti kemiskinan, ketidakstabilan sosial, serta dampak fisik dan psikologis yang timbul dari kehamilan yang tidak diinginkan. Dengan perspektif yang lebih sensitif gender, aparat penegak hukum seharusnya dapat berperan dalam mendukung hak perempuan atas tubuh mereka, bukan menghalangi mereka dengan batasan-batasan hukum yang represif. Transformasi ini bisa dicapai melalui pendidikan dan pelatihan mengenai hak-hak perempuan dan keadilan gender, serta perubahan kebijakan yang mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan perempuan dari pada aturan-aturan moral yang mengatur tubuh perempuan. Peraturan aborsi yang ketat ini membuat perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan di luar konteks sebelumnya tidak memiliki pilihan yang aman. Dalam situasi ini, banyak perempuan yang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan yang aman, rasa takut terhadap stigma atau konsekuensi hukum, terpaksa menggunakan metode aborsi tidak aman yang dapat berujung pada komplikasi serius, pendarahan hebat, infeksi, kerusakan organ reproduksi, hingga kematian. Kebijakan yang membatasi akses aborsi serta stigma sosial hanya memperburuk situasi ini, menyebabkan perempuan enggan mencari perawatan medis. Oleh karena itu, membuka akses aborsi yang aman dan legal merupakan langkah penting dalam menurunkan angka kematian ibu atau perempuan. Rivki, sebagai perwakilan dari media Tempo menjelaskan bahwa, salah satu tantangan terbesar dalam kampanye aborsi aman di Indonesia adalah misinformasi dan kesalahpahaman yang meluas terkait aborsi. Aborsi kerap digambarkan sebagai tindakan ilegal dan tidak bermoral tanpa mempertimbangkan konteks kesehatan, keselamatan, pengalaman, hak, dan masa depan perempuan yang membutuhkan layanan aborsi. Media sering hanya mengangkat sisi sensasional dari isu aborsi, yang memperparah stigma terhadap perempuan yang memilih aborsi dan terhadap tenaga kesehatan yang menyediakan layanan aborsi Maka dari itu kesadaran bahwa media memiliki peran krusial dalam mengedukasi masyarakat, mengurangi stigma, serta memperluas akses informasi yang benar terkait aborsi aman menjadi sangat penting. Media juga memiliki tanggung jawab untuk menyajikan isu ini dari sudut pandang yang perempuan dan berbasis pada HAM, yakni hak perempuan atas tubuh, seksualitas, dan kesehatan reproduksi. Untuk memastikan bahwa media tidak menjadi alat penyebar stigma, tetapi menjadi motor perubahan sosial yang mendukung hak-hak perempuan atas tubuh mereka. Kolaborasi antara media, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah juga menjadi sangat penting dalam memperjuangkan hak aborsi aman. Membuka ruang dialog yang inklusif mengenai isu aborsi aman, menjadi peran penting media agar dapat membantu meningkatkan pemahaman publik tentang betapa pentingnya layanan aborsi yang aman dalam menyelamatkan nyawa dan melindungi hak kesehatan reproduksi perempuan. Dengan memberikan akses yang lebih baik terhadap layanan aborsi aman, baik melalui peningkatan jumlah fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan aborsi aman, edukasi tentang aborsi aman pada semua lapisan masyarakat, pemahaman berperspektif gender terhadap tenaga kesehatan, serta penghapusan stigma sosial, maka angka kematian ibu dapat ditekan. Layanan aborsi aman yang terjangkau dan berkualitas tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan perempuan secara keseluruhan. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |