Antroposentrisme, yaitu perspektif bahwa manusia merupakan pusat atau ukuran sentral dari segala-galanya telah mereduksi lingkungan sebagai yang liyan. Alam hanya dianggap sebagai benda untuk dieksploitasi, dikonsumsi dan dimodifikasi demi terpenuhinya kebutuhan manusia. Logika antroposentrisme memberikan jalan bagi eksploitasi alam yang pada hari ini didukung oleh intervensi teknologi. Akibatnya tidak dapat dihindari, yaitu krisis lingkungan dengan berbagai bentuk yang mengorbankan manusia itu sendiri. Kalkulasi eksploitasi lingkungan pada akhirnya hanya terbatas pada profit korporasi, tidak pernah pada korban. Pada seminar “Keadilan Ekologis” yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Filsafat FIB UI pada hari Senin (8/12/14) di auditorium gedung I FIB UI Depok, para korban eksploitasi lingkungan dihadirkan untuk memberikan kesaksian langsung mengenai pengalaman mereka dalam perjuangannya menyelamatkan lingkungan, seperti Sukinah (petani Rembang) dan Wayan (nelayan Benoa). Selain itu dihadirkan pula Sardi (warga Baduy) yang berbagi kisah tentang kehidupan masyarakatnya yang sangat dekat dengan alam. Di dalam diskusi ini hadir pula para ahli dan akademisi sebagai pembicara seperti Abetnego Tarigan (Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang menganalisa permasalahan lingkungan berdasarkan data-data yang ada dan Rocky Gerung (dosen Filsafat FIB UI) yang menggunakan pendekatan filosofis untuk mengkaji relasi subjek-objek manusia dengan alam. Diskusi ini juga dimoderatori oleh Saras Dewi (ketua Program Studi Filsafat FIB UI). Mereka yang Membela Alam Wayan Perak, seorang nelayan dari desa Kedonganan, selama berbulan-bulan tidak lagi melihat ikan yang dulu berkelimpahan di perairan Benoa. Reklamasi yang dilakukan oleh korporasi dengan mengeruk perairan Benoa telah merusak ekosistem dan lingkungan hidup di sekitarnya. Ikan-ikan mati dan para nelayan kecil seperti Wayan kehilangan pekerjaan. Wayan mengaku sebelum ada reklamasi, ia bisa mendapat ratusan ikan setiap harinya. Eksploitasi itu juga berdampak bagi kegiatan spiritual masyarakat Bali karena luapan air akibat pengerukan membanjiri Pura di sekitarnya. Pengerukan di perairan Benoa juga akan mengakibatkan air pasang yang bisa merusak desa-desa di sekitarnya. Jika terjadi, dampaknya akan sangat ekstrem karena sungai-sungai di desa sekitar bergantung pada Benoa. Perlawanan Bali Menolak Reklamasi yang selama ini dilakukan Wayan direspons oleh aparat dengan merobek baliho-baliho yang terpasang agar para pejabat yang datang tidak melihat permasalahan itu. Hal itu tidak menghentikan perjuangan Wayan dan masyarakat Bali untuk menolak reklamasi. Pada akhir kesaksiannya, Wayan Perak mengepalkan tangan dan berkata, “Tolak reklamasi!” Perlawanan dari perempuan memiliki warna yang berbeda. Di Rembang, terutama di Gunung Kendeng, dilakukan pertambangan karst untuk bahan baku semen dan pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia. Eksploitasi itu mendapat perlawanan dari para petani Rembang yang terdiri dari ibu-ibu petani. Sukinah, salah satu petani memberikan kesaksian tentang perjuangan mereka mempertahankan lingkungan. Sukinah bercerita, para ibu-ibu petani melakukan perlawanan dengan lesung, alat dalam pertanian yang digunakan untuk menumbuk padi. Mereka bermain musik dengan Lesung sambil menyanyikan lagu berbahasa Jawa tentang kesedihan dan kepedihan Ibu Pertiwi karena buminya dirusak. Bagi Sukinah, lesung adalah simbol dari petani, bahwa kehidupan petani sangat dekat dengan alam. Sebelum Sukinah bersaksi, diputar video yang memperlihatkan kekerasan yang dilakukan oleh brimob kepada ibu-ibu petani di Rembang. Mereka dipukuli, dilempar ke semak-semak dan bahkan dicekik oleh aparat. Murtini, ibu yang dipukuli oleh brimob karena mempertahankan lesung juga hadir dan menceritakan kejadian itu. Di antara ibu-ibu yang melakukan aksi penolakan, beberapa ada juga yang sedang hamil. Mereka sangat tidak menginginkan alamnya dirusak demi kepentingan profit karena mereka memiliki kedekatan langsung dengan alam. Mereka begitu mencintai alam sehingga ketika pihak korporasi menawarkan sejumlah uang kompensasi, mereka menolaknya. Ibu-ibu petani Rembang lebih memilih hidup sederhana dengan alam. Bagi mereka, uang tidak bisa menggantikan kesederhanaan hidup dekat dengan alam. Kesaksian terakhir datang dari Sardi, seorang warga dari Desa Cibideo, Baduy. Sardi menceritakan kegiatan masyarakat Baduy yang banyak diisi dengan bertani dan membuat kerajinan tangan. Masyarakat Baduy menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Mereka membagikan hasil panen padi kepada warga untuk dikonsumsi bersama. Padi bukan komoditas yang diperjualbelikan di sana. Untuk wisatawan, mereka menjual buah-buahan seperti duku, petai dan duren serta hasil kerajinan tangan seperti tas, selendang dan kain. Transaksi dengan uang memang dilakukan, terutama dengan wisatawan, meskipun sistem barter masih ada. Uang yang mereka miliki sebagian besar digunakan untuk keperluan kemasyarakatan. Masyarakat Baduy memiliki ritual kawalu yang dilakukan selama tiga bulan dalam satu tahun. Saat kawalu mereka berpuasa dan tidak memperbolehkan wisatawan datang. “Manusia memiliki sifat rakus,” ucap Sardi, sehingga ritual itu perlu dilakukan. Mereka bersikap resisten terhadap teknologi non-alamiah. Mereka tidak menggunakan sabun, shampoo maupun odol untuk membersihkan badan. Cukup dengan air. Resistensi itu juga dibuktikan dengan penolakannya terhadap bantuan listrik dari pemerintah. “Tidak boleh, jadi kami tolak,” papar Sardi. Soal pakaian, hanya warna hitam dan putih yang diizinkan. Warna bagi mereka mencerminkan ego untuk mengeskpresikan diri. Mereka lebih memilih hidup sederhana dan dekat dengan alam tanpa ada intervensi teknologi modern. Masyarakat Baduy sangat memahami bahwa mereka hidup dari alam sehingga kultur mereka akrab dengan nilai-nilai konservasi. Hadirkah Negara? Berbagai kesaksian tadi hanyalah segelintir dari jutaan masyarakat Indonesia yang memiliki persoalan serius dengan lingkungan. Persoalan lingkungan terakhir adalah asap di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sekarang di Papua. Bagi Abetnego, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), hal yang mendasari praktik ini adalah terbatasnya daya dukung lingkungan untuk memenuhi hasrat manusia yang tidak terbatas. Pada kasus Rembang, argumentasi dari keputusan pemerintah selalu soal infrastruktur, tetapi tidak pernah mengeluarkan data berapa banyak semen yang kita butuhkan. Kemudian pertanyaannya adalah siapa “kita”? Siapa korbannya? Apa alasan yang membenarkan masyarakat Rembang bisa menjadi korban? “Ujung-ujungnya untuk diimpor,” papar Abetnego. Alhasil nasib 600 ribu manusia yang bergantung dengan kawasan itu harus dikorbankan. Apakah semua petani harus menjadi buruh pabrik? Sama dengan Teluk Jakarta yang diidekan akan dibangun Giant Sea Wall. Mau diapakan masyarakat sekitarnya? Eskploitasi lingkungan berlebihan menciptakan bencana ekologis yang non-alamiah. Bencana yang diakibatkan oleh praktik manusia itu memberikan efek terhadap pranata sosial. Bencana ini bukan hanya bersifat temporer, namun permanen. Dibanding tahun 2012, bencana ekologis naik 300%. Terdapat 6700 desa dan kelurahan yang rusak karena eksploitasi ekonomi. Terkait dengan ini, bagaimana respons negara? Menurut Abetnego, “Yang pertama, komplain-komplain cenderung ditolak, yang kedua tidak ditindaklanjuti, yang ketiga presentasi investigasi sangat kecil dan yang keempat justru negara mengkriminalisasi komunitas tertentu.” Pada Bulan Maret lalu WALHI menggelar rapat akbar dengan tema “Menghadirkan Kembali Negara”. Secara politik negara ini mengalami perubahan situasi. Hari ini penguasa ekonomi adalah penguasa politik. Siapa yang menguasai SDA di berbagai daerah, itu yang menguasai politik. Penguasa ekonomi bertarung mengikuti kontestasi dan duduk di lembaga-lembaga negara. Pemerintahan Indonesia 60% diisi oleh para pengusaha besar yang banyak bergerak di bidang SDA yang memiliki risiko ekologis cukup besar. Di samping itu Abetnego juga menjelaskan adanya tiga faktor dalam penyelenggaraan negara, yaitu negara absen dalam lemahnya penegakan hukum, rendahnya respons terhadap komplain warga karena tidak ada mekanisme dan kebijakan yang tumpang tindih sehingga tidak ada yang bertanggung jawab. Di samping itu presiden-presiden yang lalu seringkali mengeluarkan kebijakan pro-investasi di menit-menit terakhir kekuasaannya seperti Perpres mengenai Teluk Benoa. WALHI mencari siapa dalangnya, namun dibalik itu negara yang membuat kebijakan. Di situlah kelemahannya. Isu ekologis akan menghadapi tantangan serius selama belum ada perubahan mendasar mengenai paradigma pembangunan. Jokowi secara umum masih menggunakan pendekatan yang sama, hanya mengurangi konsumsi batubara. Yang dibutuhkan hari ini adalah bagaimana kita dapat mendorong aspek keadilan dan keberlanjutan di dalam pembangunan. Dari Natural Rights menjadi Right of The Nature “Bila manusia menghancurkan buatan manusia, dibilang vandal. Bila manusia menghancurkan buatan tuhan, disebut membangun. Di situlah problemnya,” papar Rocky Gerung. Teologi telah menginstruksi manusia untuk menguasai alam; Kuberikan alam ini dan kuasailah. Cara manusia memandang alam adalah bentuk praktik teologi naturalisme. Alam adalah objek, manusia adalah subjek. Premis itu merupakan racun pertama yang merusak lingkungan dan itulah yang harus kita kritisi dan persoalkan. Kita harus mengubah itu untuk memberikan alam jenis justice baru. Setelah mengalkulasi alam, manusia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia memiliki keterbatasan akses terhadap ontologi alam. Sekarang kita mencoba melihat jenis baru dari keadilan, yaitu keadilan ekologis. Untuk itu harus ada pergantian epistemologi dari natural rights menjadi rights of the nature. Sejak dulu, manusia sudah biasa menguasai alam, namun sekarang kita harus menghormati alam dan memahami bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang tidak dapat dikomputasikan. Sebelumnya, perempuan dan anak-anak juga tidak memiliki hak, namun pemahaman akan hak kemudian berevolusi. Manusia memiliki kemampuan untuk bertumbuh di dalam hak, karena itu kita mengenali keadilan. Hak demikian berkembang sampai pada pengertian yang dianggap absurd. Hanya bila kita mampu menyusun teori etika baru mengenai hak, kita bisa pindah kepada rights of the nature. Upaya itu merupakan hasil telaah filosofis yang ketat dan pergumulan politik yang keras, sampai sekarang kita memahami bahwa alam memiliki hak. Pada tahun 1960-an di kampus Ohio, tidak ada lagi terdengar kicau burung di musim semi seperti biasanya. Seorang profesor bernama Rachel Carsen mulai curiga dan meneliti hal tersebut. Rupanya burung-burung mati karena memakan buah-buahan yang mengandung pestisida. Seharusnya burung-burung itu bisa melakukan protes karena hidupnya diintervensi oleh bahan-bahan kimia. Apel-apel berpestisida hasil dari pabrik itu disediakan untuk diimpor demi kebutuhan konsumen. Artinya burung-burung itu dapat mengatakan bahwa ia dibunuh oleh para konsumen apel impor. Di dalam buku The Silent Spring, begitulah cara logika ekologi bekerja. Ekologi memiliki nilai intrinsik dan menulis hukumnya sendiri sehingga kita memiliki dua entitas, ekologi dan antropologi. Suatu hari di Amerika ada upaya perataan perbukitan di bagian barat. Christopher Stone, seorang profesor filsafat membuat sebuah tulisan berjudul “Should Trees Have Standing?”. Stone mengatakan tulisan itu mewakilkan kepentingannya bahwa pohon memiliki hak. Sejak itu terjadi evolusi dalam cara kita melihat subjek hukum akibat dari kekuatan seseorang menghasilkan dalil. Akhirnya value evolves, ethics evolves, rationality evolves, legal form evolves. Begitulah peradaban tumbuh dari pergeseran etika, seperti pada hari ini ethics of care yang merupakan etika feminis. Perempuan dan bumi adalah satu nafas kehidupan. Penggunaan Llsung dalam perjuangan Sukinah merupakan simbol bahwa jika kita mengeksploitasi bumi sama dengan kita mengeksploitasi perempuan. Di dalam hierarki sosial, perempuan ada di lapisan paling bawah, dasar. Untuk itu di dalam keadilan ekologis kita harus melihat sesuatu secara non-fisik, non-matematis. Keadilan ekologi adalah memahami nilai intrinsik di dalam logika ekologi. Itu yang harus diterangkan kepada publik dan pemerintah. Di Indonesia, istilah ekologi lebih dekat dengan ekonomi. Padahal alam menulis hukumnya sendiri dan manusia adalah furniture bagi alam, oleh karena itu harus kompatibel dengan hukum yang intrinsik. Kesimpulan Terpecahnya relasi manusia dengan alam dibuktikan dengan adanya praktik-praktik eksploitasi alam berlebihan demi kepentingan profit yang sesungguhnya memiliki dampak bagi manusia, dan seringkali yang paling utama perempuan. Perempuan adalah pihak yang sangat dekat dengan ruang-ruang domestik sehingga ketika kerusakan lingkungan mengakibatkan kelangsungan hidup keluarganya terganggu, mereka melawan. Abetnego menceritakan pengalamannya di Kalimantan Barat pada tahun 2001. Saat itu ada megaproyek perkebunan sawit. Di dalam kalender pembagian kerja perempuan dan laki-laki, selama dua belas bulan penuh diisi oleh perempuan. Namun ketika pengambilan keputusan, laki-laki yang menentukan, padahal mereka tidak banyak bersinggungan langsung. Praktik seperti ini meluas di masyarakat. Pada hari ini keadilan berbicara mengenai subjek yang awalnya laki-laki, perempuan, anak-anak dan kini alam. Pendekatan yang ada sejak tahun 1960-an yang diawali dengan melakukan pergeseran makna objek sudah membuahkan banyak UU dan hukum positif yang secara eksplisit memperjuangkan hutan dan wilayah konservasi. Pemahaman baru mengenai objek menekankan pada nilai intrinsiknya. Namun problemnya adalah di manakah nilai intrinsik itu? Logika ekologi sesungguhnya adalah logika interkoneksi. Yaitu bagaimana semua entitas di kehidupan ini berjejaring dan saling terkait yang satu dengan yang lain sehingga kesadaran ini menimbulkan dimensi tanggung jawab mengenai keberlangsungan semua makhluk hidup. (Lola Loveita, mahasiswi Filsafat FIB UI) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |