Rabu (6/2) Komnas Perempuan mengadakan “Media Briefing” guna menjelaskan berita bohong atau hoax yang menimbulkan kesalahpahaman tentang isi dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). “Media Briefing” yang diselenggarakan di kantor Komnas Perempuan tersebut bertujuan untuk meluruskan pemberitaan dan informasi keliru tentang RUU PKS yang beredar di masyarakat. Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan adanya informasi yang salah terkait RUU PKS tersebar di media sosial, sehingga publik dibuat bingung. Informasi yang salah tersebut tersebut antara lain, RUU PKS melindungi dan melegalkan perzinaan, aborsi dan LGBT. “Penting bagi kita untuk membaca terlebih dahulu isi dari RUU PKS, sebab semua yang dituduhkan tidak tertulis di dalam RUU PKS”, tutur Mariana. Ia juga meminta agar rekan media dapat menuliskan berita sesuai fakta. Mariana menegaskan bahwa pengesahan RUU PKS dibutuhkan untuk menjawab kegelisahan atas meningkatnya korban kekerasan seksual. Selain itu Azriana Rambe Manalu (Ketua Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa RUU PKS dibentuk pada tahun 2012 dengan pertimbangan laporan kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun yang sama kekerasan terhadap perempuan berada di tanda darurat, sebab setiap dua jam ada tiga perempuan mengalami kekerasan seksual. Azriana menjelaskan bahwa perjuangan mendorong RUU PKS juga diikuti sejumlah perlawanan, salah satunya ialah argumen bahwa persoalan kekerasan seksual telah diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Azriana, RUU PKS berguna untuk mengisi kekurangan KUHAP dalam menyelesaikan urusan kekerasan terhadap perempuan yang selama ini belum memperhatikan hak korban untuk dilindungi dan dipulihkan. Azriana juga memberikan catatan penting pada model diskusi dengar pendapat yang dilakukan Komisi 8 DPR RI selama ini. Menurutnya, penting untuk mengajak diskusi korban dan keluarga korban kekerasan seksual, selain diskusi dengan ahli gizi dan agama. Dengan pembuat UU dapat melihat pokok persoalan dengan lebih jelas. Sementara itu, Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa dalam upaya pengesahan RUU PKS ada enam elemen kunci yang perlu dipertahankan yaitu, pencegahan kekerasan seksual, hukum acara yang ramah terhadap korban kekerasan seksual, kritik atas pemidanaan yang tidak memunculkan efek jera, 9 bentuk kekerasan yang tercantum di dalam pasal 11 RUU PKS, pemulihan korban dan keluarga korban, dan mencerahkan masyarakat. Dengan begitu substansi RUU PKS tetap fokus pada pemulihan dan hak korban. Pada acara tersebut Masruchah (Komisioner Komnas Perempuan) juga mengemukakan pandangannya. Menurutnya selama ini banyak orang keliru memandang bahwa RUU PKS adalah inisiatif Komnas Perempuan semata. “Sejak RUU PKS diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hingga RUU PKS masuk dalam Program Legislasi Nasional Komnas perempuan telah melakukan diskusi dengan seluruh partai, fraksi, dan elemen kementerian”, tutur Masruchah. Ia juga menyayangkan bahwa banyak isu tersebar tentang RUU PKS yang bertolak dari ajaran Islam, sehingga terdapat pertentangan dari sejumlah kelompok. Padahal menurutnya Komnas Perempuan telah berdiskusi dengan sejumlah mitra strategis seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Ijtihad Ulama untuk membicarakan persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif Islam. Para mitra mendukung pengesahan RUU PKS karena memiliki tujuan untuk melindungi martabat kemanusiaan korban kekerasan seksual. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |