Pada Senin (26/8/2024) Justice Peace Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia menggelar seri ke-12 dari webinar “Philosophy of Human Rights”. Webinar ini menghadirkan Dr. Ruth Indiah Rahayu, seorang Doktor Filsafat yang memperoleh gelarnya dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, akademisi, dan praktisi filsafat, yang membahas topik bertajuk “Malu dalam Pengalaman Kebertubuhan: Tinjauan Fenomenologi Feminis”. Acara ini berlangsung secara daring melalui platform Zoom Meeting dan Live Streaming di Youtube JPIC OFM Indonesia. Webinar ini diikuti oleh berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis, dan mahasiswa yang tertarik pada isu-isu feminisme, filsafat, dan hak asasi manusia (HAM). Ruth Indiah Rahayu, dalam paparannya, mengeksplorasi rasa malu yang dialami oleh perempuan terkait dengan kebertubuhan mereka. Ia menjelaskan bagaimana rasa malu sering muncul dari tubuh yang dianggap tidak sempurna, yang kemudian dikonstruksi oleh norma-norma sosial dan budaya. “Malu itu terhubung dengan tubuh karena tubuh kita dibentuk oleh kekuatan sosial,” ujar Ruth. Ia mengaitkan hal ini dengan fenomenologi, sebuah pendekatan filosofis yang menekankan subjektivitas dan pengalaman individu, serta interaksi tubuh dengan dunia luar. Fenomenologi menawarkan cara untuk memahami pengalaman subjektif perempuan, khususnya dalam menghadapi rasa malu yang dikaitkan dengan tubuh mereka.
Melalui pendekatan fenomenologis, Ruth mengajak para audiens untuk memahami bahwa rasa malu bukanlah sekadar emosi pribadi, melainkan sebuah fenomena sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan eksternal seperti norma-norma patriarki dan kapitalisme. Ia juga menyoroti bagaimana rasa malu dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan marginalisasi perempuan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Ruth menyebut bahwa fenomenologi mampu memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana tubuh dan rasa malu dibentuk dan dimediasi oleh kekuatan sosial sehingga berdampak pada identitas perempuan. Webinar ini juga membahas konsep-konsep penting dari filsuf terkenal seperti Edmund Husserl, Maurice Merleau-Ponty, dan Simone de Beauvoir. Ruth menguraikan bahwa Husserl memperkenalkan konsep "tubuh yang hidup" yang menyoroti bagaimana tubuh manusia adalah pusat dari pengalaman subjektif. Sementara itu, Merleau-Ponty menambahkan bahwa tubuh memiliki intensionalitas motorik, yang berarti bahwa tubuh menyimpan memori dan pengalaman yang dapat mempengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan dunia. "Tubuh bukan hanya objek pasif, tetapi juga aktif dalam merespons lingkungan," jelas Ruth. Ruth juga merujuk Simone de Beauvoir, seorang tokoh feminis terkemuka, dalam presentasinya di kesempatan kali ini. Beauvoir dikenal dengan kritiknya terhadap eksistensialisme Sartre, khususnya dalam hal bagaimana perempuan sering kali dijadikan "yang Liyan" (the Other) dalam budaya patriarki. Ruth menekankan bahwa pandangan Beauvoir ini relevan dalam memahami bagaimana rasa malu sering kali menjadi bagian dari pengalaman perempuan sebagai akibat dari konstruksi sosial yang mengobjektifikasi tubuh mereka. "Menurut Beauvoir, perempuan menjadi yang Liyan karena mereka dilihat dan dinilai oleh standar yang ditetapkan oleh laki-laki," kata Ruth. Selain memaparkan teori-teori fenomenologi dan feminisme, Ruth juga menggambarkan bagaimana rasa malu dapat menjadi alat kontrol sosial yang menekan perempuan untuk mengikuti norma-norma tertentu. Ia menyebutkan bahwa dalam banyak budaya, perempuan diajarkan untuk merasa malu terhadap tubuh mereka sejak usia dini. Hal ini, menurut Ruth, adalah bentuk pendisiplinan sosial yang bertujuan untuk menjaga norma-norma patriarki. "Rasa malu menjadi mekanisme kontrol yang efektif dalam menjaga perempuan agar tetap berada dalam 'jalur' yang telah ditentukan oleh masyarakat," ungkapnya. Selain itu, webinar ini juga mengupas bagaimana kapitalisme dan neoliberalisme turut berperan dalam mengkomodifikasi rasa malu dan tubuh perempuan. Ruth menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, rasa malu sering kali dijual sebagai bagian dari estetika dan penampilan yang diharapkan oleh pasar. "Pasar neoliberal tidak hanya menjual produk, tetapi juga norma-norma tentang bagaimana perempuan seharusnya tampil dan berperilaku," ujar Ruth. Ia mengingatkan bahwa komodifikasi ini semakin memperkuat kontrol sosial terhadap perempuan dan mempertegas standar-standar yang menekan. Webinar ini tidak hanya menampilkan pemaparan teoritis tetapi juga memberikan ruang untuk diskusi interaktif. Para peserta juga aktif mengajukan pertanyaan dan berbagi pandangan mereka, termasuk tentang bagaimana rasa malu terkait tubuh perempuan di berbagai budaya, serta relevansi konsep tersebut dalam konteks kontemporer yang sering kali menekankan estetika dan penampilan. Salah satu peserta, Esti Susanti, bertanya tentang hubungan antara rasa malu dan keperawanan, serta bagaimana feminisme melihat isu tersebut dalam konteks sosial. Ruth menanggapi dengan menjelaskan bahwa konsep keperawanan dan kesucian sering kali digunakan sebagai alat kontrol sosial terhadap perempuan. Ia menyebutkan bahwa norma-norma ini merupakan bagian dari sistem pengawasan sosial yang menekan perempuan agar memenuhi standar tertentu. “Keperawanan dan kesucian adalah sistem panoptikon terhadap kebertubuhan perempuan,” tegasnya. Tubuh perempuan adalah milik mereka sendiri dan seharusnya tidak diatur oleh norma-norma yang mengekang kebebasan mereka. Selain pembahasan teori, Ruth juga mengajak peserta untuk mempertimbangkan bagaimana rasa malu bisa dilampaui. Ia memberikan contoh dari sejarah perempuan seperti Mary Wollstonecraft dan R.A. Kartini yang berhasil mengubah rasa malu mereka menjadi dorongan untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan. "Melampaui rasa malu bisa menjadi cara untuk mentransendensikan diri dan melahirkan sesuatu yang baru," ujar akademisi feminis tersebut. Webinar yang berlangsung selama dua jam ini berhasil mengangkat isu-isu penting terkait fenomenologi feminis dan rasa malu dalam kebertubuhan perempuan. Melalui pendekatan fenomenologi dalam memahami dinamika sosial yang terus berkembang, Ruth berhasil membuka wacana baru tentang bagaimana tubuh perempuan dipahami dan diperlakukan dalam masyarakat yang masih sarat dengan norma-norma patriarki. Ruth mendorong para audiens untuk terus mengeksplorasi isu-isu ini dalam konteks lokal maupun global, serta menerapkannya dalam upaya memperjuangkan hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Kegiatan ini merupakan bagian dari serial webinar “Philosophy of Human Rights” yang yang diadakan oleh JPIC OFM Indonesia yang bertujuan untuk memperdalam pemahaman peserta mengenai hak asasi manusia melalui lensa filsafat dan feminis. Dengan pembicara yang kompeten seperti Ruth Indiah Rahayu, seri ini diharapkan tidak hanya menjadi ajang diskusi akademis atau diskusi publik saja, tetapi juga sebuah panggilan untuk aksi nyata dalam melawan ketidakadilan gender dan memperjuangkan hak-hak perempuan serta keadilan gender. (Putu Gadis Arvia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |