Membincang Cinta dari berbagai Aspek dalam Perayaan Hari Perempuan Internasional di Makassar6/3/2018
Dalam rangka Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Pusat Studi Gender dan Kependudukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar mengadakan Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta pada Kamis (1/3). Pada acara yang bertempat di Gedung Iptek ini Jurnal Perempuan menghadirkan Ery Iswary, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Naufaludin Ismail, Penulis JP 96 dan Rosmiati Sain, Direktur LBH APIK Makassar sebagai pembicara. Ketiga pembicara mengupas topik cinta dari sudut pandang yang berbeda. Ery Iswary membahas representasi cinta dalam karya sastra Makassar, sementara Naufal memaparkan hasil penelitiannya yang mengupas tentang pengalaman perempuan dalam menjalani dan memaknai cinta. Rosmiati mengkaji tentang kekerasan terhadap perempuan dalam relasi percintaan. Ery Iswary mengatakan bahwa dalam karya sastra cinta terefleksi melalui bahasa sesuai dengan intensi pengarangnya dan pembaca mengkonstruksi sendiri makna cinta dari karya sastra yang dibacanya. Biasanya pembaca menghubungkan proses konstruksi tersebut dengan pengalamannya masing-masing. Sejumlah karya sastra berbentuk cerita rakyat dan legenda di Sulawesi Selatan mengisahkan tentang kekuatan cinta. Ery menuturkan ada La Galigo yang salah satu tokohnya Sawerigading jatuh cinta pada I Tenri Abeng dan cinta tersebut merupakan cinta terlarang karena ternyata mereka bersaudara. Selain itu terdapat juga legenda Datu Museng dan Maipa yang berkisah tentang cinta abadi sekaligus tragedi cinta. Terdapat juga legenda I Samindara Baine dan Baso Kunjung Barani atau legenda batu lappak, I Mulli Daeng Massayang yang menjadi materi sinrilik yakni karya sastra prosa yang dilagukan dan Lebonna Massudilalong yang merupakan cerita rakyat Toraja yang berkisah tentang cinta abadi dimana tokohnya harus dikuburkan bersama. Ery menjelaskan representasi cinta dalam karya sastra Makassar tampaknya selalu menggambarkan cinta sehidup semati. Lewat refleksi bahasa dapat dilihat bahwa laki-laki dan perempuan Makassar adalah orang-orang yang setia dan berkomitmen tinggi dalam memegang cintanya, pun jika harus berakhir dengan tragedi. Ery mengungkapkan bahwa karya sastra Bugis-Makassar sangat jarang menggunakan kata-kata yang indah dan romantis karena orang Makassar mengungkapkan rasa cintanya dengan tindakan bukan dengan ucapan. Oleh karena itu di Sulawesi Selatan tidak ada satu pun bahasa daerah yang memiliki ungkapan yang sama persis artinya dengan I love you. Jadi, laki-laki Makassar cenderung tidak romantis. Sebaliknya, karya sastra Makassar menunjukkan orang Makassar menyatakan rasa cinta dengan membuktikan pengorbanan lahir batin (ilmu kanuragan/ batin, ilmu bela diri). Selain itu terdapat tradisi perjodohan dalam kultur Sulawesi Selatan terutama di kalangan kerajaan bahkan sejak masih dalam kandungan, sehingga menjadi perkawinan politis agar kedua kerajaan tidak saling menyerang. Dengan demikian terlihat bahwa ada pelanggaran HAM karena anak-anak raja tidak bebas memilih pasangan hidupnya. Lebih lanjut Ery memaparkan selain karya sastra yang bertutur tentang hubungan romantis, Makassar juga memiliki karya sastra yang bercerita tentang cinta pada tanah air. Misalnya cerita tentang I Fatima Daeng Takontu, anak Sultan Hasanuddin, yang merupakan profil perempuan pejuang di bidang sosial dan politik, terkenal dengan pasukan Bainea, dan diberi gelar oleh Belanda sebagai Garuda dari timur karena kehebatan bela diri yang dimilikinya. Terdapat juga tokoh Sitti Naharirah, seorang saudagar kaya, yang merupakan representasi kesuksesan perempuan di bidang ekonomi. Selain itu terdapat cerita I Marabintang yang berkisah tentang profil perempuan pendekar dan ahli bela diri dengan tokohnya We Tenri Olle, raja perempuan dan istri raja Soppeng. Selain itu terdapat juga tokoh I Sani Daeng Nisakking, raja perempuan di lima kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Cerita-cerita tersebut mengubah pencitraan perempuan dari perempuan bilik menjadi perempuan publik. Sementara itu Naufal mengawali paparannya dengan berangkat dari definisi cinta yang menurutnya mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman, dari masa Yunani kuno hingga kini definisi cinta terus berubah. Pada masa Yunani kuno terdapat tujuh definisi cinta, yakni eros (cinta yang disertai hasrat dan berahi), philia (cinta terhadap sahabat), storge (cinta terhadap keluarga), agape (cinta tanpa batas dan mementingkan diri sendiri, seperti cinta kepada Tuhan), ludus (cinta yang lebih menekankan pada bersuka cita), pragma (cinta yang menekankan pada perhitungan pragmatis) dan philautia (cinta pada diri sendiri). Sementara pada abad pertengahan definisi cinta berubah dengan penekanan pada penghargaan terhadap hubungan dengan Tuhan. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan gereja Katolik pada masa itu. Naufal menjelaskan pada masa modern definisi cinta mengalami perubahan yang ditandai dengan aliran romantisisme, salah satunya oleh JJ Rousseau yang berpendapat bahwa cinta seharusnya penuh pembebasan, penuh kasih sayang yang menggebu-gebu. Pada era posmodern seperti saat ini cinta juga mengalami perubahan dimana sejumlah pasangan mulai menjalani poliamori, misalnya. Sementara itu pandangan feminis tentang cinta romantis juga beragam. Ada yang melihatnya sebagai bentuk pembebasan, namun ada juga yang memandangnya sebagai bentuk penindasan. Riset yang dilakukan Naufal berupaya untuk menggali pengalaman perempuan lintas generasi dalam menjalani dan mamaknai cinta dalam relasi romantis dan institusi pernikahan atau keluarga. Naufal menjelaskan dari enam subjek penelitian yang dipilih secara purposive dari para pembaca Jurnal Perempuan, didapat temuan yang beragam. Keenam subjek penelitian tersebut berusia antara 20 hingga 50 tahun, dengan status perkawinan belum, tidak, sudah, dan pernah menikah, dengan profesi yang beragam dan ada yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran. Cinta dalam relasi romantis dan pernikahan dimaknai bukan hanya terbatas pada hal-hal romantis, namun lebih dilihat sebagai situasi dimana kedua pihak saling mendukung karier, pendidikan, dan sejenisnya. Jadi cinta dimaknai sebagai situasi yang saling membebaskan, saling mengasihi, dan saling menghormati. Dengan demikian relasi yang dibangun adalah relasi yang timbal balik, artinya tidak ada lagi subjek dan objek, sebaliknya yang ada adalah relasi yang setara. Terkait kecenderungan masyarakat melakukan glorifikasi atas pernikahan, Naufal menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara orang yang menikah dan yang tidak menikah dengan kebahagiaan. Riset yang dilakukan Bogart memperlihatkan bahwa kebahagiaan seseorang bukan ditentukan karena dia memiliki pasangan, tetapi karena dia memiliki anak, penghasilan lebih besar, bisa membeli rumah, dan sebagainya. Jadi belum tentu orang yang menikah jauh lebih bahagia dibandingkan yang tidak menikah. Hal penting dalam relasi percintaan atau pernikahan adalah relasi yang setara. Mengacu pada gagasan de Beauvoir, Naufal mengatakan tidak tertutup kemungkinan bahwa laki-laki dan perempuan dapat menjalin relasi yang setara. Jadi yang diharapkan ke depan adalah bukan aku dan kamu melakukan apa, tetapi aku dan kamu akan berdua selamanya secara setara. Kekerasan atas nama cinta merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri, untuk itu diskusi yang diikuti sekitar 200 peserta tersebut juga membahas kaitan cinta dengan kekerasan. Rosmiati menjelaskan bahwa di balik cinta juga tersembunyi kekerasan. Kekerasan ini dapat terjadi karena adanya ketimpangan atau relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Ketimpangan relasi kuasa tersebut menjadikan perempuan berada pada tataran subordinasi dan membuatnya mengalami diskriminasi dan kekerasan. Dampak dari kekerasan yang dialami perempuan bisa berakibat fatal, seperti stres bahkan dapat berujung pada bunuh diri. Menurutnya terdapat sejumlah faktor yang memperparah kekerasan terhadap perempuan, seperti faktor ekonomi, ketentuan hukum, baik adat, agama dan negara yang diskriminatif terhadap perempuan. Rosmiati menyatakan bahwa cinta sesungguhnya lemah lembut, sabar, rendah hati, dan penuh kasih sehingga cinta yang hakiki tidak mengandung kekerasan di dalamnya. Bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran mencakup kekerasan fisik, seksual dan emosional. Lebih lanjut Rosmiati menjelaskan terdapat sejumlah tanda untuk mengidentifikasi kekerasan dalam pacaran (KdP), yakni: meremehkan atau menghina, menjauhkan dari keluarga atau teman, memukul atau menendang, posesif atau cemburu berlebihan, mengecek handphone atau media sosial tanpa izin, tidak menghargai atau menghormati, melarang atau mengatur, mengawasi secara fisik atau digital, meminta uang atau pulsa dan merayu atau memaksa melakukan hubungan seksual. Rosmiati juga menjelaskan ketika pacar atau suami melakukan kekerasan dan kemudian meminta maaf, bukan berarti pelaku sudah sadar dan tidak akan melakukan kekerasan. Hal ini mengingat dalam kasus kekerasan terdapat siklus yang meliputi situasi hubungan baik kemudian terjadi ketegangan atau konflik yang akan mengakibatkan kekerasan yang diikuti dengan periode memaafkan dan tahapan tersebut akan berulang kembali. Rosmiati mengungkapkan data LBH APIK Makassar menunjukkan tahun 2017 tercatat 130 kasus, dan kekerasan seksual menempati urutan kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan akhir-akhir ini marak terjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara berkelompok (gank rape) terhadap perempuan dewasa maupun di bawah umur (anak). Modus yang digunakan pelaku biasanya dengan mengajak curhat, tiba-tiba memberi perhatian berlebih, dikenalkan dengan teman baru, pacar pinjam uang, memberikan kunci jawaban (biasanya anak sekolah), dan membicarakan persiapan menikah (dengan alasan mencari gedung). Jadi banyak tipu muslihat yang digunakan pelaku sebelum melakukan kekerasan seksual. Kasus-kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan menunjukkan bahwa dari beberapa kasus KdP (hamil di luar nikah) yang ditangani LBH APIK Makassar, pelaku tidak bertanggung jawab karena alasan orang tua tidak setuju. Selain itu terdapat juga kasus KdP yang terjadi pada anak perempuan dan kemudian dinikahkan (perkawinan anak) karena hamil dan berakhir dengan KDRT dan perceraian karena orang tua pelaku tidak setuju. Terdapat juga kasus KdP hingga korban melahirkan, namun pelaku tidak bertanggung jawab dan tidak mengakui anaknya, bahkan pelaku menantang supaya dilakukan tes DNA pada anak. Akan tetapi korban terkendala biaya untuk melakukan tes tersebut. Rosmiati menjelaskan ada strategi yang dapat dilakukan agar tidak terjadi kekerasan ketika menjalin hubungan yakni: pertama, harus berani berkata tidak jika ada sesorang yang mau melakukan kekerasan. Penting untuk menyadari bahwa perempuan memiliki hak atas tubuhnya dan tidak ada yang berhak untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap tubuh perempuan. Kedua, kita harus berhati-hati terhadap rayuan dan janji-janji manis pacar/pasangan terutama untuk melakukan hubungan seksual, karena si Dia akan berdalih melakukannya atas dasar suka sama suka. Ketiga, jika ada perjanjian, sebaiknya dibuat secara tertulis di atas meterai dan disertai saksi. Keempat, laporkan ke polisi atau pihak berwenang jika mengalami kekerasan. Kelima, ketika melapor korban harus siap mental, jangan kaget dengan pertanyaan yang menyudutkan dan tetap bertahan. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |