Membangun Kesadaran Melawan Patriarki: Demi Lingkungan Kerja yang Adil dan Sejahtera bagi Perempuan3/10/2024
Pada Jumat (27/9/2024) Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) bersama Populix menggelar seminar diskusi bertajuk “Menciptakan Lingkungan Kerja yang Inklusif: Langkah Menuju Kesetaraan Gender”. Acara yang berlangsung di Gedung IASTH Lantai 5 UI Salemba ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, baik dari kalangan akademisi, aktivis, pekerja perempuan, serikat buruh, media, hingga pemerintah. Sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang hadir untuk memberikan pandangan mereka terkait isu kesetaraan gender di tempat kerja yakni seperti Vivi Zabkie selaku Head of Social Research Populix, Jemirah selaku anggota Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) dan pekerja di PT. Victory Chingluh Indonesia, Nurdin Adiaksono SE., M.Si. selaku Koordinator Gender, Direktorat Hubungan Kerja dan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI, Dr. Hariati Sinaga selaku dosen dan peneliti di Program Studi Kajian Gender SKSG UI, dimoderatori oleh Shelly Adelina selaku dosen dan peneliti di Program Studi Kajian Gender SKSG UI.
Dalam diskusi ini, para narasumber membahas beragam persoalan yang dihadapi pekerja perempuan seperti ketimpangan upah, ketiadaan day care atau tempat penitipan anak (TPA), seksisme, diskriminasi, relasi kuasa, kekerasan seksual yang mekanisme pelaporan dan penanganannya yang belum efektif. Kemudian juga strategi-strategi praktis untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, termasuk penerapan kebijakan afirmatif terkait kesetaraan upah, peran perempuan dalam kepemimpinan, hingga perlindungan terhadap kekerasan seksual di tempat kerja. Acara ini juga memberikan ruang bagi perempuan untuk berbagi pengalaman langsung terkait ketidakadilan gender yang masih marak terjadi di tempat kerja. Di perusahaan tempat Jemirah bekerja, secara statistik mempekerjakan mayoritas pekerja perempuan dibanding pekerja laki-laki. Meskipun perempuan adalah mayoritas tenaga kerja di perusahaan, perempuan dikenai pemotongan pajak sebesar 15% dari gaji mereka, sedangkan buruh laki-laki tidak dikenakan pajak serupa. Hal ini merupakan contoh ketidakadilan gender karena beban pajak dibebankan secara tidak proporsional kepada perempuan, padahal banyak perempuan yang juga menjadi tulang punggung keluarga. Perusahaan juga tidak menyediakan fasilitas penitipan anak meskipun mayoritas buruhnya adalah perempuan yang sering kali harus bekerja sambil mengurus keluarga. Buruh perempuan, terutama yang memiliki anak kecil, menghadapi kesulitan dalam menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga karena kurangnya dukungan dari perusahaan. Ini memperlihatkan kurangnya perhatian perusahaan terhadap kebutuhan khusus perempuan. Vivi dari Populix menerangkan terkait beban kerja rumah tangga yang mengungkapkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam pembagian waktu untuk aktivitas sehari-hari di luar pekerjaan formal. Berdasarkan temuannya, Vivi menyoroti ketidakadilan dalam pembagian beban kerja domestik di antara pasangan, yang memperkuat ketimpangan gender. Laki-laki memiliki waktu 3,5 jam lebih banyak untuk bersantai dibandingkan dengan perempuan. Ini menunjukkan bahwa meskipun perempuan juga bekerja, mereka tetap terbebani dengan pekerjaan rumah tangga sehingga memiliki waktu lebih sedikit untuk beristirahat. Perempuan menghabiskan 2 jam lebih banyak untuk mengasuh anak dibandingkan suami. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih memikul tanggung jawab utama dalam hal pengasuhan anak, meskipun keduanya mungkin bekerja di luar rumah. Perempuan menghabiskan 2,5 jam lebih banyak untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dibandingkan dengan suami. Ini mencerminkan bahwa pekerjaan domestik, seperti memasak, membersihkan rumah, atau mencuci, masih sangat terkait dengan peran tradisional perempuan. Beban ini menambah tekanan bagi perempuan untuk menjalankan peran sebagai pekerja dan ibu rumah tangga dalam waktu yang bersamaan. Temuan ini menunjukkan adanya pembagian kerja yang tidak setara di rumah, di mana perempuan dibebani lebih banyak tanggung jawab domestik dibandingkan laki-laki. Peran ganda perempuan (sebagai pekerja dan pengurus rumah tangga) memperkuat posisi ketimpangan gender, karena waktu yang mereka miliki untuk beristirahat atau melakukan aktivitas pribadi lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Hariati menekankan bahwa meskipun perempuan berpartisipasi dalam kerja produktif di sektor formal, mereka tetap dibebani dengan kerja reproduktif di rumah. Hal ini menciptakan beban ganda bagi perempuan, di mana mereka harus menjalani dua jenis pekerjaan sekaligus tanpa adanya pembagian tugas yang adil dengan laki-laki. Ketika kerja produktif perempuan diakui dalam ekonomi formal, kerja reproduktif perempuan sering diabaikan atau dianggap sebagai tanggung jawab yang "alami" bagi perempuan. Meskipun perempuan telah masuk ke dunia kerja formal, norma patriarki masih sangat kuat di tempat kerja. Norma-norma ini mengakibatkan adanya ketidakadilan dalam pembagian peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, baik di rumah maupun di tempat kerja. Dalam konteks tempat kerja, perempuan lebih banyak ditempatkan pada posisi yang lebih rendah, jarang menduduki posisi kepemimpinan, dan tidak diakui sepenuhnya atas kontribusi mereka. Peran domestik perempuan yang tidak diakui di sistem ekonomi formal menambah beban perempuan, karena perempuan diharapkan untuk mengurus rumah tangga dan keluarga meskipun perempuan juga bekerja penuh waktu di luar rumah. Norma-norma sosial yang masih bias gender turut memperkuat posisi subordinat perempuan di tempat kerja. Meskipun perempuan sudah masuk ke ranah kerja, banyak dari mereka yang tetap dihadapkan pada diskriminasi struktural dan kultural. Solusi nyata harus datang dari perubahan kebijakan publik, serta dukungan di tempat kerja yang memadai. Melalui perspektif ekonomi politik feminis, Hariati mengkritik sistem ekonomi formal yang mengabaikan kerja reproduktif yang dilakukan perempuan. Pekerjaan rumah tangga, pengasuhan anak, dan perawatan lainnya tidak dihargai dalam sistem ekonomi formal karena tidak menghasilkan upah. Padahal, pekerjaan ini sangat penting untuk mendukung kerja produktif yang dilakukan perempuan dan laki-laki di sektor formal. Sistem ekonomi formal tidak memperhitungkan beban kerja tambahan yang harus dihadapi perempuan, sehingga perempuan terjebak dalam situasi di mana mereka harus menyeimbangkan peran sebagai pekerja di luar rumah dan sebagai pengurus rumah tangga. Shelly menambahkan bahwa paparan Hariati soal teori ekonomi politik feminis menyadarkan kita bahwa makna kerja itu mencakup kerja produksi, kerja reproduksi biologis, dan kerja reproduksi sosial. Ketika perempuan melakukan kerja-kerja produktif, perempuan tidak terlepas dari kerja reproduksi biologis dan reproduksi sosial sehingga menanggung multibeban. Situasi multibeban itu yang sering tidak dipandang serius oleh perusahaan tempat perempuan bekerja. Jemirah mengungkapkan soal isu kekerasan seksual di tempat kerja, bahwa jika pelaku pelecehan seksual adalah tim member atau operator (karyawan dengan posisi lebih rendah), maka tindakan tegas akan segera diambil oleh perusahaan, yaitu pemecatan cepat. Ini menunjukkan bahwa perusahaan tampaknya memberlakukan kebijakan yang keras terhadap pelaku pelecehan seksual dengan posisi rendah. Namun, ketika pelaku adalah pimpinan produksi atau leader (karyawan dengan posisi otoritas yang lebih tinggi), proses penanganan menjadi berlarut-larut dan tidak segera ditindak tegas. Pelaku dengan posisi tinggi cenderung hanya dipindahkan atau diskorsing tanpa pemecatan langsung, meskipun laporan tentang pelanggaran mereka sudah banyak diterima. Situasi tersebut menunjukkan adanya bias atau perlindungan terhadap pelaku yang memiliki otoritas lebih tinggi, yang pada akhirnya menghambat keadilan bagi korban. Harapan yang disampaikan Jemirah adalah bahwa perusahaan seharusnya tidak memandang posisi pelaku ketika menangani kasus pelecehan seksual. Jika seorang tim member langsung dipecat karena melakukan pelecehan, maka seharusnya pimpinan produksi atau leader yang melakukan kesalahan yang sama juga mendapatkan sanksi yang setara, yaitu pemecatan. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dan tidak ada diskriminasi dalam penanganan pelanggaran, khususnya yang melibatkan pelanggaran serius seperti pelecehan seksual. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |