Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Cakra Wikara Indonesia (CWI) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Keterwakilan Perempuan dalam Agenda Politik Pasca Pemilu 2019” bertempat di Hotel Ashley, Kamis (24/10). Dalam sambutannya, Ketua CWI Anna Margret, menyampaikan bahwa diskusi ini ditujukan untuk melihat situasi keterwakilan perempuan di Indonesia berdasarkan data hasil Pemilu 2019; serta menyandingkan data di tiga siklus terakhir pemilu mulai tahun 2009, 2014, 2019. Selain menyajikan data geospasial di DPR dan DPRD, Anna Margret juga mengajak para peserta yang terdiri dari anggota partai politik, anggota DPR, aktivis, akademisi, praktisi politik, dan media massa untuk mendiskusikan sejauh mana kebijakan afirmatif telah memperkuat keterwakilan perempuan dan kepentingan perempuan yang beragam. Acara diawali dengan pemaparan data dan analisis hasil penelitian CWI data geospasial keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD di hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali di Papua. Data geospasial CWI juga menampilkan daerah yang pencalonan legislatif perempuannya dibawah rata-rata, daerah yang ramah terhadap caleg perempuan, peta wilayah yang tidak menyumbangkan kursi ke DPR-RI. CWI menemukan bahwa terdapat 7 provinsi yang tidak menyumbangkan kursi perempuan di DPR RI, yaitu Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Papua Barat. Kegiatan dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan narasumber Nihayatul Wafiroh (Anggota DPR RI Fraksi PKB), Ace Hasan Syadzily (Anggota DPR RI Fraksi Golkar), Erma Suryani Ranik (DPP Partai Demokrat), Khariroh Ali (Komnas Perempuan RI), Sutriyatmi Atmadiredja (Koalisi Perempuan Indonesia) dan Anna Margret (Cakra Wikara Indonesia). Diskusi dipandu oleh Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan selaku moderator. Dalam diskusi publik ini, ada beberapa informasi yang penting dapat diambil; salah satunya adalah fakta bahwa tidak semua aleg (anggota legislatif) perempuan memiliki pengetahuan mengenai kesetaraan dan keadilan gender. Ace Hasan menjelaskan bahwa tantangan dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah banyaknya oposisi dari kalangan aleg perempuan. “Fakta ini menunjukkan bahwa gerakan perempuan masih punya pekerjaan rumah yang besar untuk menyosialisasikan perspektif gender dalam perjuangan politik,” ujarnya. Ace juga menekankan bahwa minimnya perspektif gender di kalangan politisi dan juga masyarakat membuat proses melahirkan kebijakan pro gender semakin sulit. Nihayatul Wafiroh, yang kerap dipanggil Ninik, melanjutkan bahwa banyak aleg perempuan yang memiliki afiliasi atau hubungan dekat atau kekerabatan dengan politikus, figur negara, dan/atau daerah. Ninik berargumen bahwa pendidikan politik masih sangat relevan dan penting untuk aleg perempuan. “Kita tidak bisa lagi memilih siapa yang dipilih rakyat, tapi yang kita bisa lakukan adalah meningkatkan kualitas mereka,” ujar Ninik. Lebih jauh, ia menekankan bahwa pendidikan adil gender untuk para aleg laki-laki juga harus ditingkatkan supaya agenda kesetaraan gender dapat masuk kedalam agenda politik. Para narasumber juga menyampaikan bahwa peran dan keterlibatan Civil Society Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat adalah penting dalam mendorong agenda politik perempuan. Para narasumber mengungkapkan harus ada dukungan dari--para aktivis dan akademisi agar kinerja aleg perempuan di DPR/DPRD dapat meningkat secara substantif. “Kita harus mengangkat sekat antara politik elektoral dan non-elektoral. Demokrasi jauh lebih maju di politik non-elektoral atau ranah aktivisme. Tetapi ketika membicarakan politik elektoral, para aktivis terkesan enggan. Kalau begini terus, siklus ini tidak akan terpatahkan. Ketika kita ingin berbicara tentang perempuan, kita juga harus berbicara tentang politik elektoral,” demikian disampaikan Anna Margret. Ia menggarisbawahi bahwa kunci bagi anggota legislatif agar dapat mengerti isu - isu HAM adalah sinergi antara DPR dengan aktivis. Mengenai pentingnya Capacity building bagi aleg perempuan juga diungkapkan oleh Sutriyatmi Atmadiredja (Koalisi Perempuan Indonesia). Sutriyatmi mengungkapkan bahwa aleg perempuan kerap kali dipertanyakan kemampuannya sebagai seorang aleg. Menurutnya, untuk mengatasi permasalahan tersebut, KPI membuat program pelatihan untuk memperkuat kapasitas aleg perempuan. “Pada tahun 2008, KPI mendapat surat permintaan dari beberapa partai politik untuk melobi kader-kader perempuan KPI untuk ikut pencalegan,” ungkap Sutriyatmi. Setelah menjadi caleg, KPI lalu menyiapkan dan mendampingi para caleg tersebut, bahkan hingga mereka menjadi aleg. Erma Suryani Ranik memberikan tanggapan kuat bahwa pekerjaan terbesar aleg perempuan sekarang adalah mengesahkan RKUHP, “Dengan segala hormat, saya dan komisi 3 minta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan setelah RKUHP. Kita bicara konstitusi dasar dulu, ini hukum pidana, kita bereskan di KUHP, lalu yang lainnya ikut,” ungkap Erma. Menurut Erma, anggota legislatif ingin memperbaiki sistem pidana Indonesia secara keseluruhan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan jauh lebih mudah untuk disetujui ketika sistem pidana Indonesia sudah disahkan. Khariroh Ali juga setuju kalau RKUHP harus memiliki hasil yang bagus supaya tidak ada tendensi untuk mengkriminalisasi– perempuan dan masyarakat. Khariroh juga menekankan tentang politisasi identitas yang mengeras dan memiliki keterkaitan erat dengan isu perempuan. “Politik identitas juga menggunakan perempuan lain. Perempuan dihadapkan dengan perempuan lain sebagai instrumentalisasi perempuan untuk menghambat laju gerakan laki-laki dan perempuan di Indonesia,” tutur Khariroh. Demi mencapai sebuah kesetaraan gender, harapan Khariroh Ali ialah menurunya praktik politisasi identitas. Selain para panelis tersebut, moderator juga mengundang beberapa peserta kunci yang hadir untuk memberikan tanggapan terkait isu-isu yang dibahas narasumber. Sahat Farida, Anggota DPRD Depok periode 2014-2019 menyampaikan bahwa politisasi agama berdampak serius terhadap agenda perempuan. Ida Budhiati (Mantan Anggota Komisioner KPU RI) menyampaikan bahwa dikotomi perempuan dan laki-laki tidak relevan lagi karena semua aleg diharapkan dapat memiliki perspektif gender yang kuat dalam pembahasan setiap UU. Ida juga menyampaikan pentingnya untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap sistem pemilu dan sistem kepartaian yang ada saat ini. Sementara itu Nur Iman Subono, Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, berpendapat bahwa keterwakilan perempuan di politik hari ini belum tentu descriptive representation/keterwakilan deskriptif. Ia juga menambahkan bahwa representasi politik perempuan dalam parlemen mengambil banyak bentuk atau tidak tunggal, sehingga solusinya juga perlu beragam dan dilihat secara multidimensi. Moderator menutup diskusi dengan mengulang pernyataan yang telah direferensikan oleh Khariroh Ali bahwa demokrasi tanpa perempuan memang bukan demokrasi. Kegiatan ditutup dengan penyerahan terbitan Jurnal Perempuan 101 Perempuan dan Demokrasi kepada para narasumber. (Hugo Ramsey Teo) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |