
Di hadapan 25 peserta workshop ini, Mariana menjelaskan bahwa anggapan-anggapan yang selama ini diyakini oleh masyarakat adalah sebuah kebohongan, melalui tulisannya ia membongkar mitos-mitos perkosaan tersebut. “Penyebab perkosaan bukan pada pakaian perempuan”, Mariana menegaskan. Berdasarkan data Komnas Perempuan 90% perkosaan terjadi di dalam rumah dan jika pun terjadi di ruang publik pasti diiringi dengan tindak kriminal lainnya. Mariana menganalisa bahwa perkosaan yang terjadi ruang publik itu jelas sudah direncanakan, karena pertimbangan pemerkosa terhadap korban adalah bukan pada pakaiannya melainkan pada kondisi fisik dan psikis korban. Apakah korban sedang dalam kondisi lemah, tidak bisa melawan, sendirian dan tidak mungkin untuk melarikan diri, itulah beberapa faktor yang menjadi pertimbangan. Perkosaan adalah relasi kuasa antara pemerkosa dan korban, sehingga pengetahuan akan tubuh dan keberanian untuk bersuara menjadi sangat penting dalam kasus perkosaan.
Mariana memberikan contoh, di lingkungan kampus sering terjadi pelecehan seksual oleh dosen (yang memiliki kuasa) pada mahasiswa (tidak memiliki kuasa), kemudian perkosaan yang dilakukan oleh relasi saudara di dalam rumah, keduanya akan akan melahirkan trauma yang mendalam bagi korban. Akhirnya korban hanya bisa bungkam dan kengerian tersebut secara psikologis harus segera dipulihkan. Kemudian tahun 1998 perkosaan yang terjadi pada perempuan etnis Cina secara masif, menurut Mariana itu merupakan simbol penaklukan dan penghinaan yang mendalam terhadap etnis Cina, lagi-lagi bukan soal seks. Hal lain yang diungkapkan Mariana adalah mengenai fantasi seksual yang menurutnya tidak pernah ada. “Perkosaan adalah keji, perkosaan adalah kengerian, tidak ada fantasi seksual disana”, ungkap Mariana menutup materinya. (Andi Misbahul Pratiwi)