Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) bertemakan Islam dan Feminisme pada Jumat 16 Juni 2017 menghadirkan Maria Ulfah Anshor Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai pengampu.Topik yang dibahas pada pertemuan terakhir kelas Kaffe ke-6 ini adalah Hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKSR) dalam Islam. Di awal pembicaraanya Maria Ulfah mengungkapkan rasa senangnya akan keberlanjutam kelas Kaffe, karena ini adalah kali kedua ia mengisi kelas Kaffe Islam dan Feminisme, pada Ramadhan tahun lalu ia membahas tentang isu aborsi dalam islam. Ia menuturkan bahwa salah satu isu HKSR perempuan yang kontroversial selain aborsi—yang masih menjadi perdebatan para ulama—ialah mengenai sunat perempuan. Menurutnya praktik sunat perempuan melanggar HKSR perempuan dan tidak ada satu ayat pun dalam Alquran yang menceritakan atau memerintahkan tentang sunat pada perempuan. Dalam paparannya, sebelum masuk pada pembahasan isu-isu krusial terkait HKSR—yang salah satunya adalah tentang praktik sunat perempuan—dalam pandangan islam, Maria Ulfah memulai kelasnya dengan menjelaskan perbedaan mendasar terkait seks dan seksualitas yang kemudian disambung dengan pemahaman akan HKSR. Ia memaparkan bahwa seks adalah keadaan biologis seseorang atau sering disebut sebagai jenis kelamin sedangkan seksualitas adalah mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, sikap dan watak sosial berkaitan dengan perilaku atau orientasi seksual. Lebih jauh Maria Ulfah menjelaskan bahwa HKSR telah dibahas sebelumnya dalam International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo dan Beijing Platform Action. Ia menyebutkan bahwa setidaknya ada 10 hal yang merupakan hak seksual setiap individu yaitu, 1) Hak kesetaraan, yaitu perlindungan yang sama dimuka hukum dan bebas dari segala bentuk diskriminasi berbasi seks, seksualitas dan gender; 2) Hak untuk berpartisipasi bagi semua orang tanpa memandang jenis kelamin, seksualitas dan gender; 3) Hak hidup, kebebasan, keamanan seseorang atas kebertubuhannya; 4) Hak kerahasian pribadi; 5) Hak otonomi pribadi dan pengakuan di muka hukum; 6) Hak kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi dan berserikat; 7) Hak untuk sehat dan menerima manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan; 8) Hak untuk pendidikan dan informasi; 9) Hak untuk memilih menikah atau tidak menikah, mencari dan merencanakan berkeluarga, hak untuk memutuskan bagaimana dan kapan mempunyai anak; 10) Hak untuk akuntabilitas dan pemulihan. Selanjutnya Maria Ulfah menjelaskan mengenai kesehatan reproduksi berdasarkan definis dari WHO (World Health Organization), ia menuturkan bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, namun juga dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Ia melanjutkan dengan menyebutkan 12 Hak Kesehatan Reproduksi yaitu, 1) Hak untuk hidup; 2) Hak atas kebebasan dan keamanan; 3) Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, termasuk kehidupan berkeluarga dan reproduksinya; 4) Hak atas kerahasiaan pribadi; 5) Hak untuk kebebasan berpikir; 6) Hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan; 7) Hak memilih bentuk keluarga, yaitu hak untuk membangun dan merencanakan keluarga; 8) Hak untuk memutuskan kapankah dan akankah punya anak; 9) Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan; 10) Hak mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; 11) Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik; 12) Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk. Dalam kelas Kaffe kali ini, Maria Ulfah secara mendalam mengkaji HKSR dalam Islam dengan menggunakan 3 instrumen yaitu melalui Alquran, Hadis Nabi dan Pandangan Ulama. Hal yang pertama yang dijelaskan ialah mengenai Hak Hidup, Maria Ulfah menjelaskan bahwa dalam Islam perempuan memiliki hak untuk hidup sama halnya dengan laki-laki. Dalam tradisi arab sebelum islam datang, banyak praktik pembunuhan bayi perempuan dengan cara dikubur hidup-hidup. Dalam Q.S. 16/An-Nahl:58 dan Q.S. 81/At-Takwiir: 8-9 dijelaskan perihal pelarangan membunuh bayi perempuan. Kemudian dalam Q.S. 4/An-Nisaa:32 yang berbunyi “Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan”, menurut Maria Ulfah ayat di tersebut menjelaskan bahwa ada hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang harus dipenuhi. “Dalam Hadist Riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Allah tidak melihat fisik dan rupa kamu, tetapi melihat hati dan amal perbuatan kamu”, tutur Maria Ulfah. Meskipun dalam Alquran dan Hadist perihal HKSR telah dijamin, namun Maria Ulfah menjelaskan bahwa masih ada praktik pelanggaran HKSR perempuan yang berlangsung di masyarakat. Beberapa isu krusial terkait pemenuhan HKSR yang disebutkan olehnya ialah perihal sunat perempuan, hak untuk memilih pasangan perkawinan, perihal hubungan seksual, hak reproduksi dan memiliki keturunan, praktik perkawinan anak dan aborsi. Berbagai isu di atas menurut Maria masih mengalami perdebatan mengenai tafsir Alquran, Hadist dan pandangan ulama. Perihal praktik sunat perempuan ia menjelaskan bahwa di dalam Alquran, tidak ada satu ayat pun yang menceritakan atau memerintahkan sunat pada perempuan, kecuali sunat bagi laki-laki sebagaimana dalam Q.S. 16/al-Nahl: 123 yang berbunyi “Kemudian kami perintahkan kepadamu agar engkau mengikuti syari’at Nabi Ibrahim as yang hanif itu, dan Ia bukanlah orang yang musyrik”. Ia menjelaskan bahwa salah satu syari’at Nabi Ibrahim adalah sunat. Maria Ulfah menjelaskan bahwa di dalam Alquran tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan sunat pada perempuan, namun meski demikian menurutnya masih ada perbedaan pandangan di kalangan ulama yang merupakan permasalahan ijtihadiyah. “Ada beberapa hadist yang bercerita tentang sunat perempuan karena secara socio historis ada praktik sunat perempuan yang menjadi tradisi yang sudah lama dilakukan di kalangan masyarakat Arab, secara turun temurun atau disebut al atsaar al qadiimah dan dilakukan jauh sebelum Islam”,ungkapnya. Hadist yang dimaksud ialah hadist yang diriwayatkan Abu Dawud dan Hadits Ummu Atiyyah yang menjelaskan cara melakukan sunat perempuan. Lebih jauh Maria Ulfah mengutip Sayid Sabiq dalam Fiqih Sunnah bahwa semua hadist yang berkaitan dengan sunat perempuan adalah dhaif atau tidak ada satu pun yang sahih. Dengan demikian, sunat perempuan merupakan masalah ijtihadiyah menurutnya. Kemudian perbedaan pendapat lainnya yaitu dalam Madzhab Hanafi dan Maliki yang berpendapat bahwa sunat bagi laki-laki adalah Sunnah dan sunat bagi perempuan adalah kehormatan. Sedangkan dalam Madzhab Syafi’I dan Hambali sunat adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan, namun sebagian ulama Syafi’i sama dengan Madzhab Hanafi. Di Indonesia, perbedaan pandangan terkait sunat perempuan pun terjadi, menurut Maria Ulfah ada 3 keputusan lembaga keagamaan dan Ormas keagamaan yang berbeda satu sama lain yaitu antara Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. “Pada tahun tahun 2008 MUI mengeluarkan fatwa yang menjelaskan bahwa khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrahdan syiar Islam, dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah yaitu ibadah yang dianjurkan”, ungkap Maria Ulfah. Pasca mengeluarkan fatwa tersebut MUI mendesak Kementerian Kesehatan mencabut peraturan mengenai pelarangan medikalisasi sunat perempuan. Selanjutnya ialah padangan dari Muhammadiyah tentang sunat perempuan—yang tidak merujuk pada hadist yang bersifat dhaif—dengan argumentasi bahwa laki-laki dan perempuan dalam relasi suami istri sama-sama berhak merasakan kenikmatan seksual yang sama, setara dan bersifat baik, dengan demikian Muhammadiyah melarang sunat perempuan karena akan memengaruhi seksualitas perempuan. Kemudian Nahdlatul Ulama (NU) memiliki dua pandangan berbeda mengenai sunat perempuan yaitu sebagain ulamanya berpendapat bahwa sunat perempuan hukumnya mubah dan sebagian lainnya berpendapat sunat perempuan hukumnya sunah. Maria Ulfah menyayangkan bahwa praktik sunat perempuan masih terjadi di Indonesia, yang menurutnya juga dampak dari minimnya pengetahuan dan kesadaran tokoh agama dan masyarakat secara umum tentang sunat perempuan dan seksualitas serta kesehatan reproduksi perempuan. Praktik sunat perempuan menurutnya merupakan tradisi turun temurun yang diyakini bersumber dari pemahaman agama dan budaya yang bias gender. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |