Mustahil untuk memisahkan agama dan politik. Bangunan agama dalam kesadaran manusia usianya sangat tua dan merupakan bagian dari evolusi psikologis kita yang tertanam sejak dari alam sebelum manusia dilahirkan. Agama lahir dari gagasan revolusioner yang mengubah paradigma berpikir manusia, dari masyarakat tidak beradab menuju peradaban. Namun potensi positif dan konstruktif agama dalam setiap sektor kehidupan belum terangkat. Roh agama pun menjadi mati, cenderung konservatif, dan bahkan menjadi kekuatan represif. Yang kita perlukan, bukan menyingkirkan agama dari ranah publik, termasuk politik, namun revivalisasi agama atau pembaharuan yang memiliki kekuatan pencerahan. Peranan revolusioner agama di dalam sejarah berfungsi menjaga akal sehat politik selama masih dipakai sebagai suatu sarana untuk pencerahan. Sebaliknya dengan revitalisasi agama yang justru mengukuhkan status quo. Pendapat tersebut disampaikan oleh Manneke Budiman, angota Dewan Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus pengajar di Universitas Indonesia, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Politik, Agama dan Status Perempuan”, bertempat di kantor Jurnal Perempuan pada hari Selasa, 1 Juli 2014. Acara diskusi tersebut dilanjutkan dengan buka puasa bersama. Manneke mengungkapkan bahwa semangat membebaskan dan revolusioner bisa menjadi kekuatan yang bisa menandingi monopoli politik elit konservatif untuk berkuasa. Sebagai contoh bagaimana politik identitas bisa memiliki dua sudut pandang. Politik identitas bisa membebaskan dan memiliki potensi membangun kesadaran kritis sejauh dilancarkan oleh kelompok minoritas yang selalu terancam oleh dominasi mayoritas. Politik identitas menjadi represif ketika dipakai oleh pihak mayoritas. Perempuan bisa memainkan peran dalam politik identitas, sebagai feminis misalnya. Dalam tradisi Katolik, Yesus berperan sebagai pendobrak yang “melawan” elit-elit agama seperti para imam. (Nataresmi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |