Pada tanggal 5 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri konflik bersenjata di Helsinki, Finlandia. Kendati konflik bersenjata Aceh telah berakhir secara resmi, siapa sangka jika musuh yang lebih besar justru dihadapi oleh kaum rentan seperti perempuan, anak dan lansia. Kebijakan diskriminatif yang berupa peraturan daerah seperti qanun jinayat membawa perempuan pada pembatasan jam malam, aturan pakaian, dan hukuman yang tidak mengacu pada nilai kemanusiaan. Jumat (24/8) bertempat di Auditorium Perpustakaan dan Kearsipan, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Amnesty International Indonesia, Timang Research Center (TRC) Aceh, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) mengadakan acara Malam Budaya “Demi Damai” untuk merespons situasi yang mengkhawatirkan tersebut. Acara tersebut dipersembahkan untuk Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Zubaidah Djohar, Aktivis Perempuan Aceh, mengungkapkan bahwa acara Malam Budaya “Demi Damai” diadakan untuk memperingati Hari Perdamaian Aceh yang dinyatakan 13 tahun silam untuk menolak lupa terhadap korban konflik, untuk mempertahankan kebudayaan Aceh yang sejatinya telah tergerus dengan adanya qanun jinayat. Menurutnya, perdamaian Aceh membawa masyarakat Aceh berbondong-bondong berlindung pada nilai keagamaan. Namun sayangnya, beberapa nilai keagamaan yang digunakan justru mendiskriminasi perempuan Aceh. Bagi Zubaidah, hal tersebut tentunya mencederai hak perempuan dan kebudayaan Aceh secara umum. “Terbebasnya Aceh dari konflik bersenjata rupanya tidak membawa Aceh pada kesejahteraan, saat ini Aceh mengalami keterpurukan yang cukup serius pada beberapa bidang yaitu ekonomi, pelayanan kesehatan, pendidikan, pemulihan korban konflik”, tutur Zubaidah. Selain itu Melanie Subono, seorang pekerja seni, juga turut menghadiri acara dan menampilkan musikalisasi puisi. Menurut Melanie kesadaran kita semua sebagai manusia seharusnya membawa kita menyuarakan hal yang sama yaitu kemanusiaan. Acara ini juga dihadiri oleh beberapa akademisi dan budayawan seperti Nezar Patria, Melani Budianta, Usman Hamid, Sisters in Danger, Debra Yatim, Riri Khariroh, dan Linda Christanty yang menyumbang puisi, lagu, dan pengalaman mereka saat menjalankan aktivisme di Aceh. Acara ini juga memberi perhatian dan mendorong perdamaian berkelanjutan yang fokus kepada pemulihan korban di wilayah konflik. Selain itu, panitia acara ini juga melakukan penggalangan dana dengan melelang beberapa buku karya Zubaidah Djohar yang berjudul Demi Damai, serta kain dan tas kerajinan dari Aceh. Zubaidah Djohar menegaskan bahwa semua hasil dari penggalangan dana akan disumbangkan kepada perempuan-perempuan Aceh. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |