Pada tanggal 5 September 2015, Yayasan Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute mengadakan acara Peluncuran Modul Panduan Media Meliput LGBT yang didukung oleh Hivos-Rosea. Peluncuran modul tersebut mengambil tempat di CasaKhasa, Kemang, Jakarta. Dalam kesempatan diskusi ini, salah seorang pembicara yaitu Luviana dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyampaikan pandangannya mengenai sikap media dalam meliput kasus-kasus mengenai, ataupun yang meyinggung LGBT. Luviana mengatakan bahwa AJI menyambut positif peluncuran modul ini. Sebelumnya, AJI sempat melakukan sebuah riset kecil dan diskusi mengenai bagaimana media di Indonesia men-cover isu LGBT. Dari data Dewan Pers, jumlah media Indonesia mencapai 2.338 media. Sebuah peningkatan pesat dari jumlah 300 media pada masa sebelum reformasi. Jumlah ini belum termasuk media komunitas dan media lainnya yang belum mendaftarkan media mereka. Menurut Luviana, peningkatan ini merupakan dampak dari perubahan teknologi. Kemajuan dari perubahan teknologi pada masa ini adalah terjadinya perubahan besar dalam arus informasi. Sekarang ini semua orang bisa menjadi sumber berita. Media sosial menjadi ruang publik sehingga semua orang bisa menuliskan opini, menjadi narasumber, membuat petisi, dan sebagainya. Oleh karenanya Luviana berpendapat bahwa modul panduan ini menarik karena membahas bagaimana konten LGBT dalam media dan memberikan panduan tentang bagaimana menuliskannya. Melalui riset tersebut AJI menyimpulkan bahwa semakin banyak media yang muncul membahas isu LGBT. Namun harus dilihat apakah karena jumlah media semakin banyak atau apakah karena memang isu LGBT menjadi isu yang menarik untuk digarap. Terlepas dari itu, AJI mencatat bahwa isu LGBT mencuat ke permukaan ketika terjadi momentum seperti ketika IDAHOT atau hari HIV/AIDS. Isu LGBT sebenarnya merupakan isu yang menarik tetapi umumnya terdapat beberapa perspektif yang digunakan dalam memandang kasus LGBT. AJI melihat ada empat perspektif dalam liputan media mengenai LGBT. Perspektif agama, informatif (hanya sekadar memberi informasi), pasar (sensasional), dan kritis. Sayangnya liputan dengan perspektif pasar dan informatif masih mendominasi. Luviana menambahkan bahwa pemetaan media adalah persoalan konten, buruh media (apakah jurnalis bebas menuliskan LGBT), kepemilikan media, dan regulasi. Misalnya konten media memang dipengaruhi oleh rating share, terutama media online. Jika banyak yang meng-klik maka berarti isu tersebut menarik. Isu LGBT sekarang ini, oleh teman-teman media, dianggap menarik tetapi masih selalu dikaitkan dengan persoalan agama, moralitas, dan lain-lain. Permasalahan lainnya adalah terkait diksi. Masih banyak wartawan yang belum mengenal istilah LGBT. Dalam isu LGBT, Luviana menyatakan bahwa AJI mengambil posisi mendukung kaum minoritas yang berarti AJI membela isu LGBT yang minoritas dan tabu dalam ruang redaksi. Luviana menceritakan pengalamannya ketika ingin mengangkat sebuah isu LGBT di Papua namun ditentang karena isu tersebut dipandang tidak mendidik. Pada akhirnya berita tersebut muncul namun sifatnya hanya informatif. Luviana menutup pembahasannya dengan mengapresiasi kemajuan dalam draft P3SPS yang memasukkan larangan kekerasan dan stereotip (termasuk LGBT) dalam media. (Johanna Poerba)
Sakti dwi
19/4/2016 01:44:29 pm
Selamat siang, saya berminat untuk memiliki modul tersebut, guna membantu tugas akhir saya mengenai lgbt dalam media. Saya harus menghubungi siapa dan bagaimaba? Atau adakah versi e paper nya seperti jurnal yang lainya. Terimakasih Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |