Indonesia adalah negara dengan identitas budaya, etnisitas, dan agama yang beragam. Di tengan-tengah keberagaman identitas tersebut, khususnya identitas agama dan keyakinan masih banyak terjadi praktik intoleransi, baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat sipil (termasuk di dalamnya organisasi masyarakat). Berdasarkan Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan Politisasi Agama 2017 Wahid Foundation (WF) tercatat ada 213 peristiwa intoleransi yang terjadi sepanjang tahun 2017. Pada kasus-kasus intoleransi tersebut perempuan dan anak perempuan merupakan kelompok yang rentan menjadi korban karena identitas gendernya. Dalam acara peluncuran Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan Politisasi Agama 2017 Wahid Foundation (WF) pada 8 Agustus 2018 di Jakarta, Alamsyah M. Dja'far (Peneliti Senior Wahid Foundation) mengungkapkan bahwa dari 213 kasus tersebut ada 17 kasus intoleransi yang menyasar perempuan dan 10 kasus menyasar anak perempuan sepanjang tahun 2017. Beberapa kasus yang berdampak langsung kepada dua kelompok rentan tersebut diantaranya, kasus penutupan lembaga pengajian dan pemidanaan terhadap Siti Aisyah di Mataram NTB, kasus Nenek Hindun yang ditolak dishalatkan karena memilih Ahok di Pilkada DKI lalu, kasus pelarangan acara diskusi buku Dina Y Sulaiman di Universitas Brawijaya Malang, kasus bullying “kafir” terhadap seorang anak SMP di Yogyakarta, kasus kekerasan siber yang berbunyi “perempuan pendukung Ahok halal diperkosa” menjelang Pilkada putaran kedua di DKI, kasus pemaksaan jilbab pada seorang calon siswi SMPN (padahal yang bersangkutan merupakan siswi non muslim) di Banyuwangi, dan kasus pemaksaan mengenakan jilbab bagi siswi-siswi Kristen SMP Negeri 1 Peranap. Selain menunjukkan kerentanan perempuan dan anak perempuan sebagai korban praktik intoleransi, kasus-kasus di atas juga menunjukkan bahwa tubuh perempuan menjadi lokasi utama penindasan. Hal itu terlihat pada kasus pemaksaan jilbab dan ujaran kebencian selama Pilkada Jakarta 2017. Dengan demikian negara perlu menyadari ada keberbedaan dalam kasus intoleransi pada umumnya dengan kasus intoleransi terhadap perempuan. Tindakan-tindakan terhadap mereka tidak hanya terkait dengan status mereka sebagai warga negara melainkan juga terkait status gender dan usia mereka. Hal ini menjadikan dampak pelanggaran yang mereka alami menjadi berlipat atau dalam perspektif feminis disebut korban ganda (double victim). Dalam laporan hasil pantauan Wahid Foundation tersebut, 64% atau 170 praktik intoleransi dilakukan oleh aktor negara. Meskipun, aktor non negara juga memiliki kontribusi, namun sangat disayangkan aktor negara (intitusi, kebijakan, dan aparat) menjadi pelaku intoleransi. Dari segi persebaran wilayah, provinsi dengan tingkat pelanggaran tertinggi pada 2017 ini adalah DKI Jakarta dengan 50 peristiwa, diikuti Jawa Barat (44 peristiwa), Jawa Timur (27 peristiwa), Jawa Tengah (15 peristiwa) dan NTB (10 peristiwa). Tahun 2017 untuk pertama kali DKI menjadi provinsi dengan tingkat pelanggaran tertinggi, menggeser Jawa Barat yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu menempati posisi teratas. Peristiwa terbanyak didominasi oleh DKI Jakarta, utamanya terkait dengan kasus Ahok dan Pilkada. Peristiwa di DKI Jakarta didominasi ujaran kebencian. Peristiwa pelanggaran terbanyak terjadi pada Maret (9 peristiwa), disusul Januari (8 peristiwa) dan Mei (7 peristiwa). Laporan Tahunan KBB dan Politisasi Agama ini disusun dengan metode berbasis peristiwa (event-based methodology). Artinya data yang dihasilkan merupakan data peristiwa atau kasus pelanggaran yang dicatat dan dihitung berdasarkan kategori yang sudah ditetapkan oleh tim riset. Data-data laporan tersebut didapatkan melalui beberapa cara yaitu (1) Berdasarkan pemantauan terhadap pemberitaan media nasional, lokal, baik media cetak maupun elektronik; (2) Berdasarkan informasi yang diberikan jaringan lembaga dan ahli yang selama ini concern dalam isu-isu KBB, di tingkat nasional maupun lokal; (3) Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang didapat dari pengamatan langsung pelapor melalui korban atau forum ilmiah dan keagamaan yang diikuti pelapor; (4) Sebagai tambahan data terkait politisasi agama, Wahid Foundation melakukan diskusi kelompok terarah dengan para ahli yang memiliki perhatian pada isu politisasi agama, dan jaringan masyarakat sipil di daerah-daerah yang sudah melaksanakan Pilkada. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |