Pada hari Kamis (4/7/2024), telah diadakan Konsultasi Publik Komnas Perempuan bertajuk “Laporan Pendokumentasian Situasi Perempuan Terpidana Mati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan” sebagai bagian dari Rangkaian Pekan Anti Penyiksaan 2024 yang memperingati 25 tahun Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia. Komnas Perempuan menyoroti realita di mana kasus perempuan terpidana mati (PTM) kerap tidak mendapatkan peradilan yang adil. Konsultasi publik ini lantas dimaksudkan untuk memaparkan kepada publik laporan hasil pemantauan situasi dan kondisi PTM oleh Komnas Perempuan sekaligus mendengarkan tanggapan terhadapnya. Acara ini dihadiri oleh Mariana Amiruddin (Wakil Ketua Komnas Perempuan) bersama dengan Satyawanti Mashudi dan Tiasri Wiandani (Komisioner Komnas Perempuan), beserta panel penanggap yang melibatkan antara lain Erwedi Supriyatno (Direktur Binapi dan Anak Binaan, Ditjen Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM – Kemenkumham), Ikhwanul Hakim (Koordinator Direktorat Tindak Pidana terhadap Orang dan Harta Benda, Kejaksaan Agung – Kejagung), Iftitahsari (Peneliti The Institute for Criminal Justice Reform – ICJR), dan Mamik Sri Supatmi (Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia – FISIP UI). Jalannya diskusi dimoderatori oleh Arinta Dea Dini Singgi (Project Manager, Monash University Indonesia). Acara ini diadakan secara daring melalui Zoom Meeting, dan disiarkan juga pada kanal YouTube Komnas Perempuan.
Acara dibuka oleh sambutan Mariana Amiruddin selaku Wakil Ketua Komnas Perempuan. Mariana menyebut bahwa pencarian fakta terkait segala bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi terhadap perempuan, khususnya terkait hak situasi PTM, menjadi salah satu tugas dan prioritas dari Komnas Perempuan. Mengingat bahwa Indonesia masih mempertahankan legalitas hukuman mati dan realitas proses hukum yang seringkali mengalami penyimpangan HAM, Komnas Perempuan telah melakukan kunjungan dan pemantauan sejak tahun 2022 hingga 2023 pada situasi dan kondisi 14 dari 15 perempuan terpidana mati yang menunggu eksekusi di 8 Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) yang tersebar di berbagai wilayah. Pemantauan ini bertujuan untuk mengidentifikasi fakta, bentuk dan pola terhadap berbagai bentuk pelanggaran HAM perempuan, Kekerasan Berbasis Gender (KBG), dan penyiksaan terhadap PTM di LPP; menganalisis implementasi kebijakan yang dilakukan, merekomendasikan upaya pencegahan dan penanganan terhadap kasus-kasus demikian, serta merekomendasikan upaya pemenuhan dan perlindungan hak PTM dalam kerangka HAM dan gender. Laporan temuan hasil kunjungan dan pemantauan dipaparkan oleh Satyawanti Mashudi dan Tiasri Wiandani selaku Komisioner Komnas Perempuan. Ditemukan bahwa para PTM telah menjalani pidana kurungan dalam rentang waktu 2 hingga 22 tahun, melebihi maksimal hukuman penjara di Indonesia yang merupakan 20 tahun. Para PTM ini, yang dijatuhi hukuman mati akibat kasus pidana pembunuhan (6 orang) dan narkotika (8 orang), menerima unsur-unsur penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan manusia dalam masa deret tunggu tersebut. Keputusan penjatuhan hukuman mati pada para perempuan juga seringkali tidak mempertimbangkan latar belakang PTM, yang dipengaruhi antara lain oleh kondisi ekonomi hingga keterlibatan tindak kekerasan dari suami atau pasangan intim dalam kasus yang mengakibatkan mereka terpidana–misalnya tidak mengetahui rencana suami/pacarnya ketika melakukan pembunuhan, ataupun dijebak suaminya untuk mengaku sebagai pengedar narkotika. Para PTM juga harus menjalani masa tunggu dalam LPP yang melebihi kapasitas, terbatas dalam layanan kebersihan dan kesehatan, serta tidak memadai dalam layanan kesehatan mental. Penderitaan psikologis yang dialami oleh PTM dalam proses hukum yang lambat ini lantas dapat dianggap sebagai penyiksaan dan diskriminasi terhadap martabatnya, serta perampasan HAM. Ditemukan pula terbatasnya ketersediaan pendampingan hukum, dan juga kesulitan bagi para PTM untuk mendapatkan bantuan hukum yang berkualitas baik serta tidak berbayar. Di akhir pemaparan, Komnas Perempuan memberikan berbagai rekomendasi terhadap beberapa pihak pemangku kebijakan di Indonesia, antara lain khususnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk tidak mengeluarkan kebijakan undang-undang yang memuat penyiksaan dan hukuman mati; serta kepada Presiden untuk tidak melakukan eksekusi terhadap para PTM dalam deret tunggu demi menjalankan mandat KUHP baru terkait pelaksanaan komutasi. Erwedi Supriyatno dari Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham menyatakan apresiasi sekaligus dukungan terhadap laporan Komnas Perempuan. Ia memberikan pemaparan profil tiap-tiap LPP dan para PTM yang ditahan, menunjukkan kesinambungan dengan temuan yang dilaporkan Komnas Perempuan. Erwedi juga mengakui bahwa tugas LPP memang cukup berat dalam pendampingan, bahwa ia merasa terbantu oleh observasi Komnas Perempuan. Ia juga mengharapkan keterlibatan Kementerian dan Komnas Perempuan kedepannya dalam proses peradilan terpidana perempuan. Ikhwanul Hakim sebagai perwakilan dari Kejaksaan Agung menanggapi dengan memberikan penjelasan rinci terkait perubahan paradigma kebijakan pidana mati dalam KUHP baru dan regulasi komutasi narapidana. Iftitahsari dari ICJR juga menyampaikan apresiasinya atas inisiasi dan temuan Komnas Perempuan. Ia menambahkan data ICJR terkait situasi terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi, terkhusus para PTM dalam riset terdahulu Perempuan dalam Pusaran Pidana Mati (2021), yang memperkuat temuan Komnas Perempuan. Diberikan juga penjelasan terkait amanat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang memandatkan adanya masa pencobaan 10 tahun dan mekanisme penilaian bagi terpidana mati agar dapat meringankan hukumannya menjadi seumur hidup. Terpidana mati harus diuntungkan oleh perubahan regulasi ini dan oleh karena itu pemerintah wajib menunda semua eksekusi terpidana mati saat ini. Mamik Sri Supatmi, Dosen Kriminologi FISIP UI, menyebut bahwa situasi yang dialami PTM adalah penyiksaan–bukan hanya mengenai hukuman mati sebagai perampasan hak hidup, tetapi juga waktu tunggu eksekusi, proses persiapan, dan pelaksanaan eksekusi yang tidak manusiawi. Mamik menyebut bahwa PTM adalah korban berlapis dari struktur relasi yang timpang dalam relasi intim, kewajiban perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, eksploitasi femininitas oleh jaringan kejahatan, sistem hukum yang seksis, serta kebijakan kriminal yang keliru. Mamik menyorot bahwa sesungguhnya lapas dirancang untuk laki-laki dan tidak disiapkan untuk rehabilitasi, sehingga ia mempertanyakan ulang makna pembinaan dan tujuan lapas yang seharusnya untuk reintegrasi sosial warga binaan. Mamik memberikan rekomendasi pada Ditjen Pemasyarakatan untuk lebih memperhatikan konteks sosial pidana para PTM, dan juga kepada laporan pemantauan Komnas Perempuan untuk melakukan studi dokumen terhadap putusan dan upaya hukum yang telah dilakukan oleh PTM serta mendokumentasi pengalaman LPP dalam mendampingi persiapan PTM untuk menjalani eksekusi. Di akhir acara, disampaikan bahwa Komnas Perempuan membuka masukan dan tanggapan dari publik terkait laporan ini melalui email selama satu minggu kedepan. Diharapkan dengan dipublikasikannya laporan ini, publik menjadi semakin lebih sadar dan memerhatikan isu kesejahteraan perempuan yang terpidana, terkhusus mereka yang berada di deret tunggu hukuman mati sembari memperjuangkan haknya secara hukum. (Faiz Abimanyu Wiguna) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |