Pada hari Rabu, 24 Mei 2018, bertempat di Hotel Grand Sahid Jaya, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan peluncuran Laporan Kajian Perkembangan Kebijakan Penyikapan Konflik Selama 20 Tahun Reformasi untuk Pemajuan Pemenuhan HAM Perempuan dan Pembangunan Perdamaian. Acara yang dibuka oleh Azriana Manalu, Ketua Komnas Perempuan tersebut menghadirkan Dr. Diani Sadia Wati, S.H., LL.M, Staff Ahli Menteri PPN/Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan sebagai keynote speaker. Komnas Perempuan menyatakan bahwa tahun 2018 merupakan momentum 20 tahun perjalanan reformasi yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia dengan berbagai tantangan, salah satunya adalah konflik kekerasan yang telah mengawali reformasi dan terus berulang mewarnai perjalanan 20 tahun reformasi. Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bagian dari isu konflik yang tidak dapat dilupakan dalam reformasi. Komnas Perempuan sebagai lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) dengan mandat khusus penghapusan kekerasan terhadap perempuan telah melakukan kajian terhadap sejumlah kebijakan yang telah dikeluarkan Negara dalam menyikapi konflik selama 20 tahun reformasi, serta implikasi dari kebijakan tersebut terhadap penyelesaian konflik dan pemenuhan hak korban dan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan. Indriyanti Soeparno dan Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner Komnas Perempuan, menyampaikan temuan dan juga rekomendasi dari hasil kajian yang diluncurkan dalam momentum 20 tahun reformasi. Indriyanti Soeparno menyampaikan bahwa kajian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan ini berdasar pada lima pilar yakni, (1) Pilar konflik bersenjata dan pelanggaran HAM berat, (2) Pilar konflik sosial, (3) Pilar konflik Sumber Daya Alam, (4) Pilar konflik dalam konteks penggusuran, dan (5) Pilar konflik terorisme. Dalam laporannya, Komnas Perempuan mencatat beberapa temuan antara lain: (1) Dua puluh tahun reformasi memperlihatkan adanya kemajuan dalam kebijakan untuk penyikapan berbagai konteks konflik di Indonesia, namun belum memberikan manfaat yang optimal untuk pemenuhan HAM perempuan, secara khusus korban konflik. (2) Kerangka kebijakan penyikapan konflik yang secara bersamaan memuat kemajuan, kesenjangan, kontradiksi, dan kemunduran tersebut merupakan konsekuensi dari politik hukum yang mencerminkan proses reformasi yang mengalami defisit demokrasi, akibat maraknya praktik politik transaksional, primordial, korupsi, dan penggunaan politik identitas yang mempertebal intoleransi. (3) Cara pandang dan pendekatan negara terhadap perdamaian yang bersifat pragmatis menghasilkan produk dan implementasi kebijakan yang justru berpotensi menghasilkan konflik baru. (4) Komitmen politik yang tidak konsisten, kapasitas penyelenggaraan negara yang terbatas serta cara kerja yang belum koordinatif menyebabkan mekanisme dan institusi penyikapan konflik yang dibentuk tidak bekerja dengan maksimal. (5) Kepemimpinan perempuan dan masyarakat sipil dalam menyikapi konflik, akar penyebab, dan dampaknya belum didukung dengan kerangka kebijakan afirmasi yang optimal, bahkan dibatasi dengan kebijakan yang administratif-birokratis, mendiskriminasi dan bahkan mengkriminalkan. Berdasarkan temuan tersebut, maka Komnas Perempuan mengajukan rekomendasi kepada negara, sebagai berikut: (1) Mengintregasikan penyikapan konflik secara holistik ke dalam Rencana Pembangunan Nasional (RPJP 2020-2045 dan RPJMN 2020-2025) untuk memastikan tujuan pembangunan yang inklusif dan perdamaian yang berkelanjutan dapat dicapai, (2) Mengembangkan cara kerja yang lebih komprehensif dan holistik dalam penyikapan konflik, termasuk membangun pemahaman yang utuh, kritis, dan relektif mengenai konflik dan faktor-faktor di tingkat makro maupun mikro, (3) Penggunaan kebijakan yang saling melengkapi (complementary) terobosan-terobosan dalam penyikapan konflik, termasuk membangun pemahaman yang utuh, kritis, dan relekftif mengenai konflik dan faktor-faktor di tingkat makro maupun mikro, (4) Menguatkan perlindungan dan pertanggungjawaban hukum dalam penyikapan konflik, termasuk mengembangkan mekanisme untuk memastikan dijalankannya putusan pengadilan yang telah inkrah oleh pemerintah, sebagai bagian dari langkah penyelesaian tuntas konflik, (5) Menyusun dan melaksanakan langkah-langkah terobosan untuk menguatkan proses pemulihan dan pembangunan inklusif bagi korban konflik, dengan perhatian khusus pada perempuan dan kelompok-kelompok rentan diskriminasi, (6) Memastikan akses dan kemudahan bagi perempuan, terutama konflik korban, dalam proses pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif, dan representative di semua tingkatan, serta (7) Mengembangkan ketahanan masyarakat/ketahanan sosial dalam mengantisipasi kerentanan baru dan mencegah berulangnya konflik, serta berkontribusi pada perlindungan dan pemluhan korban serta warga yang terimbas konflik. Pada acara peluncuran laporan ini juga diadakan diskusi panel yang menghadirkan Widodo Sigit Pudjianto, S.H.,M.A. (Kepala Biro Hukum Kemendagri), Aresi (Kabid PKDRT Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Harapan L. Gaol (Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial), Helmy Basalamah (Kepala Badan P2SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), serta Komjen Polisi Drs. Ari Dono Sukmanto (Kabareskrim POLRI) sebagai penanggap dan Samsidar (Mantan Komisioner Komnas Perempuan) sebagai moderator. Para perwakilan dari lintas kementerian dan Polri memberikan tanggapannya terkait hasil temuan dan rekomendasi dari laporan kajian Komnas Perempuan dalam ranahnya masing-masing. Widodo Sigit (Kepala Biro Hukum Kemendagri) mengungkapkan bahwadari sisi peraturan kebijakan yang telah ada, menurut Kemendagri semua sudah cukup baik hanya saja strategi program yang perlu diperbaiki. Widodo menambahkan, bahwa success storyjuga diperlukan dalam kajian ini karena setelah bertahun-tahun tetap akan ada kemajuan yang dapat dibanggakan. Helmy Basalamah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menanggapi bahwa hasil laporan Komnas Perempuan telah sangat baik menyampaikan bagaimana peran perempuan dalam sumber daya alam di Indonesia. Terkait dengan konflik sumber daya alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berusaha untuk menyelesaikannya dan mementingkan peran perempuan. Helmy juga menyampaikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup sedang memulai untuk memasukkan kebijakan gender dalam analisis kerja-kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Harapan L. Gaol dari Kementerian Sosial menyampaikan bahwa Kementerian Sosial berupaya untuk mengupayakan kebutuhan pemulihan korban konflik melalui program Keluarga Harapan Kemensos. Aresi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyampaikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupaya untuk menyelesaikan konflik sosial yang sering terjadi di Papua. Upaya yang dilakukan adalah dengan berupaya untuk masuk ke dalam aspek pencegahan, pemulihan, dan juga pemberdayaan ekonomi. Penanggap terakhir dari Polri, Ari Dono menyampaikan bahwa beberapa regulasi kepolisian sudah mengatur tentang penanganan konflik sosial, persoalannya ada beberapa konflik yang tidak dapat ditangani karena tidak ada Undang-Undangnya. Meski demikian dalam halnya keadilan gender, sistem peradilan pidana terpadu yang ada saat ini berupaya untuk mengutamakan keadilan gender bagi perempuan. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |