Dalam rangka memperingati Hari Kartini, Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan) mengadakan diskusi berjudul “Kita Kartini: Mengenal Bagaimana Perempuan Berjuang Bersama Saat Ini” pada 25 April 2019 di Kantor MAMPU, Jakarta Selatan. Diskusi ini dihadiri oleh Lies Marcoes (Ahli Kajian Islam dan Gender), Muhayati (Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia), Sri Mulyati (Sekolah Perempuan), serta para perempuan gerakan akar rumput. Diskusi ini dibuka dengan pemaparan dari Lies Marcoes yang menjelaskan tentang aksi kolektif perempuan dalam konteks sejarah berjudul “Membaca Aksi Kolektif Perempuan dalam Konteks Perempuan Indonesia”. Lies menjelaskan bahwa aksi kolektif perempuan bermula pada era pergerakan perempuan melalui fraksi-fraksi feminisme. “Di zaman masa pergerakan bangsa, ideologi yang menggerakan perempuan salah satunya adalah feminisme, yang berangkat dari gelombang feminisme liberal. Feminisme ini ingin menyamakan perempuan di ruang publik dan memperjuangkan hak politik. Begitu pula Kartini, ia merupakan feminis liberal karena percaya bahwa perempuan tidak bisa maju tanpa adanya pendidikan. Pendidikan berperan dalam menyamakan perempuan dengan laki-laki, atau emansipasi”, jelas Lies. Lebih jauh, Lies mengatakan bahwa pada masa Kartini, pelibatan perempuan dalam persoalan politik sudah terbentuk melalui pendidikan yang menghadirkan diskusi terkait perdagangan perempuan (trafficking) dan pergundikan. Kemudian, pada era orde lama, pelibatan perempuan semakin intensif dimana perempuan terlibat dalam aktivitas politik di bawah naungan partai-partai politik. Aksi kolektif perempuan pada masa ini mampu menjangkau tingkat nasional hingga akar rumput, seperti oganisasi Gerwani yang memberikan pendidikan politik sebagai bagian dari proyek buta huruf. Namun, orde baru menutup ruang kebebasan tersebut. Rezim tersebut tidak menyediakan ruang perbedaan. Aksi kolektif perempuan yang kritis dibatasi, kemudian rezim oder baru membentuk organisasi perempuan seperti PKK, Dharma Wanita, dan kegiatan-kegiatan yang mengikutsertakan perempuan lainnya dalam rangka melanggengkan ideologi ibuisme. “Adanya permasalahan penyeragaman dan kaki tangan partai politik ini memunculkan banyak LSM perempuan. Pada tahun 1980an, setelah Konferensi Internasional Perempuan, LSM berbasis penelitian, dengan latar belakang universitas, dengan sumber bacaan Bahasa Inggris, yang tentunya berasal dari kelas elite-menengah, berusaha masuk ke akar rumput melalui dua aktivitas, yakni gerakan buruh dan pekerja rumahan”, tutur Lies. Lebih jauh, Lies menjelaskan bahwa ada usaha lain yang dilakukan gerakan perempuan untuk mendapatkan kebebasan ialah melalui konvergensi LSM feminis sekuler dengan feminis Islam. Menurutnya, aksi ini berhasil menciptakan watak baru, perempuan-perempuan Islam yang bekerja di akar rumput mampu melakukan kajian kritis gender. Namun, jika melihat pada kondisi saat ini, ruang kebebasan berpendapat justru dijadikan sebagai ruang kontestasi isu perempuan yang melihat kebebasan perempuan dan feminisme sebagai ancaman. Lies menyatakan pemikiran kritisnya terkait persoalan ini, “kelompok perempuan terlalu sibuk menulis sendiri, berasal dari kaum elite, sehingga ideologi kanan tidak memiliki tandingan. Selain itu, fakta bahwa belum ada aksi kolektif perempuan yang memiliki ideologi feminis dan bersifat masif membuat aksi kolektif perempuan terbatas atau justru tidak memberikan kebebasan bagi perempuan,” tutur Lies. Setelah paparan dari Lies Marcoes, hadir seorang penggerak akar rumput, Muhayati mewakili Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI). Ia berbagi kisah mengenai kegiatan perempuan di daerahnya yaitu di Penjaringan, Jakarta Utara. Berangkat dari persoalan pribadi mengurus akta kelahiran untuk keluarganya, Muhayati terpilih menjadi koordinator pelengkapan dokumen kewarganegaraan. Salah satu pekerjaanya adalah menangani Muhayati pengurusan BPJS Kesehatan untuk warga setempat. Bekerja sama dengan Trade Union Rights Center (TURC), ia melakukan sosialisasi BPJS untuk warga. Melalui aktivitas tersebut, ia menemukan bahwa rumitnya prosedur persyaratan pembuatan BPJS Kesehatan menciutkan nyali para warga. Atas bantuan TURC, Muhayati mencoba untuk menyuarakan permasalahan tersebut dan berhasil menembus dinding lapisan birokrasi. Usahanya berdampak besar, kini prosedur pengurusan BPJS jauh lebih mudah. Di balik itu, banyak pula rintangan yang harus Muhayati hadapi ketika ia memutuskan untuk aktif berorganisasi. Bekerja sebagai pekerja rumahan tanpa ada batasan waktu kerja telah menuntutnya untuk pandai membagi waktu. “Ikut berorganisasi sambil membereskan rumah dan pekerjaan, disitu banyak belajar bahwa perempuan harus maju dan harus bisa terlibat di masyarakat sendiri, jangan cuma laki-laki yang berorganisasi,” ceritanya. Saat ini, Muhayati sedang memperjuangkan hak pekerja rumahan agar diakui keberadaannya oleh negara sekaligus memberdayakan masyarakat melalui pembentukan kelompok belajar dan bermain anak yang inklusif. Begitu pula dengan Sri Mulyati yang tergabung dalam organisasi Sekolah Perempuan berbasis di Jatinegara Kaum. Sekolah Perempuan telah membuat Sri percaya diri dan menyadari bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin. Ia pun berbagi cerita mengenai keaktifannya melalui Sekolah Perempuan dalam memberdayakan masyarakat. Salah satu capaiannya, ia berhasil membuka Posko Pengaduan Lansia di rumahnya sendiri. Meskipun sempat dilihat sebelah mata, semangat Sri tak surut dalam mensosialisasikan Sekolah Perempuan. “Masyarakat luar menyepelekan Sekolah Perempuan, namun kami terus melakukan sosialisasi kepada badan pemerintah, dalam kasus kami lurah ya, sehingga akhirnya mampu membangun kesadaran bahwa perempuan dapat memimpin,” tutur Sri. Pada akhir diskusi, ia menekankan bahwa gerakan perempuan akar rumput tidak dapat berdiri sendiri, diperlukan dukungan untuk organisasi-organisasi perempuan tersebut, khususnya dari pemeritah. “Saya ingin pemerintah untuk lebih menerima aspirasi perempuan,” tutupnya. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |