Rabu (22/10/2014)—Dalam acara Rabu Perempuan yang terselenggara atas kerja sama Komnas Perempuan dan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Ibu Yulia Siregar penyintas 65 yang kini berusia 71 tahun berkali berpesan agar generasi muda melepaskan stigma buruk kepada korban dan keluarga korban 1965/1966. “Anak saya sampai tidak mau lagi pulang kampung ke Medan. Dulu mereka sering diejek anak orang kafir PKI. Bahkan sampai sekarang sudah pada dewasa, mereka masih suka ketakutan. Apalagi kalau saya pergi sendiri. Takut nanti ditangkap FPI karena pernah jadi tapol PKI”, katanya. Pada saat peristiwa 30 September 1965 terjadi di Jakarta, perempuan kelahiran Medan tahun 1943 itu tercatat sebagai mahasiswa aktif di Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara. Aktivitas kedua orang tuanya yang tergabung dalam organisasi underbouw PKI dan keanggotaannya dalam Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), menjadi alasan aparat untuk menangkap dan menahan keluarga dari Ibu Yulia pada pertengahan Oktober 1965. Penahanan itu telah menyebabkan Ibu Yulia kehilangan ayahnya. “Kemungkinan besar ayah saya di-bon dan dibawa ke Sungai Ular. Itu tempat terkenal di Medan. Tidak ada satu pun tahanan yang kembali jika dibawa ke tempat itu”, ujar Ibu Yulia dengan mata berkaca-kaca. Selama dalam tahanan, Ibu Yulia mengaku mengalami kekerasan psikologis. Selain rasa sedih karena kehilangan ayahnya, Ibu Yulia juga hidup dalam ketakutan karena adanya sistem “bon” tiap malam hari. Tahanan perempuan yang dianggap molek, seringkali “di-bon” oleh aparat. Mereka mengalami pemerkosaan secara berkali-kali oleh lebih dari satu orang aparat TNI. Tak sedikit dari perempuan-perempuan dalam tahanan tersebut yang dibebaskan (sepanjang tahun 1966-1979) dalam kondisi hamil atau bahkan mengalami gangguan kejiwaan akibat trauma. Berbeda dengan Ibu Yulia yang dibebaskan tahun 1966, Eyang Mariam Poniem baru dibebaskan pada 20 Desember 1977. Perempuan berusia 73 tahun tersebut ditangkap dan ditahan selama 12 tahun atas tuduhan aktif mendukung gerakan makar PKI. Sewaktu menjadi buruh perempuan di salah satu perusahaan di Kota Medan, Eyang Mariam ditunjuk menjadi Wakil Sekretaris SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) cabang Medan. “Hingga saat ini saya tidak tahu salah saya. Apakah aktif mendorong pemenuhan hak-hak buruh perempuan itu adalah tindakan makar?”, tanya Eyang Mariam. Dipenghujung acara, Eyang Mariam mengungkapkan harapannya pada pemerintahan baru. “Seumur-umur saya hanya dua kali benar-benar memilih presiden. Pertama, Bapak Soekarno. Kedua, Pak Jokowi. Saya yakin sama program Pak Jokowi yang mengutamakan kesejahteraan rakyat kecil. Kayak semboyan Pak Jokowi, Kerja, Kerja Kerja!, makanya kita semua harus ikut kerja. Semoga anak muda mau membantu kami (korban 65) mengingatkan Pak Jokowi kalau hingga saat ini kami masih menanti rehabilitasi dari pemerintah.” (Wara Aninditari Larascintya Habsari, staf Divisi Pemantauan Impunitas, KontraS)
0 Comments
Leave a Reply. |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |