Kesehatan Reproduksi dalam Skema Jaminan Kesehatan Nasional:Pentingnya Sosialisasi dan Koordinasi2/5/2018
Pada hari Senin, 30 April 2018, berlangsung Konferensi Pers Tiga Tahun Layanan Kesehatan Reproduksi dalam Skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-BPJS) yang diselenggarakan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) bersama Jaringan Perempuan Peduli Kesehatan (JP2K) di Bakoel Koffie Cikini. Dalam konferensi pers tersebut hadir Zumrotin K. Susilo (Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan) dan Herna Lestari (Peneliti Yayasan Kesehatan Perempuan) sebagai pembicara. Herna Lestari memaparkan hasil awal Studi Pelaksanaan Skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Kaitannya dengan Kebutuhan Perempuan dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi dan Seksual 2015-2017. Studi yang berlangsung dalam bentuk survei berkelanjutan tersebut telah dilaksanakan sebanyak tiga kali yaitu pada tahun 2015, 2016, dan 2017 di 15 provinsi di Indonesia. Survei yang berfokus pada pelaksanaan skema Jaminan Kesehatan Nasional untuk kesehatan reproduksi tersebut telah menjangkau hampir 9.000 responden. Dalam presentasi hasil studi, Herna memaparkan bahwa dari hasil studi tersebut terdapat hal-hal penting yang harus menjadi perhatian seluruh pihak, yakni: (1) Masih ditemukan ketidakpahaman tenaga kesehatan terkait program JKN, sebanyak 30% petugas kesehatan tidak dapat membedakan JKN dengan BPJS. Hal ini tentu berdampak pada kualitas layanan yang diberikan pada masyarakat. (2) Pengetahuan masyarakat mengenai layanan yang tercakup dalam JKN/BPJS masih sangat kurang. Bahkan 40-50% responden perempuan tidak mengetahui prosedur-prosedur dalam BPJS seperti pendaftaran, pembayaran, rujukan, dan cakupan layanan. (3) Masih ditemukannya pembayaran premi BPJS yang tidak tepat sasaran, dalam hal ini masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas justru masih menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI). (4) Minimnya fasilitas kesehatan (faskes) dengan tenaga kesehatan yang memiliki kapasitas dalam kesehatan reproduksi di daerah-daerah terpencil juga menjadi tantangan tersendiri. Jarak tempuh yang jauh dan sulit ditempuh menjadi kendala bagi masyarakat terpencil untuk mengakses layanan kesehatan yang memadai. Lebih lanjut Herna menjelaskan bahwa hasil survei berkelanjutan menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi terhadap layanan JKN/BPJS. Hal ini menarik karena hasil survei juga menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengetahui mengenai layanan JKN/BPJS. Herna menekankan bahwa sosialisasi mengenai layanan JKN/BPJS masih menjadi poin penting yang harus dikerjakan oleh Kementerian Kesehatan dan lintas kementerian selain memastikan tersedianya tenaga medis yang memadai dan terlatih untuk layanan kesehatan reproduksidi semua faskes tingkat pertama (minimal 1 dokter, 1 bidan, dan 1 perawat) termasuk ketersediaan obat-obatan dan darah melalui Bank Darah; serta pentingnya untuk memasukkan seluruh aspek layanan kesehatan reproduksi menjadi layanan yang perlu dibiayai oleh BPJS. Zumrotin K. Susilo dalam pemaparannya menyampaikan bahwa layanan BPJS harus dipertahankan meski banyak permasalahan dalam BPJS yang perlu diselesaikan. Menurutnya data yang tidak akurat merupakan satu hal yang berbahaya karena menyebabkan bantuan tidak tepat tersampaikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Ketidaktahuan penyedia layanan dalam hal ini tenaga kesehatan terkait layanan yang termasuk dalam BPJS juga dapat menghambat kemajuan BPJS ke depannya. Zumrotin juga menyoroti masalah keterlambatan distribusi obat dari Kemenkes yang akan menghambat proses berobat masyarakat dan perihal sosialisasi kesehatan reproduksi seperti alat kontrasepsi yang menurutnya harus dilakukan oleh pihak Puskesmas. Layanan kesehatan BPJS juga menurutnya masih tidak ramah pada remaja karena jam buka Puskesmas tidak memungkinkan para remaja untuk melakukan pemeriksaan terkait kesehatan reproduksi mereka. Kendala lain terkait kesehatan reproduksi remaja adalah sikap tenaga kesehatan yang diskriminatif terhadap remaja yang ingin mengakses layanan kesehatan reproduksi. Zumrotin juga mengungkapkan bahwa layanan aborsi yang tercakup dalam BPJS masih tidak dapat dilakukan bagi para korban pemerkosaan. Mengenai Angka Kematian Ibu (AKI), Zumrotin menyatakan bahwa hingga saat ini peran layanan kesehatan BPJS belum menunjukkan apakah akan menurunkan atau meningkatkan AKI. “Harapannya tentu BPJS dapat menurunkan AKI,” ujar Zumrotin. Zumrotin menutup pemaparannya terkait skema kesehatan nasional dengan menyatakan bahwa koordinasi yang lebih baik antara BPJS dan Kementerian Kesehatan sangat diperlukan karena pelayanan kesehatan dalam JKN/BPJS tersebut hanya mengatur mengenai pembiayaan saja sedangkan substansi layanan maupun tenaga kesehatan merupakan tugas dari Kementerian Kesehatan. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |