Kerja perawatan adalah bagian penting dari ekonomi negara. Sayangnya, kerja perawatan dipandang sebelah mata—utamanya karena perempuanlah yang dikonstruksikan melakukan kerja tersebut. Masyarakat patriarki menganggap kerja perawatan sebagai bukan kerja. Untuk menghapus mitos ini, sekaligus mendorong keterlibatan perempuan di pasar tenaga kerja, World Bank meluncurkan riset berjudul The Care Economy in Indonesia: A Pathway for Women’s Economic Participation and Social Well-being. Diseminasinya dilaksanakan di Jakarta (3/9/2024) dengan metode hybrid. Bolormaa Amgaabazar sebagai perwakilan dari World Bank Indonesia dan Timor Leste membuka kegiatan dengan menyatakan kesenjangan gender masih terjadi di pasar tenaga kerja global. Untuk memastikan lebih banyak perempuan yang berpartisipasi di dalamnya, diperlukan ekosistem ekonomi perawatan yang berimbang antara laki-laki dan perempuan, yang juga ditopang oleh kerja sama lintas sektoral.
“Ekonomi perawatan adalah kunci untuk menciptakan kesetaraan gender dan ekonomi yang stabil dan makmur,” lanjut Madeleine Scott selaku perwakilan dari Kedutaan Australia di Indonesia. Setelah Madeleine memberi sambutan singkat, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, melanjutkan sambutan dengan apresiasinya terhadap laporan dari World Bank. “Laporan ini menyoroti pentingnya sektor ekonomi perawatan sebagai jalur meningkatkan partisipasi perempuan dan kesejahteraan sosial secara keseluruhan,” tukas Bintang. Pada sesi selanjutnya, Emcet O. Tas selaku perwakilan dari World Bank mempresentasikan hasil riset secara singkat. Salah satu temuan penting dari riset ini adalah partisipasi tenaga kerja perempuan Indonesia yang cenderung lebih rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya. Ketika 90 persen laki-laki yang menikah dapat bekerja tanpa interupsi, perempuan yang menikah cenderung terbebani oleh kerja-kerja perawatan. Terutama dalam pengasuhan anak. Dengan riset ini, World Bank mendukung pemerintah dan sektor swasta Indonesia untuk lebih berinvestasi pada kerja perawatan. Keuntungannya adalah menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan angka kerja dan produktivitas, juga meningkatkan akumulasi kapital individu. “Berinvestasi pada ekonomi perawatan artinya berinvestasi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Emcet. Emcet juga menjelaskan lima temuan kunci pada riset ini, yakni kebanyakan pengasuhan anak bersifat informal dan dikerjakan oleh perempuan, fasilitas pendidikan anak usia dini masih terbatas, lembaga pengasuhan anak dapat memajukan pemberdayaan perempuan, akses ke lembaga pengasuhan anak dapat meningkatkan kemapanan anak, dan peran dalam norma sosial tidak bisa diabaikan tetapi bisa dikoreksi. Beranjak dari sesi Emcet, kegiatan disusul oleh diskusi panel yang menghadirkan Tirta Sutedjo (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas), Woro Srihastuti Sulistyaningrum (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan—Kemenko PMK), Elan Satriawan (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan—TNP2K), Vina Adriany (Departemen PGSD, Universitas Pendidikan Indonesia—UPI), Wita Krisanti (Indonesia Business Coalition For Women Empowerment—IBCWE), dan Nani Zulminarni (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga—PEKKA). Woro Srihastuti Sulistyaningrum menerangkan bahwa Indonesia kini masih memiliki struktur muda dengan usia produktif yang mendominasi. Anak di Indonesia sendiri berjumlah hampir 30 persen dari populasi. Ini merupakan potensi yang harus digarap dengan baik melalui perawatan dan pengasuhan yang tepat. Tingginya populasi muda di Indonesia juga dapat dianggap sebagai peluang ekonomi, salah satunya dengan berinvestasi pada tenaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Tercatat, 95 persen pendidik PAUD adalah perempuan. Di satu sisi, ini dapat memberdayakan perempuan dan memberikan perawatan pada anak. Namun di sisi lain, kesejahteraan pendidik PAUD yang rendah juga menunjukkan adanya ketimpangan upah dan pengasingan terhadap kerja perawatan. “Masalah ekonomi perawatan adalah masalah yang penting, bukan hanya bagi individu, tapi juga bagi Indonesia,” ujar Elan Satriawan saat membuka sesinya. Ketua Kelompok Kerja Kebijakan TNP2K ini juga menyinggung ekonomi perawatan sebagai salah satu akar kerentanan kesejahteraan, sebab isu ini berkelindan antara masalah sumber daya manusia dan bargaining power dalam keluarga. Selanjutnya, Guru Besar Departemen Pendidikan Guru PAUD (PGPAUD) UPI, Vina Adriany, memaparkan partisipasi perempuan sebagai pendidik PAUD. Pada pasar tenaga kerja pendidik PAUD, tidak dapat disangkal keterlibatan dominan perempuan didorong oleh konstruksi gender tradisional. Perempuan dianggap sebagai pendidik dan pengasuh utama bagi anak. “Ketika PAUD didominasi oleh perempuan, terjadi feminisasi PAUD, dan ini tidak serta merta meningkatkan kemampuan ekonomi mereka,” jelas Vina. Atas hal ini, diperlukan upaya untuk mengubah feminisasi PAUD menjadi kekuatan ekonomi bagi perempuan. Dari sudut pandang bisnis, Wita Krisanti mengatakan sulitnya meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia. Saat laki-laki dan perempuan masuk ke dunia kerja, partisipasinya sama, tetapi saat memasuki pernikahan, partisipasi perempuan turun drastis. Bagkan, di tingkat menengah dan atas, kepemimpinan perempuan dalam dunia kerja sangat tipis. Bagi perusahaan, hal ini menurunkan keberagaman perspektif dan proses berpikir. Akibatnya, tidak ada keberagaman dari perusahaan yang didominasi kepemimpinan laki-laki. Terakhir, Nani Zulminarni turut berkomentar soal kelindan ekonomi perawatan dan kemiskinan, terkhusus feminisasi kemiskinan. Pendiri PEKKA ini membagikan pada peserta, bahwa perempuan kepala keluarga memikul beban yang sangat berat karena harus bekerja sekaligus menjadi pengasuh utama di keluarga. “Tren kini, perempuan yang menjadi kepala keluarga berusia semakin muda,” ujar Nani, “Banyak penyebab dari fenomena ini, contohnya perceraian,” lanjutnya. Sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas, PEKKA punya hampir 100 PAUD di Indonesia. Insiatif ini datang dari perhatian ibu-ibu kader PEKKA yang kerap melihat anak-anak di lingkungan mereka kurang terurus. Padahal, pengasuhan di masa tumbuh kembang anak merupakan kunci penting untuk membangun generasi penerus bangsa yang baik. Tirta Sutedjo di sesi tanya-jawab memberikan pandangannya soal peran ekonomi perawatan dalam mencapai angka 70 persen dalam partisipasi kerja perempuan. Ia merujuk pada prinsip ekonomi perawatan International Labor Organization (ILO), yang menyatakan kerja perawatan harus diakui dan dianggap sebagai suatu pekerjaan. Demikian, isu ekonomi dan kerja perawatan ini harus bisa menjadi prioritas dalam perencanaan dan penganggaran di tingkat kementerian, pemerintah pusat, hingga pemerintah daerah. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |