Jumat, 6 Maret 2020, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020 di Mercure Hotel, Jakarta. Catatan tahunan merupakan dokumentasi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara, lembaga layanan, maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan setiap tahunnya. Dokumentasi kasus mulai rutin dilakukan Komnas Perempuan sejak tahun 2001. Merujuk pada CATAHU 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. “Angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 12 tahun kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen,” ungkap Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan. Angka kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es, artinya ada banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap dan tidak dilaporkan oleh korban. Meskipun telah banyak laporan kasus kekerasan terhadap perempuan, Mariana mengungkapkan bahwa pencapaian keadilan atas kasus yang dilaporkan belum maksimal. Di ranah personal, CATAHU 2020, mencatat ada kenaikan angka kasus kekerasan terhadap anak perempuan sebesar 65% dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2019 tercatat ada 2.341 kasus, yang didominasi oleh kasus inses sebanyak 770 kasus. Menurut Mariana, banyaknya kasus inses terhadap anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi tidak aman bahkan dengan orang terdekat. Salah satu kasus inses yang ditangani langsung oleh Komnas Perempuan adalah perkosaan yang dilakukan seorang ayah kepada putrinya. “Kalau di bilang satu kamar adalah penyebab inses, kami menerima kasus ada seorang putri yang melaporkan bahwa ayahnya mendobrak kunci kamar anaknya untuk melakukan perbuatan keji,” jelas Mariana. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, Komnas Perempuan juga mencatat bentuk atau pola baru dari kekerasan terhadap perempuan yakni kekerasan berbasis gender online. Berdasarkan CATAHU 2020, angka kekerasan berbasis gender online ini terus meningkat, sepanjang tahun 2019 ada 281 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kekerasan siber meningkat 300% dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil temuan Komnas Perempuan, anak perempuan dan perempuan kerap kali menjadi korban penyebaran video dan foto porno dari pacar dan/atau orang terdekatnya. “Perempuan korban kekerasan berbasis gender online kerap alami reviktimisasi dengan dijerat UU ITE dan UU Pornografi,” tutur Retty Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan). Di ranah publik atau komunitas, CATAHU 2020 mencatat ada 3.062 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang mana 58% dari angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual di ranah publik juga termasuk kasus yang korbannya adalah perempuan disabilitas. Kemudian, di ranah negara, kasus-kasus yang dilaporkan ada 12 kasus, antara lain: kasus intimidasi jurnalis ketika liputan, pelanggaran hak administrasi kependudukan, kasus pinjaman online, tuduhan afiliasi dengan organisasi terlarang. “Kasus siber menyasar pada perempuan peminjam uang secara online. Intimidasi agar perempuan melakukan hubungan seksual atau pelunasan peminjaman,” jelas Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan). Dalam CATAHU 2020, tidak hanya mendokumentasikan data-data kuantitatif kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga data kualitatif. Sejalan dengan temuan data kuantitatif bahwa anak perempuan banyak yang menjadi korban kekerasan seksual, Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual umumnya terjadi di lingkungan pendidikan. Retty Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa ada kecenderungn kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi pacaran paling tinggi SLTA baik korban maupun pelaku. Hal ini menunjukkan kurangnya pendidikan seksual komprehensif di sekolah-sekolah. Selain meningkatknya kasus kekerasan terhadap anak perempuan, CATAHU 2020 menemukan bahwa pelaku kekerasan juga adalah seorang anak yakni di bawah usia 18 tahun. “Data CATAHU dalam 3 tahun terakhir ada pelaku berusia anak kurang dari 18 tahun, bila dibagi dengan jumlah anak kurang 18 tahun di Indonesia, maka setiap satu juta anak, ada 7 orang anak berpeluang jadi pelaku. Artinya setiap hari ada 2 pelaku berusia kurang dari 18 tahun. Ini angka yang serius,” jelas Retty Ratnawati. Siti Aminah menjelaskan bahwa dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), CATAHU 2020 mencatat ada dua modus baru yakni pengantin pesanan dan TPPO daring. Kemudian, dalam kasus LDRT ada pola baru yang Komnas Perempuan sebut sebagai KDRT berlanjut, yakni korban kerap kali dikriminalisasi, dicemarkan nama baiknya, dan dituduh melanggar hukum. Dalam konflik sumber daya alam dan tata ruang, perempuan menjadi korban berlapis. Komnas Perempuan menemukan bahwa perempuan tidak hanya menjadi korban perampasan lahan tapi juga menjadi korban prostitusi, perkawinan anak, kawin kontrak, dan perdagangan orang. Komnas Perempuan dalam kajian kualitatifnya menemukan bahwa dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan pejabat publik ada impunitas. Lebih jauh, CATAHU 2020 juga mencatat ada serangan kepada perempuan pembela HAM berupa fitnah dan berita bohong yang bertujuan untuk merusak nama baik dan martabat perempuan pembela HAM sebagai perempuan. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |