Senin, 11 Juli 2017, Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) menyampaikan hasil capaian program “Pemajuan HAM Perempuan dan Hak Konstitusi dalam Konteks Demokratisasi di Indonesia” yang telah dilaksanakan sepanjang tahun 2010-2016. Konferensi pers tersebut dibuka oleh Azriana selaku Ketua Komisioner Komnas Perempuan. Tujuan diadakannya kegiatan tersebut adalah untuk menyampaikan agenda bersama dalam menyikapi situasi nasional dan daerah. Mitra Komnas Perempuan dari daerah yang hadir pada acara tersebut antara lain mitra dari Jaringan Jawa Barat, Jaring Pemantauan Aceh, kelompok Reformis Lokal di NTB dan Koalisi Jurnalis Makassar. Mereka adalah mitra Komnas Perempuan yang membantu dalam pemetaan tindak intoleran di daerah dan memantau keberadaan peraturan daerah (Perda) diskriminatif. Pada kesempatan tersebut Khariroh Ali selaku Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan memaparkan bahwa konferensi pers yang dilakukan Komnas Perempuan merupakan respons terhadap meningkatnya politik identitas di DKI Jakarta dan di berbagai daerah. Persoalan yang diperbincangkan dalam kegiatan tersebut adalah tentang keberadaan Kebijakan diskriminatif dan Putusan Mahkamah Konstitusi pada April 2017. Khariroh menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 154 kebijakan diskriminatif yang tersebar di 33 provinsi. Kebijakan diskriminatif yang dimaksudkan oleh Komnas Perempuan adalah kebijakan yang mengatasnamakan moralitas dan agama, seperti perda yang mengatur untuk berpakaian tertentu, penetapan jam malam dan pembatasan berkeyakinan dan beragama. Jumlah perda diskriminatif meningkat 273% dari tahun 2010 hingga tahun 2016. Di tahun 2016 ditemukan 41 perda diskriminatif. Keberadaan perda diskriminatif memberikan dampak buruk bagi kehidupan perempuan, kehidupan tata kelola negara dan konsensus kebangsaan. Khariroh menyatakan bahwa kebijakan yang diskriminatif merupakan ancaman bagi demokrasi dan keberadaannya merupakan bentuk penyikapan negara yang tidak mengenali akar persoalan dari pengalaman perempuan. Temuan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam konflik-konflik yang terjadi di masa lalu seperti di Poso, Ambon, Aceh, dan Kalimantan, perempuan dijadikan sebagai korban. Dengan kata lain, perempuan menjadi kelompok yang semakin rentan dengan keberadaan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Selain menyoal keberadaan kebijakan yang diskriminatif, Komnas Perempuan juga menyatakan keprihatinannya terhadap Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) pada April 2017 yang mengabulkan Judicial Review Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menjadi sandaran bagi pencegahan kebijakan diskriminatif melalui executive review. Khariroh menyatakan bahwa putusan MK tersebut berpotensi menyuburkan kehadiran kebijakan diskriminatif. Putusan MK ini menunjukkan ketiadaan mekanisme kontrol yang artinya pengujian perda hanya tertumpu pada Mahkamah Agung dan Legislatif. Komnas melihat akar-akar persoalan tersebut merupakan bahaya laten bagi bangsa jika negara tidak menyikapinya secara sungguh-sungguh. Untuk itu Komnas Perempuan mendorong dibatalkannya kebijakan-kebijakan diskriminatif yang ada di daerah dan mengupayakan agar lahir kebijakan-kebijakan yang kondusif, yaitu kebijakan yang berpihak pada perlindungan terhadap perempuan dan anak (Abby Gina). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |