Sebuah workshop yang digelar oleh Equitas (International Centre for Human Rights Education) Canada, bekerjasama dengan International Centre for Ethnic Studies (ICES), Sri Lanka dan Centre for Asian Legal Studies, Faculty of Law, NUS, Singapura berjudul "Kebebasan Beragama di Asia: Memahami Hukum, Politik dan HAM" berlangsung di Aula gedung ICES, di Colombo, Sri Lanka pada tanggal 9-12 September 2018. Peserta yang hadir sekitar 80 orang dari berbagai negara di Asia, paling banyak dari Sri Lanka, Myanmar, Pakistan. Mereka terdiri dari wakil pemerintah, anggota parlemen, pimpinan organisasi masyarakat sipil, wakil organisasi perempuan, ulama dan pemimpin agama serta aktivis dan pemerhati HAM. Kebebasan beragama sebuah isu yang hangat dibicarakan di seluruh Asia, khususnya di negara-negara yang memiliki tingkat keragaman agama, suku dan kepercayaan yang tinggi, seperti Sri Lanka, Myanmar, Afghanistan dan Indonesia. Semua pembicara yang hadir menyuarakan nada yang sama terkait isu kebebasan beragama ini, yaitu adanya kecenderungan semakin terpasungnya hak kebebasan beragama, terutama bagi kelompok minoritas. Masalahnya, negara seringkali sulit untuk bersikap imparsial dan tidak memihak kelompok agama mayoritas. Akibatnya, sering muncul perlakuan diskriminatif dalam bentuk kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan terhadap kelompok agama minoritas. Sebanyak 18 pembicara diundang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam workshop dua hari penuh tersebut. Mereka mewakili berbagai agama, negara dan organisasi di Asia. Di antaranya, Mario Gomez, David McKinnon, Dian Shah, Radhika Coomaraswamy, Paikiasothy Saravanamuttu, Matthew Nelson, Omaid Sharifi dan Samson Salamat. Dengan sangat inspiratif para pembicara menjelaskan berbagai hambatan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat sipil di berbagai negara Asia, khususnya di Sri Lanka, Myanmar, Pakistan, Malaysia, Indonesia dan Afghanistan. Setidaknya ada 4 jenis hambatan yang dihadapi berbagai negara Asia, yaitu: hambatan kultural, hambatan struktural, hambatan politik dan hambatan teologis. Matthew Nelson, pembicara dari London dengan sangat bagus membandingkan isi konstitusi di berbagai negara, terutama pasal-pasal konstitusi yang menyangkut perlindungan terhadap kelompok minoritas agama. Namun, realitasnya isi konstitusi tidak diimplementasikan dengan baik manakala kepentingan politik berbicara lain. Lagi-lagi kepentingan politik mendominasi banyak kebijakan publik, bahkan sering menjadi panglima mengalahkan kandungan konstitusi. Tidak heran jika masyarakat sering menderita akibat penyelewengan konstitusi. Masyarakat menderita dan menjadi korban akibat ketidakmampuan para politisi menyuarakan aspirasi warganya dan juga karena integritas mereka yang sangat rapuh. Saya sendiri datang mewakili perempuan Muslim Indonesia dan organisasi ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace). Saya diminta berbagi pengalaman terkait upaya kelompok masyarakat sipil di Indonesia menegakkan prinsip hak kebebasan beragama dan toleransi. Saya menjelaskan berbagai alasan mengapa masyarakat Indonesia akhir-akhir ini cenderung lebih intoleran serta mengapa radikalisme dan kekerasan ekstremisme semakin menguat. Demikian pula penggunaan politik identitas atau politisasi agama. Saya juga mencoba meyakinkan bahwa Muslim Indonesia punya optimisme untuk dapat mengatasi semua hambatan penegakan toleransi dan kebebasan beragama dalam bentuk sikap dan perilaku juga kebijakan publik yang mengandung unsur diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok berbeda, khususnya kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Muslim Indonesia lebih beruntung dari muslim di bagian Asia lain karena punya Pancasila dan landasan konstitusi yang lebih progresif dan demokratis serta sangat memihak penegakan HAM, khususnya hak kebebasan beragama. Tinggal berharap agar kelompok muslim progresif lebih solid dan lebih militan berjuang untuk membangun demokrasi Indonesia. (Musdah Mulia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |