Asean Literary Festival 2017 menghadirkan Karlina Supeli dalam program "Ruang Tengah", sebuah sesi khusus yang menyajikan diskusi dengan para tokoh intelektual dan sastrawan yang berpengaruh. Pada hari sebelumnya program "Ruang Tengah" telah menghadirkan Martin Aleida, Arswendo Atmowiloto, Goenawan Mohamad, dan pada 6 Agustus 2017 giliran Karlina Supeli, ia adalah perempuan satu-satunya yang dihadirkan dalam program "Ruang Tengah" Asean Literary Festival 2017. Dalam diskusi “Ruang Tengah”, Karlina Supeli menceritakan beberapa bagian hidupnya, seperti saat ia dan kawan-kawan aktivis perempuan berjuang untuk menurunkan rezim Soeharto melalui gerakan Suara Ibu Peduli. Selain itu ia juga menjelaskan bagaimana pandangannya terhadap ujaran kebencian di media sosial sebai sebuah fenomena sosial. Baginya banyaknya ujaran kebencian dan hoax di media sosial adalah dampak dari kedangkalan berpikir masyarakat Indonesia, ia juga menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Baginya keberadaan media sosial menjadi tantangan, bisa menjadi alat untuk memajukan diri tapi di satu sisi bisa menjadi boomerang. Hal yang ia jelaskan lainnya adalah tentang maskulinitas ilmu pengetahuan, pada pembahasan ini ia banyak merujuk pada pengalaman pribadinya sebagai seorang astronom, filsuf dan seorang feminis—meskipun ia lebih senang menyebut dirinya sebagai seoarang pengajar filsafat dibandingkan seorang filsuf. Karlina Supeli mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan, sains, teknologi masih maskulin. Dalam banyak bidang keilmuan seperti sains, matematika dan teknologi kerap kali perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. “Marie Curie yang telah memenangkan Nobel dua kali saja tidak bisa masuk Akademi Sains Paris karena dia perempuan”, tutur Karlina Supeli. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa dalam bidang filsafat juga masih maskulin, pasalnnya ia adalah satu-satunya dosen tetap di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Merujuk pada pengalamannya, Karlina menceritakan bahwa ketika masa orientasi Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung, pertanyaan pertama yang ia dapatkan dari seorang senior adalah: “Kenapa kamu masuk jurusan laki-laki”. Ketika ia menempuh studi di Inggris hal serupa juga ia alami. Karlina menceritakan bahwa ketika ia berusaha menyelesaikan soal matematika selama 3 hari, kemudian mempresentasikannya, dan ternyata ia berhasil, komentar dari dosennya adalah: “Otak kamu adalah otak laki-laki”. Karlina mengakui bahwa ia tidak mengalami diskriminasi secara struktural namun menurutnya pelabelan tersebut berpengaruh terhadap kecenderungan pelajar perempuan memilih jurusan. Selain itu, faktor dorongan orang tua juga berpengaruh besar terhadap pilihan-pilihan anak. Dalam bidang filsafat, pandangan terhadap ketidakmampuan perempuan untuk berpikir juga telah ada sejak lama. “Aristoteles menggolongkan perempuan, budak, dan anak-anak dalam kategori setengah manusia, sehingga tidak memiliki hak politik, kemudian pemikiran Jonh Stuart Mill sangat berpengaruh, ia mengungkapkan bahwa perempuan memiliki kemampuan berpikir yang sama dengan laki-laki sehingga perempuan harus diberikan hak politik”, tutur Karlina. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa ada ketidakadilan yang terjadi, meskipun sifatnya tidak institusional, namun pengalaman-pengalaman ketidakadilan itu pasti dihadapi perempuan. Sehingga baginya hal ini juga merupakan sebuah perjuangan, pertama adalah memperjuangkan proses pendidikan yang sejak awal mengajarkan kesetaran bagi anak-anak dan generasi muda, kemudian yang kedua adalah mengakui bahwa kapasitas nalar dan akal budi laki-laki dan perempuan sama. “Umat manusia akan kehilangan kontribusi yang sangat besar, kalau perempuan dianggap aneh atau tidak boleh menekuini atau memilih bidang keilmuan tertentu”, tegas Karlina. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |