Pada Senin (24/6/2024), Kalyanamitra meluncurkan riset Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu 2024 di Indonesia. Riset ini merangkum pantauan dari berbagai daerah di Indonesia yang mendokumentasikan bentuk-bentuk kekerasan politik maupun kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan selama pemilihan umum (Pemilu). Untuk mendiseminasikan risetnya, Kalyanamitra mengundang Mike Verawati (Koalisi Perempuan Indonesia), Pramono Ubaid Tanthowi (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia – Komnas HAM), Andi Yentriyani (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan – Komnas Perempuan), dan Ratna Susianawati (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – KPPPA) sebagai penanggap temuan riset. Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan atau acuan dalam pembuatan kebijakan Pemilu selanjutnya. Diharapkan, terdapat upaya tegas dari pemerintah untuk mencegah keberulangan KBG selama kegiatan Pesta Demokrasi tersebut.
Pemilu 2019 lalu menunjukkan keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) hanya mencapai angka 20,8 persen. Dibandingkan ambang batas yang diharapkan, yaitu minimum 30 persen, angka ini masih belum memuaskan. Pada Pemilu 2024 pun perempuan, baik yang aktif mencalonkan diri dalam Pemilu maupun sebagai partisipan, masih mengalami berbagai diskriminasi. Bentuk paling umumnya adalah pembatasan partisipasi, diskriminasi, hingga berbagai bentuk kekerasan. Melalui studi di empat wilayah di Indonesia, yaitu Aceh, Jakarta, Makassar, dan Ambon, survei ini mengungkap sembilan tipologi KBG dalam Pemilu. Bentuk-bentuk kekerasan mencakup intimidasi untuk perolehan suara, intimidasi terhadap pembela HAM, diskriminasi terhadap perempuan calon legislatif (caleg) dan petugas Pemilu, narasi seksis dan ujaran kebencian, kekerasan seksual pada masa kampanye, kekerasan dalam ranah privat, mobilisasi untuk perolehan suara, pemungutan suara yang tidak inklusif, dan beban kerja berlebihan penyelenggara Pemilu. Korban KBG dalam Pemilu mencakup kelompok rentan seperti perempuan berpenghasilan rendah, perempuan kepala rumah tangga, minoritas gender, penyandang disabilitas, hingga lanjut usia (lansia). Selain itu, akademisi, jurnalis, relawan, hingga kandidat perempuan pun rentan terhadap kekerasan. Temuan studi di Ambon menunjukkan adanya diskriminasi dan intimidasi terhadap kelompok rentan. Selain itu, pemahaman akan money politic masih sangat mengakar, sehingga masyarakat justru menantikan uang suap untuk memilih caleg maupun calon pemimpin. Sayangnya tidak ada kesadaran untuk menghentikan praktik ini. Sementara itu relawan riset di Sulawesi Selatan memantau terjadinya peningkatan perceraian di kalangan caleg akibat konflik keuangan rumah tangga yang disebabkan oleh tingginya ongkos politik. Pernikahan dini juga menjadi salah satu dampak transaksional Pemilu. Beberapa orang tua menikahkan anaknya dengan motif mendapatkan dukungan politik. Relawan menyatakan, sulit untuk mengadvokasikan bentuk-bentuk KBG lainnya di Sulawesi Selatan, sebab tidak ada tindakan tegas dari Badan Pengawan Pemilihan Umum (Bawaslu) terhadap laporan yang dimasukkan. Caleg perempuan juga masih dihadang oleh narasi tentang “perempuan itu haram untuk menjadi pemimpin ”, ujar relawan riset dari Aceh. Dalam hal ini, pemimpin agama menjadi pihak yang kerap menyebarkan narasi negatif terhadap caleg perempuan. Bahkan praktik diskriminasi terhadap mereka juga dilakukan dengan menukar nomor urut menjadi nomor-nomor kecil, sehingga caleg perempuan sulit mendapat atensi masyarakat. Diskriminasi terhadap transpuan juga terjadi di Aceh. Mereka mendapat olok-olok dan kekerasan verbal dari panitia Pemilu. Menanggapi hasil riset, Andy Yentriyani mengapresiasi riset ini sebagai langkah baik untuk memperbaiki sistem demokrasi. Basis data yang sudah ada ini dapat dipakai untuk membangun mekanisme cepat untuk tahun-tahun mendatang. KBG sesungguhnya sudah dimulai sejak diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 4 Tahun 2024. PKPU 2024 membulatkan batas minimum pencalonan perempuan ke bawah, sehingga representasi yang mungkin muncul menjadi semakin sedikit. Selain itu pula, Ratna Susianawati menggarisbawahi tidak adanya larangan bagi pelaku kekerasan terhadap anak untuk maju kembali di Pemilu, meskipun di PKPU sebelumnya larangan ini sangat tegas. Sosialisasi dan pendidikan politik yang kurang baik pada Pemilu 2024 lalu juga semakin merentankan perempuan. Tanpa pendidikan politik yang memadai, pemilih perempuan semakin besar bertendensi memilih calon berdasarkan sogokan maupun ajakan orang-orang terdekat, bukan berdasarkan isu yang dibawa oleh calon. “Sampai kapan perempuan tidak punya kebebasan untuk memilih berdasarkan track-record calon?” tanya Mike Verawati pada audiens. Upaya pemerataan akses dan pendidikan politik pada perempuan saja tidak maksimal. Hal ini mencerminkan upaya menjangkau kelompok minoritas lainnya, seperti masyarakat adat, lansia, disabilitas, dan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Trans (LGBT) akan lebih rendah lagi. Mike menekankan, karena Pemilu 2024 sudah usai, yang dapat dilakukan kelompok masyarakat sipil adalah mempengaruhi parlemen baru untuk mengubah kebijakan politik mendatang, terutama soal KBG. Pemilu sangat erat dengan peran partai politik, sehingga kesadaran politik baiknya dimulai oleh kebijakan dan keberpihakan partai. Mengenai hal ini, Pramono Ubaid Tanthowi mengkritik partai politik yang kebanyakan tidak memiliki kehendak politik untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam lingkupnya. Hal ini semakin meresahkan karena KBG bahkan dilakukan oleh anggota penyelenggara Pemilu, baik kepada masyarakat umum maupun pada sesama anggota lainnya, dan diproses tanpa sanksi yang berat. “Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga tidak menunjukkan upaya untuk menindak anggota penyelenggara Pemilu yang terbukti melakukan kekerasan seksual,” keluh Wakil Ketua Bidang Internal Komnas HAM ini. Menanggapi tingginya angka KBG dalam Pemilu lalu, riset ini merekomendasikan beberapa tindakan, salah satunya adalah melakukan intervensi hukum yang efektif. Reformasi hukum bagi penyelenggara Pemilu, partai politik, hingga masyarakat sipil menjadi wajib untuk menegakkan perlindungan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya. Tanpa dasar formal, akan sulit melakukan perubahan besar pada sistem yang sudah korup. Pemantauan dan aksi kolektif lainnya dapat dilakukan untuk mengawal hal ini. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |