Ekosistem digital merupakan ranah yang sangat bias karena berbagai peraturan hukum yang menjadi acuan utama di dalamnya sering kali tidak berperspektif korban kekerasan seksual. Laporan dari Komnas Perempuan mengenai kasus kekerasan berbasis gender seksual telah menyingkap bahwa per 2024 terdapat 1801 kasus berkaitan dengan konteks tersebut. Kuantitas ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2022 dengan 1638 kasus, dan 2021 dengan 940 kasus. Angka-angka ini hanya merupakan bagian dari fenomena gunung es karena pada praktiknya terdapat banyak korban kekerasan seksual berbasis digital yang tidak melapor. Sebagai upaya menggaungkan implementasi hukum dalam menanggulangi kekerasan seksual dalam ranah digital, Jurnal Perempuan menggandeng Lidwina Inge Nurtjahyo melalui kelas Feminisme dan Filsafat (KAFFE) September 2024 pada Senin (23/9/2024) lalu. Kegiatan yang dilaksanakan melalui platform Zoom ini diawali dengan pemaparan diferensiasi kekerasan berbasis gender online (KBGO) dengan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Inge menjelaskan bahwa KBGO sangat sarat akan persoalan relasi kuasa antargender yang timpang. Kekerasan jenis ini dilakukan dengan menggunakan perantara teknologi digital, meskipun tindakannya tidak terbatas pada ruang digital. Dirinya juga mencatat bahwa KBGO berkembang pesat utamanya saat masa pandemi karena masyarakat cenderung berkegiatan secara digital. Eksistensinya menjadi pelanggaran terhadap HAM seseorang yang secara khusus berkaitan dengan aspek perlindungan data pribadi. Sementara pada sisi lainnya, KSBE biasanya sarat akan serangan terhadap tubuh dan seksualitas, meskipun juga beririsan dengan aspek perlindungan data pribadi. Ia merupakan bagian dari KBGO yang dapat terjadi pada laki-laki, tetapi perempuan mengalami kerentanan yang khusus pada konteks ini. Bentuk-bentuk yang lazim ditemukan meliputi body shaming, pengiriman konten bermuatan seksual dan abusive melalui platform media sosial kepada korban baik secara privat maupun dalam kelompok terbatas, grooming, hingga deepfake dan revenge porn. Pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia itu mengajukan pemikiran Blomley yang menegaskan bahwa regulasi hukum mampu menciptakan batas-batas dalam membentuk ruang bagi aktivitas manusia. Batasan yang ada ini dapat dikonstruksi melalui regulasi baik yang berasal dari negara, pemerintah, bahkan masyarakat sendiri. Konsepsi inilah yang kemudian dapat digunakan sebagai instrumen dalam mengatur ruang digital melalui sejumlah regulasi.
Inge menambahkan bahwa perbedaan ruang fisik dengan ruang digital ini terletak pada batasnya. Batas ruang digital bukan lagi tembok, tetapi regulasi yang sifatnya mengatur. Pada negara seperti Indonesia, pengaturan data pribadi pada ruang digital telah diatur melalui sejumlah regulasi mulai dari Undang-Undang (UU) Pornografi No. 44 Tahun 2008, UU ITE No. 11 Tahun 2008, UU TPKS No. 12 Tahun 2022, UU PDP No. 27 Tahun 2022, hingga Permendikbud 30/2021 dan 46/2022. Meski begitu, berbagai regulasi ini masih mengalami kendala seperti hukum yang tumpang tindih, keterbatasan pembuktian, hingga adanya perbedaan rezim hukum. Dari segi budaya hukum, kekerasan seksual masih kerap dianggap sebagai sekadar gurauan hingga “penghangat persahabatan”. Kurangnya perspektif yang pro korban juga menjadi hambatan berlapis yang membuat para korban terhambat dalam mendapatkan perlindungan secara penuh. Kekerasan berbasis digital memiliki beragam konsekuensi yang signifikan bagi korban, seperti trauma secara fisik dan emosional, hambatan dalam bergaul, tekanan secara ekonomi, bahkan kriminalisasi dan kematian. Oleh karena itu, Inge menekankan pentingnya mengatur restriction order utamanya berkaitan dengan mekanisme pelaporan, perintah, eksekusi, hingga pengawasan terhadap berjalanya satu kasus tertentu. Di samping itu, perspektif yang pro korban yang berfokus pada perlindungan dan pemulihan hak-hak korban diperlukan dalam konteks ini. Inge juga mengingatkan pentingnya perlindungan data pribadi korban yang lebih serius dalam rangka meringankan beban emosional mereka. Terakhir, bagi Inge penting untuk dilaksanakan pelatihan aparat penegak hukum (APH) sehingga sebagai ujung tombak keadilan, para pembuat kebijakan dapat menafsirkan peraturan secara rigoris dan berperspektif korban dalam menangani berbagai kasus kekerasan. Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |