Pada Selasa (29/10/24), Jurnal Perempuan mengadakan kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) yang menghadirkan Dr. Hariati Sinaga, seorang dosen di Prodi Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), sebagai pembicara. Tajuk kali ini berfokus pada “Buruh Perempuan dalam Industri Perkebunan Kelapa Sawit dalam Perspektif Feminisme dan Keadilan Gender”, yang diangkat oleh Hariati sebagai bentuk penelusuran pada realitas kehidupan buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit yang sering kali terlupakan. Acara ini diadakan secara daring melalui Zoom dan dipandu oleh Putu Gadis Arvia. Bagi Hariati, kesempatan menjadi pembicara dalam acara KAFFE ini menjadi wadah berbagi dari hasil risetnya selama sepuluh tahun terakhir terkait isu perempuan dalam industri kelapa sawit. Hariati mengapresiasi Jurnal Perempuan yang berani mengangkat tema ini, mengingat masih sedikit orang yang tertarik mengkaji buruh perempuan dalam sektor sawit. Padahal produk sawit sangat dekat dengan keseharian kita, baik melalui makanan maupun produk kecantikan seperti penggunaan skincare. Hariati memulai pembahasannya dengan menjelaskan istilah "buruh siluman" yang mengacu pada status perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL). Status ini membuat mereka tidak memiliki akses terhadap hak-hak dasar pekerja seperti tunjangan, cuti, dan asuransi ketenagakerjaan. Berdasarkan data dari Sawit Watch (2019), terdapat sekitar 16 juta tenaga kerja di industri kelapa sawit di Indonesia, dan sekitar 4 juta di antaranya adalah pekerja langsung. Sebagian besar dari pekerja tidak langsung ini adalah perempuan, yang menunjukkan bahwa meskipun sektor ini dipandang sebagai sektor "maskulin", peran perempuan tidak bisa diabaikan. Hariati menjelaskan bahwa pekerjaan di perkebunan sawit terbagi menjadi dua kategori utama: pemanenan dan perawatan. Pemanenan, yang umumnya dilakukan oleh laki-laki, dianggap lebih "berat" dan dihargai lebih tinggi. Sementara itu, perawatan sering kali dilakukan oleh perempuan, melibatkan tugas seperti penyemprotan, pemupukan, penebasan, dan sensus, yang berhubungan erat dengan stereotip gender. Ada pula pekerjaan lainnya seperti "jangkos" yaitu pekerja yang mengelola tandan kosong untuk dijadikan pupuk organik. Jangkos umumnya dilakukan oleh ibu-ibu yang sudah cukup berumur, sehingga pekerjaan ini sering dianggap sebagai tugas "rendahan" dibandingkan dengan pemanenan dan perawatan. Selain itu, buruh perempuan juga menjalankan pekerjaan lain seperti buruh lingkungan yang bertugas mengurus taman dan sampah di sekitar kantor perkebunan atau rumah tamu. Ada juga pekerja perempuan di mes perusahaan yang bertugas melayani tamu dan menjaga kebersihan mes. Para buruh ini, yang usianya sering kali sudah lanjut, dianggap sebagai bagian dari "kelas" yang lebih rendah dalam hierarki perkebunan. Pekerjaan yang dilakukan oleh buruh perempuan ini tidak hanya terbatas pada tugas yang dibayar. Mereka juga melakukan pekerjaan tidak dibayar dalam bentuk kerja reproduktif seperti mengurus anak, memasak, dan mengelola rumah tangga. Beban ganda ini menambah berat kehidupan buruh perempuan, yang harus menggabungkan kerja produksi di kebun dengan tanggung jawab domestik. Dalam struktur ketenagakerjaan di perkebunan skala besar, buruh perempuan non-permanen atau "buruh siluman" ini menempati lapisan terbawah dalam hierarki pekerja, sebagaimana diilustrasikan dalam piramida ketenagakerjaan. Pada lapisan atas, terdapat staf administrasi atau manajer, yang kebanyakan laki-laki dan memiliki akses penuh terhadap hak ketenagakerjaan. Di bawahnya, terdapat Syarat Kerja Umum (SKU), yang kebanyakan adalah pekerja laki-laki di bagian pemanenan. Buruh siluman berada di lapisan paling bawah dan tidak memiliki akses terhadap hak-hak dasar seperti asuransi kesehatan, cuti, atau perlindungan lainnya, sehingga mereka rentan terhadap eksploitasi.
Bagi buruh perempuan, posisi sebagai buruh harian lepas menciptakan ketidakpastian kerja dan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Selain itu, minimnya fasilitas kesehatan dan jarak yang jauh dari pusat layanan kesehatan membuat buruh perempuan harus menghadapi risiko kesehatan yang tinggi. Banyak kasus buruh perempuan yang harus melahirkan di kebun karena tidak ada akses transportasi yang memadai untuk mencapai fasilitas kesehatan terdekat. Selain kerentanan terhadap PHK, buruh perempuan juga kerap menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Dalam struktur perkebunan, posisi mandor biasanya diisi oleh laki-laki, sementara pekerja perempuan di bagian perawatan yang dipimpin oleh mandor laki-laki ini rentan terhadap pelecehan seksual akibat relasi kuasa yang timpang. Perusahaan juga jarang memberikan peluang bagi perempuan untuk menjadi mandor, dengan alasan bahwa perempuan dianggap kurang cakap dalam memimpin. Hariati juga menyoroti dampak dari paparan bahan kimia terhadap kesehatan buruh perempuan. Tugas-tugas seperti penyemprotan dan pemupukan melibatkan penggunaan bahan kimia yang berbahaya. Tanpa perlindungan yang memadai, buruh perempuan mengalami risiko kesehatan yang serius. Hal ini diperparah dengan jam kerja yang panjang dan beban kerja ganda yang menambah kelelahan fisik dan mental. Dalam analisis feminis, Hariati membedakan antara dua aspek utama dalam memahami buruh siluman di perkebunan kelapa sawit. Pertama adalah pembentukan buruh siluman kontemporer dalam perspektif ekonomi politik feminis. Analisis ini melihat pekerjaan buruh perempuan sebagai produk dari konstruksi sosial yang berkaitan dengan upah murah dan beban ganda. Ekonomi politik feminis membantu memahami bagaimana tenaga kerja murah yang disediakan oleh buruh perempuan berperan dalam perdagangan komoditas sawit di pasar global. Kedua, Hariati menjelaskan konstruksi sosio-historis dari buruh siluman dengan menggambarkan bagaimana konstruksi sosial ini terbentuk dari masa kolonial hingga sekarang. Pada masa penjajahan Belanda, misalnya, buruh perempuan kerap bekerja sebagai kuli perkebunan dengan upah yang rendah dan sebagian dari mereka terlibat dalam prostitusi. Selain itu, figur "Nyai", yaitu perempuan lokal yang menjadi gundik atau pekerja rumah tangga di rumah tuan kebun, menggambarkan bentuk subordinasi gender yang masih relevan dalam analisis kolonialisme gender saat ini. Menurut perspektif feminis dari Mies (1994), fenomena ini disebut pengiburumahtanggaan atau housewifization, yaitu proses di mana peran perempuan dalam pekerjaan domestik diperkuat sebagai bentuk perbudakan modern yang tetap bertahan meski era kolonial telah berlalu. Pendekatan ini menyoroti bahwa ketimpangan gender masih berlanjut, di mana perempuan kehilangan akses terhadap hak-hak dasar, terutama di sektor perkebunan yang didominasi oleh kapitalisme global. Dalam menghadapi kondisi yang tidak adil ini, buruh perempuan melakukan perlawanan dengan cara-cara yang adaptif. Mereka sering mengumpulkan tanaman liar di sekitar perkebunan, membuka usaha kecil seperti warung atau menerima pesanan kue, dan beberapa bekerja di tempat lain sebagai bentuk diversifikasi pendapatan. Strategi lainnya adalah dengan mengajukan utang, yang walaupun membantu memenuhi kebutuhan mendesak, tapi tetap menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Buruh perempuan juga berupaya memperjuangkan hak-hak mereka melalui pembentukan kelompok perempuan atau bergabung dengan serikat buruh yang menyediakan advokasi untuk upah layak dan hak perburuhan. Realitas kehidupan buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit masih jauh dari kata sejahtera. Mereka bekerja dalam kondisi rentan, tidak diakui secara formal, dan terbatas aksesnya terhadap hak-hak dasar pekerja. Perspektif feminisme dan keadilan gender mengungkapkan bahwa perempuan di sektor ini mengalami diskriminasi gender yang berlapis, serta terperangkap dalam ketidakpastian kerja yang menyebabkan kemiskinan struktural. Eksploitasi terhadap buruh perempuan di sektor sawit adalah bagian dari sistem kapitalis yang berfokus pada keuntungan perusahaan, sementara kesejahteraan buruh perempuan diabaikan. Langkah selanjutnya adalah mendesak pemerintah dan perusahaan untuk membuat kebijakan yang melindungi hak-hak buruh perempuan, termasuk akses terhadap fasilitas kesehatan, perlindungan dari pelecehan, serta kesetaraan dalam kesempatan kerja, jelas Hariati. Melalui kritik feminisme, acara ini juga membuka pandangan baru terhadap bagaimana kapitalisme menempatkan buruh perempuan dalam posisi yang rentan, sementara keuntungan tetap terkonsentrasi pada segelintir orang. Harapannya, perspektif feminisme ini dapat mendorong kesadaran publik tentang pentingnya perubahan kebijakan yang berpihak pada buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit, agar keadilan gender dapat tercapai di sektor industri ini. (Try Suriani Loit Tualaka) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |