Julia Suryakusuma, seorang aktivis perempuan dan penulis buku Sex, Power, Nations yang menjadi bacaan wajib bagi peminat studi gender di Asia Tenggara, berbicara mengenai konstruksi sosial perempuan pada acara diskusi “Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial” di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Selasa (06/10/2015). Diskusi ini merupakan rangkaian acara Wani Ditata Project , proyek seni perupa perempuan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan kurator Angga Wijaya. Julia Suryakusuma membuka pembicaraannya dengan mengungkapkan bahwa Ibuisme negara adalah perkawinan antara feodalisme dan kapitalisme. Julia melanjutkan dengan mangatakan bahwa Ibuisme negara terjadi karena negara mengkonstruksikan perempuan sebagai pelaku pekerjaan domestik sehingga perempuan pada saat itu menjadi angkatan kerja kapitalisme yang tidak dibayar. Lebih lanjut, Julia memaparkan bahwa perempuan yang merupakan separuh dari warga negara juga tidak dimasukkan dalam analisis politik sehingga negara bisa mengontrol masyarakat melalui kontrolnya terhadap perempuan. Gerwani misalnya dikonstruksikan sebagai perempuan jalang yang menyilet-nyilet kemaluan para jenderal. Kemudian Dharma Wanita organisasi perempuan yang menurut Julia adalah replika negara, karena hierarkinya mengikuti struktur negara. Istri menteri akan menjadi ketua Dharma Wanita dalam level menteri, begitu seterusnya hingga level desa. Ini menunjukkan bahwa posisi perempuan bukan karena prestasinya tapi karena posisi penting suaminya dalam ranah politik. Hal lain yang menurut Julia sangat menekan perempuan adalah Panca Dharma Wanita pada zaman Orba yang berisi butir-butir pokok untuk menjadi perempuan ideal. Lebih jauh lagi Julia mengungkapkan bahwa pada zaman Orba karier suami ditentukan oleh sejauh mana istrinya aktif dan turut serta dalam Dharma Wanita, sehingga efek samping yang muncul adalah suami akan memaksa istri untuk berkiprah di organisasi tersebut, pada titik inilah perempuan memiliki peran ganda tanpa kontribusi laki-laki di ranah domestik. Meskipun Orde Baru sudah berakhir namun menurut Julia konstruksi sosial terhadap perempuan masih tetap terjadi, hal ini disebabkan karena ideologi dan kultur tersebut masih tertanam di dalam alam bawah sadar kita. Ia mengilustrasikan bahwa perbedaan yang mendasar dari perubahan zaman Orde Baru ke zaman Reformasi adalah seperti sebuah segitiga, jika pada zaman Orba segitiga tersebut berbentuk hierarki dan kita tahu bahwa perempuan berada pada tingakatan paling bawah, namun sekarang segitiga tersebut menjadi bentuk segitiga sama sisi. Segitiga sama sisi yang dimaksud Julia adalah kalangan prodemokrasi, anti demokrasi, dan kekuatan pasar ada di ketiga sudut tersebut, kemudian di tengahnya adalah negara. Ilustrasi ini menandakan bahwa negara sedang ditarik oleh ketiga sisi tersebut. Marginalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi karena sistem desentralisasi yang pada akhirnya mengukuhkan devolusi kekuatan politik yang tersebar. “Dahulu rajanya hanya satu, sekarang setiap daerah punya rajanya masing-masing” papar Julia. Kontrol terhadap perempuan semakin beragam bentuk dan melahirkan Perda-Perda diskriminatif yang kontradiktif dengan UU dan Konstitusi. “Konstruksi sosial masih sangat signifikan”, ungkap Julia Suryakusuma sebagai penutup materinya. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |