Jubaedah merupakan acara yang diinisiasi oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai beragam isu kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat serta mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Diskusi kali ini mengangkat tema “Bagaimana Kabar RUU P-KS Kini dan Nanti?”. Diskusi ini menghadirkan dua pembicara yaitu; Neng Eem Marhamah Zulfa, S.Th.I, MM (Anggota Badan Legislatif), dan Asnifriyanti Damanik, SH. (LBH Apik). Diskusi ini dilakukan mengingat kasus kekerasan seksual makin marak terjadi, namun RUU P-KS ditarik dari Prolegnas Prioritas oleh Komisi 8 DPR RI. Dalam pemaparannya, Asnifriyanti Damanik selaku perwakilan dari LBH Apik, memaparkan bahwa RUU ini sudah melalui perjalanan yang lumayan panjang. “Proses sudah dimulai sejak tahun 2012 untuk mengumpulkan data kekerasan seksual dan kajian yang menghasilkan 15 bentuk kekerasan seksual yang baru, jauh berbeda dengan rumusan KUHP yang hanya mengenal 2 bentuk kekerasan seksual,” jelas Asnifriyanti. Namun RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas pada tahun 2017 ini harus ditarik dari pembahasan Prolegnas Prioritas pada 30 Juni 2020 lalu. Lebih lanjut, Asnifriyanti Damanik menjelaskan bahwa RUU ini harus segera dibahas dan disahkan mengingat tiga urgensi yang melatarbelakanginya yakni; landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam landasan filosofis, RUU P-KS selaras dengan Pancasila di mana Negara dan Agama sejatinya memberikan pelindungan bagi orang-orang yang lemah. Ditinjau dari landasan sosiologis, kasus kekerasan seksual mucul setiap harinya dan Negara belum sepenuhnya hadir untuk melindungi. Berbeda dengan dua landasan di atas, dari sisi yuridis, belum ada satupun peraturan yang komperhensif dan berprespektif pada korban kekerasan seksual. “Setelah dikeluarkannya RUU P-KS dari Prolegnas Prioritas, Koalisi masyarakat sipil sedang menyuusn kembali Naskah Akademik dan draft RUU walaupun tidak mengubah secara keseluruhan, agar dalam proses advokasinya lebih memudahkan,” ungkap Asnifriyanti. Dalam kesimpulannya, Asnifriyanti Damanik mengatakan bahwa pengesahan RUU P-KS adalah kebutuhan yang mendesak, sebab kasus kekerasan seksual semakin banyak. Neng Eem Marhamah Zulfa dari Badan Legislatif melanjutkan bahwa dalam pembahasan RUU P-KS ada beberapa persoalan. “Secara keseluruhan DPR RI dan Baleg bukannya tidak setuju dengan substansinya, namun hal ini disebabkan oleh situasi yang terjadi sekarang, dan terbenturnya soal judul, definisi kekerasan seksual, dan aturan mengenai pemidanaan. Dengan dikeluarkannya dari Prolegnas Prioritas, koalisi masyarakat sipil yang memiliki concern harus mulai lagi berkonsolidasi dan membentuk satu pemahaman bersama dengan seluruh pihak pengambil keputusan. Tidak hanya Komisi 8, tetapi dalam cakupan yang lebih luas,” jelas Neng Eem Zulfa. Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya RUU ini tidak hanya untuk memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual, tetapi juga untuk memberikan kesadaran hukum dan budaya bahwa kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan kemanusiaan. (Octania Wynn) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |