“Setiap hari, ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Dan setiap 3 jam, setidaknya ada 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual (data Komnas Perempuan). Inilah mengapa kita sebut “Darurat kekerasan Seksual”. Perempuan dan anak terancam, Negara lambat bertindak” Demikian lead yang tertulis pada selebaran yang dibagi lalu dibacakan oleh anggota Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS) yang terdiri dari beberapa lembaga seperti LPH YAPHI, SPEKHAM, ATMA, Yayasan Krida Paramita Surakarta (YKPS), Ekasita, LSK Bina Bakat, Forum Gerak Difabel dan Jejer Wadon serta segenap masyarakat pada Sabtu, 7 Maret 2015, di Bundaran Gladag. Pada malam keprihatinan untuk memperingati hari Perempuan Internasional tersebut juga dibacakan orasi oleh Haryati Panca Putri, ketua JPPAS yang juga direktur LPH YAPHI serta dukungan terhadap pengusutan kasus kekerasan seksual dan segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berupa pembubuhan tanda tangan bersama. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan pejabat publik menjadi pelaku, proses hukum menjadi sulit bagi korban. Di ranah kebijakan, ketiadaan payung hukum menyebabkan sejumlah kasus tidak diproses karena dipandang tidak memiliki bukti yang cukup. “Kita melihat kekerasan seksual menjadi satu keprihatinan terkait kasus-kasus yang ada di Solo Raya, satu kasus yang kita hadapi saat ini adalah kasus kekerasan seksual yang indikasi tersangkanya adalah Raja Solo, PB XIII Hangabehi” tutur Haryati Panca Putri. Selain pembacaan puisi, orasi serta nyanyian, para anggota JPPAS bersama masyarakat melakukan flashmob. Sebuah representasi tari berupa gerakan tubuh disertai alunan musik dan para penari berpayung menyiratkan adanya simbol bahwa perlunya payung hukum dan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Sementara itu NR.Kurnia Sari, anggota DPRD Surakarta menyoroti perempuan yang kerap dijadikan obyek. Perempuan memiliki beban ganda sebagai istri dan seorang ibu yang juga berperan ketika mencari nafkah serta di ranah publik. “Di beberapa kasus di tempat kerja, perempuan harus memiliki hak-hak di tempat kerja. Selalu kekerasan terjadi identik dengan korban perempuan. Ada stereotype di masyarakat tentang perempuan yang bekerja larut malam di luar rumah,” tutur NR.Kurnia Sari. Di ranah politik kuota 30 persen anggota legislatif perempuan belum terealisasi untuk memperjuangkan hak-haknya. Di Surakarta 45 kursi anggota DPRD baru terisi 8 perempuan. Sedangkan payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) yang berpihak kepada perempuan baru ada 2 yakni Perda AIDS dan Perda Seks Komersil. Pada acara yang dipandu oleh Elizabeth Yulianti Raharjo dan Muladiyanto, JPPAS beserta masyarakat dampingan menuntut 3 hal , yaitu 1) Usut tuntas kasus kekerasan seksual yang dilakukan Raja Solo, dan berikan hukuman yang berat pada setiap pelaku kekerasan seksual. 2) Lindungi perempuan dan anak, berikan hak dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. 3) Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, akhiri impunitas (kekebalan) pelaku kekerasan seksual. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |