Persoalan stigma dan diskriminasi berbasis Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Body (SOGIEB) hampir pasti terjadi pada komunitas LBT. Sedangkan bentuk kekerasan tersebut tidak mudah dinyatakan dan dikonotasikan dalam perspektif hukum. Kekerasan itu sendiri berlapis dan berlangsung paralel. “Karena definisi SOGIEB belum terakomodasi dalam kebijakan negara,” tutur Indriyati Suparno, komisioner Komnas Perempuan (2015-2019) fasilitator Focus Group Discussion (FGD) yang dihelat oleh lembaga Talita Kum dan didukung oleh Hivos di Hotel Sarila Solo, Jumat (5/12/2014). Menurut catatan, SOGIEB adalah konsep yang mudah dipahami dan sejak tahun 2010 dikaji oleh Universitas Indonesia. “Ada banyak situs di internet. Paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual. SOGIEB belum ada pembicaran oleh negara,” jelas Reny Kistiyanti direktur Talita Kum menambahkan. Ada seruan dari Talita Kum terkait kasus kekerasan kepada perempuan berbasis SOGIEB. Oleh karena catatan kependudukan tidak mengakomodir Priawan, istilah domestik dari female-male, maka ada pihak kepolisian yang malah mengidentifikasi dan membahas orientasi seksual yang bersangkutan. “Usut saja pelanggaran kasusnya, tanpa membahas orientasi seksualnya,” tutur Reny Kistiyanti. Menanggapi pertanyaan Rahayu Purwaningsih dari lembaga SPEK-HAM tentang budaya patriarki yang punya relasi besar dalam membangun relasi manusia apakah dalam relasi sejenis yang disebut homoseksual bentuk kekerasannya seperti apa. Reny Kistiyanti menjawab bahwa di internal juga terjadi pelaku kekerasan terlepas apakah terjadi relasi patriarki atau bukan. “Priawan atau dalam komunitas lain disebut Buchie, mereka mengadopsi relasi heteroseksual, pembagian kerja juga mengacu kepada heteroseksual yang mainstream. Jika bahwa misalnya feminitas tidak hanya di rumah dan harus kerja, maka itu dilakukan. Menurut saya salah satu kunci untuk mencegah kekerasan dalam internal maka lakukanlah relasi dengan kerelaan,” tutur Reny Kistiyanti. Seorang peserta dari Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Surakarta menyarankan agar diskusi lebih diperluas lagi untuk menghindari kerancuan. “Selama ini kami bekerja berdasarkan laporan yang berkembang di masyarakat. Konsep ini sangat bermanfaat dan silakan jika konsep SOGIEB diperkenalkan pula kepada lembaga pendidikan.” Sedangkan Murti dari Bapermas Surakarta menyilakan agar konsep ini perlu dikaji lagi karena unit Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) untuk tahun 2015 Perda belum dibuat. “Silakan berjejaring dengan 40 lembaga layanan di kota Solo. Kami bersiap hadir untuk diskusi-diskusi penanganan kasus berbasis SOGIEB. Dan juga semoga diakomodasi dalam anggaran perubahan tahun 2015,”tutur Murti. Purwanti dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta menyampaikan informasi bahwa ada kesepakatan nasional tentang kodefikasi Pemilu 2019 “Ada keterwakilan dari masyarakat marginal termasuk dari LGBT,” tutur Purwanti. Menindaklanjuti diskusi yang berlangsung, Purwanti menawarkan jejaring karena jika bisa bergabung maka akan menjadi pressure terhadap negara. “Isu-isu kesehatan jasmani dan rohani yang menjadi persyaratan dalam CPNS, misalnya, apakah juga akan berimbas kepada LGBT?”pungkas Purwanti. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |