Praktik pernikahan anak sudah mencapai situasi darurat karenanya pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis untuk mengatasinya, diantaranya dengan mengeluarkan Perpu dan Perda pencegahan pernikahan anak serta menghapus dispensasi perkawinan. Selain itu dibutuhkan juga kerjasama dan komitmen dari para pihak terkait untuk mencegah dan mengurangi pernikahan anak serta membangun kesadaran masyarakat atas dampak buruk pernikahan anak. Demikian kesimpulan Seminar Nasional “Praktik Perkawinan Anak: Mematikan Harapan dan Cita-cita Generasi Muda di Indonesia” yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (18/2). Acara yang diselenggarakan oleh Kalyanamitra, Jurnal Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia dan YLBH APIK ini dihadiri oleh sejumlah kalangan seperti pelajar, akademisi, LSM dari sejumlah daerah serta media. Acara dibuka dengan sambutan oleh Konselor Politik dan Hubungan Masyarakat, Kedutaan Besar Kanada di Indonesia, Helene Viau dan Ketua Kalyanamitra, Listyowati. Helene mengungkapkan bahwa pernikahan anak merupakan pelanggaran hak asasi anak dan mengancam pendidikan serta membahayakan kesehatan anak perempuan. Kedutaan Kanada menanggapi isu ini dengan menggunakan sudut pandang hak asasi manusia dan pembangunan. Helene mengatakan Kanada mendukung upaya pencegahan pernikahan anak di tingkat nasional dan akar rumput dengan bekerja sama dengan LSM yang fokus di isu tersebut. Sementara Listyowati mengungkapkan bahwa pernikahan anak bukanlah isu baru, upaya advokasi sudah dilakukan sejak lama namun hingga kini pernikahan anak masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Usai sambutan acara dilanjutkan dengan keynote speech oleh Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Lenny Nurhayanti Rosalin. Dalam paparannya Lenny mengungkapkan bahwa KPPPA telah melakukan sejumlah upaya untuk menghentikan pernikahan anak salah satunya diintegrasikan lewat program Kabupaten dan Kota Layak Anak. Lenny menjelaskan terdapat 31 indikator—yang dijabarkan dari konvensi hak anak—yang harus dipenuhi untuk menjadi kota layak anak. Salah satu indikatornya adalah angka usia perkawinan pertama di bawah 18 tahun. Indikator lain adalah adanya Forum Anak, baik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan maupun desa/kelurahan. Lewat Forum Anak, seorang anak diharapkan dapat menjadi pelopor, untuk memengaruhi peer group-nya, sekaligus pelapor atas praktik pernikahan anak yang terjadi di lingkungannya. Seminar ini menghadirkan empat pembicara yang membahas pernikahan anak dari aspek yang berbeda, yakni Iklilah Muzayyanah (Pusat Riset Gender PPS UI), Maria Ulfah Anshor (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Bhakti Pertiwi (Perwakilan Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta) dan Dian Kartikasari (Koalisi Perempuan Indonesia). Dalam paparannya Iklilah mengungkapkan bahwa praktik perkawinan anak dipandang sebagai alternatif jalan keluar atas kekhawatiran terjadinya zina, atas mitos dan stigma, atas peralihan tanggung jawab amanah dan atas keamanan terutama dalam situasi konflik. Pandangan bahwa anak merupakan beban ekonomi ikut mendorong praktik pernikahan anak karena perkawinan juga berarti mengurangi biaya hidup, biaya kesehatan, biaya pendidikan, dll. Di sisi lain, pandangan bahwa anak merupakan aset ekonomi juga berkontribusi atas terjadinya pernikahan anak yang bentuknya dapat berupa kawin kontrak, kawin utang, kawin trafficking, kawin cina buta, dsb. Selain itu pandangan yang memosisikan anak sebagai penjaga nama baik juga mengakibatkan anak harus kawin ketika ia menjadi korban pemerkosaan, korban pelecehan seksual, korban inses, dicurigai telah berzina, hamil tidak diinginkan, dsb. Sementara itu Maria ulfah mengungkapkan bahwa UU Perlindungan Anak (PA) secara tegas menyebutkan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun. Dalam pasal 26 juga disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Lebih lanjut Maria mengutarakan bahwa teori hukum menyatakan undang-undang yang diterbitkan paling baru adalah yang wajib diterapkan dan menjadi acuan menggantikan undang-undang yang lama. Jika teori tersebut dilaksanakan, maka putusan MK mengenai penolakan judicial review UU Perkawinan tidak perlu dipermasalahkan karena UU Perkawinan sudah batal demi hukum, bisa ditinggalkan dan digantikan dengan UU Perlindungan Anak. Maria menambahkan dari aspek struktur hukum, aparat penegak hukum tidak menganggap perkawinan anak sebagai pelanggaran hukum. Ini dapat dilihat dari tidak adanya tindakan yang diambil penegak hukum terhadap orang tua yang menikahkan anaknya misalnya. Di sisi lain kesadaran masyarakat tentang hukum dan praktik perkawinan belum mengacu pada UU PA. Selain itu praktik perkawinan anak dianggap sebagai budaya yang dibenarkan oleh agama. Meskipun demikian terdapat beberapa daerah yang telah mengupayakan sejumlah langkah pencegahan praktik perkawinan anak, salah satunya Kabupaten Gunung Kidul. Bhakti Pertiwi mengutarakan bahwa Pemkab Gunung Kidul telah mengeluarkan Perbup Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak. Adapun program yang dijalankan di tingkat kecamatan antara lain berupa penandatanganan kesepakatan bersama untuk pencegahan perceraian, pernikahan usia dini dan penurunan angka kematian ibu dan bayi. Ada juga pemberian penghargaan bagi desa-desa yang angka pernikahan anaknya nol, yakni Gedangsari Award. Selain itu semua kecamatan melaksanakan pendidikan pranikah bagi remaja dan pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa-siswi. Menurut Bhakti langkah-langkah tersebut telah berhasil menurunkan pernikahan usia anak dan perkara dispensasi kawin baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Sementara itu di tingkat nasional, keberadaan Perpu Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mengatasi lambannya perubahan hukum. Dian Kartikasari mengungkapkan Perpu dibutuhkan karena terdapat situasi darurat. Mengacu pada data BPS (Badan Pusat Statistik) tercatat sepanjang tahun 2014 terdapat 911.644 perkawinan anak. Sementara perkawinan di usia anak sesungguhnya merupakan fenomena gunung es, sehingga jumlah perkawinan di usia anak yang tidak tercatat jauh lebih banyak daripada jumlah perkawinan di usia anak yang tercatat. Situasi kegentingan juga ditunjukkan oleh dampak negatif perkawinan anak terhadap kesehatan anak, tumbuh kembang anak dan terhadap keluarga akibat lingkaran kemiskinan yang dihasilkan. Lebih jauh Dian menjelaskan draf Perpu yang pembahasannya difasilitasi oleh KPPPA ini secara tegas menyebutkan tiga poin penting yakni batasan usia perkawinan minimal adalah 18 tahun, menghapus dispensasi nikah dan mewajibkan kementerian dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk melakukan pencegahan pernikahan anak. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |