Bertempat di Gedung Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, Kamis (24/09/2014) Program Studi Kajian Budaya dan Media bekerjasama dengan Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan diskusi buku Body Memories. Pembicara dalam diskusi tersebut adalah Suzie Handajani dari Prodi Kajian Budaya dan Media-Sekolah Pasca Sarjana UGM dan Arianti Ina Restiani Hunga Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender-UKSW sekaligus Ketua Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) Jateng. Hadir juga dalam diskusi tersebut beberapa SJP di wilayah Yogyakarta. Pemred Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum turut memberikan pengantar dalam diskusi yang dimoderatori oleh Ch. Budiman. Dewi yang juga menjadi editor buku menuturkan bahwa buku Body Memories ditujukan untuk special reader, oleh karena itu buku tersebut dicetak terbatas yaitu hanya 200 eksemplar. Menurut Dewi, Body Memories ditulis juga salah satunya untuk menyambut Sustainable Development Goals pada tahun 2015, yang sebelumnya merupakan Milenium Development Goals. Ina Hunga sebagai pembicara pertama yang juga salah satu kontributor dalam buku Body Memories membuka diskusi dengan presentasi mengenai paper dalam buku tersebut. Paper dengan judul “Protecting Women’s Domestic Area & Environment: Study on Eco-friendly Batik” menawarkan bagaimana paham ekofeminisme bisa dilihat sebagai fakta empiris sehari-hari. Ina menemukan kesamaan pola dominasi antara manusia terhadap alam dengan dominasi industri batik—yang biasa diidentikkan dengan laki-laki—atas rumah-rumah perempuan. Melalui tulisannya dia menjelaskan kehidupan perempuan pembatik yang biasa bekerja dengan putting out system. Batik diproduksi di dalam rumah-rumah sebagai produk dari perempuan yang seharusnya memberikan keuntungan bagi perempuan, namun ternyata justru berkebalikan. Ina memberikan fakta-fakta mengenai mirisnya produksi batik rumahan. Putting out system yang ada dalam industri batik dirasa memberikan banyak kerugian bagi perempuan. Perempuan pembatik yang berada pada rantai paling bawah industri batik hanya diberikan upah sekitar 30% per-kain. Tuturnya lagi, para perempuan pembatik juga tidak mempunyai identitas. Konsumen hanya mengenal batik jadi yang sudah dijahit menjadi pakaian, lalu diberi label dengan merek bergengsi dan dipajang di pasar maupun di toko-toko. Tetapi mereka tidak pernah mengenal siapa yang bekerja di balik kain-kain tersebut. Selain itu, proses produksi yang dilakukan di rumah-rumah juga menghilangkan pemaknaan rumah bagi perempuan dan anak-anak. Rumah yang dulunya dijadikan tempat beristirahat dan bermain, kini dipenuhi oleh alat dan bahan untuk membuat batik. Tidak jarang bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai pewarna batik ditemukan berdekatan dengan peralatan rumah tangga, seperti peralatan makan. Alhasil, perempuan pembatik dan keluarganyalah yang harus menanggung bahaya dan risiko pencemaran limbah hasil produksi batik. Oleh karena itu, menurutnya diperlukan strategi perempuan untuk melindungi rumah dan keluarganya. Suzie Handajani sebagai pembicara kedua dalam diskusi mengawali pembicaraan dengan kembali pada pemahaman atas gender. Dia bercerita, dahulu kata gender sering diidentikkan dengan emansipasi. Padahal, menurutnya kata emansipasi berasal dari bahasa inggris yaitu emancipate yang berarti “membebaskan budak”. Lalu muncul lagi istilah “kesetaraan gender”, sampai akhirnya “keadilan gender”. Mengenai ekofeminisme, Suzie memberikan pendapat bahwa ekofeminisme berbeda dengan paham feminisme lain, yaitu perempuan berafiliasi dengan alam. Namun menurutnya lagi, ekofeminisme juga mempunyai tugas berat yang dalam istilah beliau jangan kepleset menjadi essensialist. Mengenai komentarnya terhadap Body Memories, Suzie mengungkapkan pendapatnya bila buku tersebut terbagi atas tiga bagian. Yaitu mengenai pemberdayaan mitos-mitos mengenai perempuan, support atau tidaknya agama terhadap tafsir-tafsir ekologis hubungannya dengan perempuan, serta aplikasi di lapangan. Di akhir pembicaraan, Suzie memberikan ungkapan yang menarik yaitu apabila keadilan gender sudah selesai, mungkin ekofeminis akan digantikan dengan ekohumanis. Di tengah sesi diskusi, muncul pertanyaan dan tanggapan yang diajukan oleh peserta diantaranya tanggapan mengenai istilah ekofeminisme sebagai bahasa akademis, yang mungkin istilah tersebut tidak dimengerti oleh sebagian perempuan diluar kalangan akademisi. Pembicara dan beberapa peserta salah satunya Ratna Novianti yang juga menjadi kontributor buku dan juga SJP mengungkapkan pendapatnya. Sementara Ina Hunga mengemukakan bahwa istilah ekofeminisme memang bahasa akademis, namun kita (para akademisi) bukan hadir untuk menggurui para perempuan, karena mereka sudah mempunyai pengetahuan-pengetahuannya sendiri. Di akhir diskusi, Dewi Candraningrum menutup diskusi dengan pendapatnya bahwa buku Body Memories hadir bukan berasal dari abstraksi atau awang-awang. Namun Body Memories sampai kepada para pembaca untuk mendokumentasikan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan. (Indriyani Sugiharto) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |