ICJR Gaungkan Pembaruan KUHAP untuk Keadilan Hak Asasi Manusia dalam Kasus Pidana Hukuman Mati1/11/2024
Pada Rabu (30/10/2024) lalu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meluncurkan laporan tematik keempat tentang hukuman mati dengan menyoroti persoalan pembelaan bagi terdakwa pidana mati di Indonesia. Kegiatan bertajuk "Pemeriksaan Praktik-praktik Pembelaan dalam Kasus Hukuman Mati: Seruan untuk Segera Melakukan Perubahan KUHAP" ini bertujuan untuk menegaskan urgensi reformasi hukum pidana di Indonesia agar memberikan perlindungan hak asasi yang lebih memadai, terutama dalam kasus-kasus yang berisiko tinggi. Acara ini berlangsung secara daring melalui Zoom dan disiarkan langsung di YouTube ICJR. Hadir dalam acara ini sebagai pembicara utama, anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman yang menyampaikan pandangannya mengenai reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Moderator Audrey Kartisha, yang merupakan peneliti ICJR, memandu diskusi yang melibatkan Asry M. Alkazahfa, juga peneliti ICJR, sebagai pemapar utama dari laporan tersebut. Turut memberikan tanggapan adalah Aisya Humaida dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dan Patricia Rinwigati, dosen Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Direktur ICJR, Erasmus Napitupulu, menyampaikan sambutan pembuka melalui perwakilannya, serta Nicola B. McBean, Direktur The Rights Practice dari Inggris, yang turut mendukung acara tersebut sebagai bagian dari proyek Uni Eropa untuk hak-hak terdakwa hukuman mati.
ICJR menyoroti bahwa pembelaan efektif masih menjadi masalah mendasar dalam kasus-kasus pidana mati, dengan mayoritas terdakwa berasal dari latar belakang ekonomi rentan, terutama di kasus narkotika. Berdasarkan penelitian ICJR terhadap 70 terdakwa pidana mati di tingkat pengadilan pada 2023, ditemukan bahwa terdakwa dari sektor ekonomi rendah sering kali tidak memperoleh pembelaan yang optimal. ICJR mendesak agar KUHAP segera direvisi guna mengatasi berbagai kelemahan sistem hukum yang berakibat pada ketidakadilan, khususnya dalam menjamin hak pembelaan yang setara bagi terdakwa pidana mati. Benny selaku anggota Komisi III DPR RI sangat mendukung desakan ICJR untuk mereformasi KUHAP, terutama terkait hak-hak terdakwa dalam kasus pidana mati. Benny menegaskan bahwa kualitas pendampingan hukum bagi terdakwa pidana mati harus diperkuat. Ia mengkritisi praktik yang hanya sebatas menunjuk penasihat hukum tanpa memastikan efektivitas pembelaan yang diberikan, mengingat pidana mati merupakan bentuk hukuman paling berat yang membutuhkan perhatian serius. Revisi KUHAP adalah solusi utama untuk menjamin hak-hak terdakwa dan memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan adil dan transparan, ujar Benny. Mengingat akan berlakunya KUHP baru pada 2026, ia menggarisbawahi pentingnya menjadikan revisi KUHAP sebagai prioritas dalam program legislasi DPR tahun 2025 agar dapat berjalan sinkron. Patricia Rinwigati menyoroti bahwa terdakwa pidana mati sering kali mengalami keterbatasan akses terhadap pendampingan hukum, terutama pada tahap awal seperti penyidikan dan penuntutan. Hal ini membuat hak-hak terdakwa atas pembelaan yang adil tidak sepenuhnya terpenuhi. Ia menggarisbawahi bahwa penasihat hukum yang mendampingi terdakwa pidana mati harus memiliki keterampilan khusus untuk menangani kasus-kasus yang berisiko tinggi ini. Pembelaan yang diberikan tidak boleh hanya bersifat formalitas, melainkan harus memastikan hak terdakwa dijaga secara menyeluruh. Patricia juga menekankan pentingnya jaminan hak pembelaan yang efektif dalam KUHAP, khususnya untuk kasus hukuman mati. Menurutnya, revisi KUHAP perlu mengatur secara spesifik mekanisme untuk memastikan kualitas dan efektivitas pembelaan hukum bagi terdakwa pidana mati, termasuk hak-hak terdakwa untuk menghadirkan bukti dan saksi yang meringankan. Patricia berpendapat bahwa hakim harus lebih proaktif dalam mempertimbangkan latar belakang terdakwa serta kondisi sosial ekonomi mereka, terutama bagi mereka yang berasal dari kelompok rentan. Ini penting agar keputusan hukuman mati tidak dijatuhkan dengan semena-mena tanpa memperhatikan faktor-faktor yang meringankan. Aisya Humaida menyinggung adanya beberapa kasus di mana terdakwa pidana mati mengalami penyiksaan atau tekanan selama proses pemeriksaan, tetapi klaim ini kerap tidak diperhatikan atau ditolak oleh pengadilan. Ia menekankan bahwa KUHAP seharusnya menjamin perlindungan terhadap terdakwa dari penyiksaan atau pemaksaan pengakuan. Webinar ini menekankan perubahan dalam sistem hukum pidana menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa hak asasi terdakwa, termasuk hak atas pembelaan dan proses hukum yang adil, benar-benar terlindungi. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |