Hentikan Kriminalisasi terhadap Aborsi dan Perlindungan Jiwa Perempuan dalam Pandangan Agama4/10/2024
Hak aborsi menjadi sebuah diskursus yang masih menuai pro-kontra di tengah masyarakat Indonesia dengan dominasi teks hukum keagamaan yang tak memihak pengalaman ketubuhan perempuan. Hal ini dibahas tuntas pada sesi diskusi Ajak Speak Up yang telah dilaksanakan pada media siaran langsung Instagram (28/9/2024) oleh media Woman Crisis Center Jombang (WCC Jombang) bersama dengan Mubadalah.id dan Jurnal Perempuan bertajuk “Aborsi Aman dalam Pandangan Agama dan Hukum Positif Indonesia: Pemenuhan Hak Reproduktif bagi Korban Perkosaan”. Media Mubadalah, yang diwakili oleh Vevi Alfi Maghfiroh, menjadi sebuah media diseminasi fatwa KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) yang menghadirkan perspektif perjuangan hak aborsi dengan keberpihakan pada pengalaman perempuan dalam teks keagamaan. Dalam literatur fikih klasik, aborsi menuai banyak pendapat yang berbeda, sebab tidak ada ayat Al-Qur’an yang spesifik membicarakan persoalan aborsi.
Dalil fikih mendasarinya pada ayat-ayat yang membicarakan penghormatan hak hidup manusia, proses penciptaan dan perkembangan janin, dan perintah larangan membunuh anak. Di antara ayatnya adalah Al-Isra ayat 70, Al-An’am ayat 151, Al-Hajj ayat 5, Al-Mu’minun ayat 13-14. Berbagai mazhab menggunakan konsep ruh yang ditiupkan pada janin di hari keempat puluh sebagai manusia yang sudah bernyawa. Implikasinya, kesepakatan mufakat berbagai mazhab adalah bahwa tindakan aborsi akan diharamkan apabila janin sudah berusia di atas 120 hari, meskipun juga ada yang membatasinya pada usia janin di hari keempat puluh. Pada tingkatan dalil ini, tidak ada yang mengkaji kondisi ketubuhan perempuan yang mengandung, dan hanya berbasis pada hak hidup janin sebagai manusia. Abby Gina Boang Manalu sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan membicarakan hak aborsi dalam regulasi yang dipayungi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Hak aborsi yang masuk pada kajian hak Kesehatan Seksual Reproduksi (KSR) pada tingkatan legal dimungkinkan hanya pada dua syarat; dalam persoalan medis ketika kehamilan membahayakan kehidupan ibu dan janin, serta pada kehamilan akibat perkosaan. Meskipun UU TPKS menjadi sebuah terobosan ketika berhasil merevisi batas waktu aborsi--menjadi 14 minggu dari yang tadinya hanya 6 minggu dalam UU Kesehatan--pada kenyataannya, administrasi dan stigmatisasi dalam ranah Aparat Penegak Hukum (APH) dan tenaga kesehatan menyulitkan perempuan dalam mengakses aborsi secara aman dan legal. UU TPKS masih begitu terbatas didiseminasikan di lingkup perdesaan. Ditambah kondisi jarak yang jauh dari fasilitas kesehatan, menjadikan aborsi masih dilakukan secara tidak aman, misal dilakukan oleh dukun kampung, obat-obatan yang beredar secara bebas, dan lain hal. Abby menyatakan, bahwa aborsi ini menjadi persoalan yang begitu berkelindan dalam pengabaian pengalaman ketubuhan perempuan. Keterbatasan hukum positif yang mendefinisikan kondisi aborsi hanya pada dua prasyarat, akhirnya meminggirkan kondisi-kondisi tubuh dan pengalaman perempuan yang kompleks. Seperti kehamilan yang tak diinginkan dan direncanakan, kesehatan mental ibu, hingga jarak kehamilan yang berdekatan. Pada kondisi kehamilan yang tak direncanakan juga memiliki implikasi kedepannya yang mesti dipertimbangkan, bahwa anak yang dipertahankan tersebut akan tercerabut dari akses pendidikan dan ekonomi. Dengan berbagai persoalan yang berkelindan dalam hak aborsi, maka harus ada perubahan paradigma mengenai aborsi dalam kondisi interseksional perempuan, sehingga regulasi harus melibatkan suara dan pengalaman perempuan agar inklusif dalam implementasinya. Vevi juga menyatakan, bahwa selama ini, suara perempuan dalam keagamaan dipinggirkan dalam memperjuangkan hak aborsi. Keterbatasan fatwa yang hanya mempertimbangkan kehidupan janin dan tidak mempertimbangkan pengalaman perempuan, juga menjadi suatu yang diperjuangkan oleh KUPI dengan istilah “Perlindungan Jiwa Perempuan”. Aborsi yang sudah didominasi dengan definisi pembunuhan anak ini kemudian memunculkan istilah tersebut. Bahwa perspektif perempuan dalam membicarakan otonomi ketubuhannya adalah upaya melindungi jiwanya, sebagai hifdzun atau menjaga jiwa menuju ketakwaan yang menjadi hal pokok dalam agama. Dalam kasus korban perkosaan, fatwa ini membicarakan aborsi bukan dalam pandangan halal ataupun haram, tapi pada kemampuan dan tanggung jawab semua pihak untuk melindungi jiwa perempuan, sehingga fasilitas dapat diakses dengan baik demi menjaga jiwa perempuan. Aborsi adalah hak atas tubuh perempuan dan hak asasi manusia. Meskipun sudah ada regulasi yang memayungi hak aborsi, sosialisasi dan perjuangan harus tetap dilakukan untuk mengubah paradigma terhadap tubuh perempuan dan hak aborsi, hingga menjangkau pada pengetahuan seluruh lapisan masyarakat. Belum ada kejelasan regulasi untuk menunjuk layanan kesehatan yang memiliki hak sepenuhnya untuk menangani aborsi, sehingga ketakutan-ketakutan untuk dikriminalisasi begitu tinggi, bukan hanya pada tenaga kesehatan, tapi pada berbagai pihak—aparat penegak hukum, juga pada keluarga dan masyarakat. Nilai patriarki yang begitu mengakar pada kebijakan, kultural, dan lini lainnya membatasi suara perempuan, yang pada dirinyalah kehamilan itu tertanggungkan, tetapi suara-suara lainnya yang malah mendominasi hak dasariahnya. Demikian, dialog publik dan edukasi sebagai perjuangan dalam tingkatan sederhana seperti ini yang akan memungkinkan perubahan paradigma pada hak aborsi dalam sudut pandang yang sensitif gender. (Panca Lintang Dyah Paramitha) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |