Pada Sabtu (05/12/2015), Jurnal Perempuan menggelar acara Pendidikan Publik sekaligus peluncuran Jurnal Perempuan edisi 87 Keragaman Gender dan Seksualitas. Acara yang mengambil tempat di Joglo Patheya, milik keluarga Alm. Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed ini menghadirkan pembicara-pembicara yang membagikan pengetahuan dan sudut pandang mereka seputar keragaman gender dan seksualitas. Sore itu Hendry Yulius Wijaya, alumnus Lee Kuan Yew School of Public Policy NUS, selaku salah satu pembicara mengangkat topik mengenai Queer Theory. Hendry membuka penjelasan dengan menyatakan bahwa, menurut Foucault, umumnya terjadi kesalahpahaman ketika masyarakat berbicara tentang queer. Queer biasanya langsung diidentifikasikan dengan LGBT oleh masyarakat awam padahal bukan LGBT sajalah yang bisa dikategorikan sebagai queer melainkan hampir semua orang mungkin dapat dikatakan sebagai queer. Hendry kemudian membahas bahwa dari sudut pandang sejarah, awalnya hanya ada satu istilah yang menggambarkan segala sesuatu yang dianggap menyimpang yaitu sodomite. Begitu banyaknya istilah yang muncul di masa ini berawal dari keinginan bangsa Barat untuk melabeli dan mengkaji segala sesuatu. Inilah yang membedakannya dengan bangsa Timur di masa lampau. Begitu seksologi menjadi salah satu cabang ilmu yang dipelajari di Barat, para seksolog langsung menginventarisir dan membuat daftar istilah-istilah bagi segala sesuatu yang dianggap menyimpang. Gender pun kemudian menjadi salah satu istilah yang melekat pada manusia sebagai sebuah identitas alih-alih aktivitas. Selain Foucault, Hendri pun mengupas pemikiran Sigmund Freud. Freud, terlepas dari bagaimana ia mengagungkan phallus, ia memberi kontribusi karena dalam teorinya seks diakui sebagai salah satu kebutuhan manusia dan ia pun menyoroti fantasi seksual yang kemudian menjadi salah satu pemikiran yang menginspirasi kajian queer. Pemikiran Freud mengenai fantasi seksual menunjukkan bahwa manusia dapat berganti-ganti peran ketika tengah berfantasi. Tidak selamanya seseorang akan berfantasi sesuai dengan orientasi seksualnya. Ini kemudian dikembangkan lebih lanjut di dalam Sedgewick’s Queer Concept. Bisa saja seorang perempuan yang menyukai laki-laki justru berfantasi tentang tubuh seorang perempuan ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan laki-lakinya. Dari pemikiran ini kemudian dapat disimpulkan bahwa jika peran gender dan orientasi seksual adalah sesuatu yang cair maka fantasi sebagai bagian dari seksualitas itu pun dapat dikatakan bersifat cair. Begitu pula dengan femininitas dan maskulinitas, keduanya dapat dipertukarkan. Inilah yang kemudian memancing pemikiran Deleuze mengenai N-sexes yaitu keinginannya akan dunia tanpa label karena, menurut Deleuze, semuanya tergantung pada kejujuran manusia. Ketika masing-masing manusia berani untuk jujur maka kita mungkin sekali akan menemukan bahwa sesungguhnya kita semua adalah cair. Jika dikaji dari sudut pandang beberapa filsuf dan feminis seperti Beauvoir, Butler, dan Derrida maka jelas bahwa semenjak lahir manusia telah dilabeli dengan stereotip gender tertentu berdasarkan jenis kelamin mereka. Tidak ada sesuatu yang benar-benar alami dalam gender karena gender merupakan proses naturalisasi yang dilakukan oleh mayarakat. Masyarakat terbiasa dengan klasifikasi, pengkotak-kotakkan antara perempuan dan laki-laki beserta peran ideal mereka. Padahal keberadaan LGBT dan kemampuan mereka untuk mengadaptasi peran perempuan dan laki-laki dalam relasi mereka adalah sebuah contoh bahwa klasifikasi yang diciptakan oleh masyarakat dapat di-copy dan tidak eksklusif sifatnya. Gender itu seperti sebuah pertunjukkan sandiwara, menurut Hendry. Berikan setiap manusia sebuah skrip maka ia akan berpakaian dan bertindak sejalan dengan skrip tersebut. (Johanna Poerba) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |