Banyak kebijakan berangkat dari asumsi bahwa seakan-akan semua warga negara adalah laki-laki. Hal ini tercermin dari bahasa yang digunakan juga fasilitas-fasilitas yang disediakan yang ini kemudian menimbulkan masalah. Untuk itu etika publik membantu untuk keluar dari satu arah dalam kebijakan. Demikian pengantar yang disampaikan Haryatmoko saat mengajar di kelas Kaffe (Kajian Filsafat dan Feminisme) yang diadakan Jurnal Perempuan pada Kamis (19/8) di kantor JP dengan tema Kebijakan Publik, Etika Publik dan Konsep Keadilan. Lebih lanjut Haryatmoko mengemukakan bahwa istilah etika publik baru populer sekitar tahun 80-an di Amerika setelah muncul skandal Watergate. Sebelumnya digunakan istilah etika pemerintahan. Etika pemerintahan berorientasi pada kekuasaan sedang etika publik orientasinya pelayanan publik. Di Indonesia etika publik dipopulerkan Sri Mulyani pada awal ketika beliau menjabat sebagai Menteri Keuangan. Haryatmoko menjelaskan menurut definisinya etika publik adalah refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Etika publik fokusnya pada pelayanan publik yang berkualitas, responsif dan relevan. Realitasnya seringkali kebijakan publik tidak relevan, sebatas menguntungkan pembuat kebijakan namun tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Yang tidak kalah penting adalah modalitas etika yakni semua yang menjembatani dari norma ke tindakan. Hal ini menjadi penting karena banyak dari kita mengira jika sudah tahu maka berarti sudah menjalankan, sementara antara tahu dan melakukan terdapat jarak yang jauh. Tekanan etika publik terutama pada menjembatani antara norma atau yang seharusnya dengan tindakan nyata atau yang faktual. Modalitas berbentuk aturan dan sistem, serta tidak bisa hanya disandarkan pada niat baik. Jadi fokus etika publik adalah menyediakan fasilitas, sarana, membuat sistem yang baru supaya ada perubahan. Lebih lanjut Haryatmoko mengungkapkan bahwa etika publik masuk pada etika sosial bukan hanya etika individual sehingga tidak tergantung pada oknum. Bahwa oknum juga berpengaruh tetapi juga terdapat sistem di sana. Perbedaannya etika individual hanya berkaitan dengan perilaku individu dalam masyarakat sedang etika publik berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban dalam bermasyarakat. Jadi objeknya hukum, politik, strategi, praktik kelompok dan komunitas serta institusi sosial. Sedang validitasnya pada etika individual tergantung pada kesahihan premisnya, artinya sejauh dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, maka tidak menjadi masalah. Sementara etika publik tidak cukup hanya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, tetapi harus disetujui sebanyak mungkin anggota masyarakat. Karena itu dibutuhkan mediasi dalam etika sosial atau etika publik. Profesi ikut berperan, misalnya IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dalam bidang kedokteran. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |