Menyambut Bulan Kebanggaan pada bulan Juni 2024, Girls Up Jakarta bekerja sama dengan Komunitas Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia (Komafil UI) menggelar acara bertajuk “Reconstructing the Concept of Gender”. Acara yang diadakan di Auditorium Gedung I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI ini mengundang lima orang pembicara; Stebby Julionatan (Penulis), Nurdiansyah Dalidjo (Penulis Queer), Ayara Bhanukusuma (Film Maker), Yumna Fae (Alumni Ilmu Filsafat UI), dan Ikhaputri Widiantini (Dosen Departemen Filsafat, FIB UI). Paparan pertama disampaikan oleh Stebby Julionatan. Penulis asal Probolinggo, Jawa Timur ini mengacu pada karyanya, Sekong, yang merepresentasikan pengalaman insterseksionalitasnya di kota tersebut. Walau senang berpuisi, Stebby mengaku bercerita dalam novel membuatnya lebih mudah dalam membagikan pengalaman hidupnya. Sebelum Sekong, ia pernah menulis kisah yang serupa dengan salah satu seniman Indonesia; Bunda Dorce. Sebagai seorang transpuan, keluarga Bunda Dorce mengalami kesulitan dalam memakamkannya di tahun 2022 silam. Pasalnya, karena terlahir sebagai laki-laki, keluarga merasa wajib memakamkannya dengan prosesi untuk jenazah laki-laki. Akan tetapi, terdapat pihak-pihak yang juga ingin mempertahankan identitas transpuan Bunda Dorce dan memakamkannya sebagai perempuan. Kisah serupa yang ditulis Stebby dianggapnya sebagai perebutan identitas yang masih saja membebani transpuan bahkan setelah mereka meninggal dunia.
Sedangkan Sekong, bercerita mengenai Lavender Marriage atau pernikahan yang bertujuan untuk menutupi identitas seksual minoritas yang seringkali dilakukan oleh komunitas LGBTQ. Pernikahan ini dapat membantu mereka mengurangi beban penghakiman sosial akibat orientasi seksual dan gender mereka yang tidak heteronormatif. Menurut Stebby, isu-isu seperti ini sangat perlu untuk diarusutamakan melalui karya-karya fiksi. Sehingga gender yang dilekatkan sejak lahir dapat didekonstruksi. Lewat sastra, banyak orang dapat terpapar dengan banyaknya ragam identitas gender yang tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan saja. Paparan kedua disampaikan oleh Nurdiansyah Dalidjo. Biasa disapa Dian, penulis queer ini sedang gemar mengulik sejarah queer di Indonesia. Salah satu dokumentasi pergerakan queer di Indonesia yang didalaminya dapat dilihat pada situs QIA, Queer Indonesia Archive. Menurut Dian, peminggiran Queer di Indonesia dipengaruhi oleh peran kolonialisme atau penjajahan di masa lampau. Demi memudahkan tujuan mereka, penjajah menghomogenkan keberagaman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Sehingga, walaupun keberagaman gender yang sudah ada sejak lama, semua menjadi maskulin, patriarkis, hingga kebarat-baratan. Hal ini menyebabkan terpinggirkannya produksi pengetahuan perempuan dan pengetahuan queer. Kolonialisme turut mengimplementasi konsep barat modern seperti edukasi, irigasi, dan imigrasi. Sayangnya metode-metode ini justru menjauhkan masyarakat, utamanya queer dari rutinitas dan ritual bercocok tanam yang mereka lakukan. Sebagai contoh, kelompok queer seperti Bissu di suku Bugis berperan dalam upacara pemberkatan ladang. Sehingga, adanya irigasi mereduksi peran-peran queer di Indonesia. Hal ini menyebabkan sejarah queer Indonesia terpinggirkan dan bahkan hilang. Pembicara ketiga adalah Ayara Bhanukusuma. Dipanggil Abe, film maker ini mengaku bahwa membuat sebuah film tidaklah mudah karena tanggung jawab yang besar. Padahal film merupakan media yang memiliki pengaruh besar dalam membangun opini masyarakat luas. Ada kalanya pola pikir patriarki dan peran gender tradisional dilanggengkan oleh film. Salah satu keluhan Abe adalah adanya karakter-karakter LGBTQ yang diperankan oleh aktor-aktor cisgender. Adegan-adegan yang transfobik juga masih sering ditemukan di berbagai film di Indonesia. Hal ini tentu tidak bisa merepresentasi pengalaman kelompok LGBTQ dengan ideal. Sehingga pesan dalam film menjadi bias dan negatif. Penyebabnya adalah pembuat film yang melabeli diri sebagai ally atau pendukung karena berteman dengan orang-orang dari orientasi seksual minoritas seperti gay. Abe sangat menyayangkan hal ini karena pengetahuan film maker tersebut tentunya sangat minim. Dalam berkarya, ia mementingkan adanya proses kolektif, transkreatif, dan perlunya edukasi lebih lanjut dalam membuat film yang ramah LGBTQ. Sehingga pesan dalam sebuah film tidak bisa hanya ada di tampilan layar saja tetapi juga proses di belakang layar. Abe berharap aktor-aktor trans berbakat di industri film dapat diikutsertakan dalam memerankan tokoh-tokoh trans di layar lebar. Yumna Fae sebagai pembicara berikutnya menekankan pentingnya inklusivitas dalam penggunaan teknologi. Bentuk gender yang bersifat continuum atau menyeluruh banyak terimplementasi di bentuk-bentuk seni seperti tarian reog, ronggeng, dan bentuk-bentuk seni lainnya. Namun sangat disayangkan bahwa dunia digital belum tentu aman. Sehingga ekspresi kelompok LGBTQ melalui teknologi seringkali terancam. Sebagai solusi, Yumna mengharapkan adanya teknologi yang membebaskan secara reflektif. Pembicara yang terakhir, Ikhaputri Widiantini, membahas mengenai konsep gender yang terbagi secara biner. Menurutnya, gender tradisional yang terdiri dari laki-laki dan perempuan didasari oleh riset-riset peneliti kulit putih yang mendasari temuan mereka berdasarkan kromosom. Sedangkan jika mengacu pada Asia dan Afrika, terdapat klasifikasi di luar laki-laki dan perempuan. Sayangnya ilmu pengetahuan yang penting seperti pemikiran filsafat masih mengutamakan pemikiran laki-laki. Hal ini diakibatkan oleh kondisi sosial para pemikir yang masih menjustifikasi kelompok-kelompok sosial berdasarkan gender biologis saja. Sedangkan secara sosial, lapisan gender sangat banyak. Akan tetapi konstruksi sosial seringkali menutupi lapisan pengalaman yang kemudian meminggirkan orang-orang dengan gender dan orientasi seksual minoritas. Maka, untuk menghilangkan klasifikasi sosial yang berpotensi diskriminasi, cara kerja dualis perlu didekonstruksi agar wawasan tidak didominasi pemikiran yang merasa benar dan menyalahkan serya meminggirkan pemikiran yang berbeda. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |