Pada Selasa (1/10/2024), Universitas Atma Jaya mengadakan Diskusi Kultural ke-6 dengan tajuk “Stigma, Diskriminasi, dan Potensi Pelanggaran HAM pada Anak dan Remaja yang Hidup dengan HIV”. HIV sendiri merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yakni virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan hingga kini masih tinggi jumlah penderitanya. Kegiatan Diskusi Kultural ini merupakan kerja sama antara Pusat Penelitian HIV AIDS Universitas Atma Jaya bersama Aliansi Nasional untuk Anak dengan HIV. Kegiatan ini diselenggarakan secara reguler setiap dua minggu sekali, di setiap hari Selasa pada pukul 13.30 WIB. Diskusi ini berlangsung secara daring dan bertujuan untuk menggali lebih dalam akar stigma yang sering kali dialami oleh anak-anak dan remaja yang hidup dengan HIV. Dalam kegiatan ini, para pembicara yang hadir menyoroti bagaimana diskriminasi sistemik dan persepsi negatif di masyarakat dapat memicu pelanggaran hak-hak dasar bagi Orang Dengan HIV (ODHIV) dan anak dengan HIV kelompok rentan. Acara ini juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) untuk mengurangi stigma serta mengadvokasi kebijakan yang inklusif dan adil, guna menjamin perlindungan dan kesejahteraan anak dan remaja yang hidup dengan HIV. Diharapkan diskusi ini bukan saja memperbincangkan masalah yang terjadi, tetapi lebih pada membangun potensi kerja sama yang bisa dilakukan dalam mengatasi masalah yang terjadi. Kegiatan ini diawali dengan pembukaan, perkenalan, serta pembacaan aturan yang diterapkan untuk mendukung kelancaran diskusi oleh Lenggoh selaku salah satu pengurus Aliansi Nasional untuk Anak dengan HIV. Setelah itu, dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dipandu langsung oleh Ayu Oktariani yang kesehariannya bekerja sebagai Koordinator Nasional pada Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) serta menjadi salah satu pengurus Aliansi Nasional untuk Anak dengan HIV. Bagi Ayu, yang menyenangkan dari setiap masalah yang terjadi adalah semangat yang tak pernah padam dari orang-orang luar biasa yang memperjuangkannya. Mereka jugalah yang selalu setia mengikuti seri Diskusi Kultural, ditandai juga dengan jumlah peserta yang terus meningkat setiap minggunya. Diskusi ini dihadiri oleh kurang lebih 90 peserta yang berasal dari berbagai daerah dan organisasi yang berbeda. Selama pemaparan materi, peserta juga diberikan ruang yang luas untuk saling berinteraksi, menyampaikan pertanyaan, serta menawarkan solusi yang kemudian didiskusikan secara bersama-sama. Pembicara kegiatan ini adalah Putu Elvina, Koordinator Pendidikan dan Penyuluhan pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang merupakan satu dari sembilan komisioner yang ada di Komnas HAM. Beliau membawakan materi terkait peran dan fungsi Komnas HAM dalam penanggulangan HIV serta upaya penghapusan stigmatisasi, diskriminasi, dan pelanggaran HAM terhadap anak-anak yang hidup dengan HIV. Ini menjadi periode kedua bagi Komnas HAM 2022-2027 untuk secara khusus mengatasi masalah HIV pada anak, karena yang lebih sering diperbincangkan adalah ODHIV. Kasus HIV di Indonesia meningkat dibanding tahun 2023 lalu, dan penularan kasus ini didominasi oleh ibu rumah tangga (IRT). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dipaparkan oleh Elvina, jumlah IRT yang terinfeksi HIV mencapai 35 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya seperti suami, pekerja seks, dan kelompok man sex with man (MSM). Tingginya penularan di kalangan suami telah menyumbang sekitar 30 persen penularan HIV ke istrinya. Dampak yang terjadi adalah kasus HIV baru pada IRT bertambah sebesar 5.100 kasus setiap tahunnya. Penyebab tingginya penularan HIV pada ibu rumah tangga karena pengetahuan akan pencegahan dan dampak penyakit yang rendah, serta memiliki pasangan dengan perilaku seks berisiko. Elvina dalam penjelasannya menerangkan lebih lanjut terkait ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV berisiko tinggi untuk menularkan virus kepada anaknya. Penularan bisa terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran, atau saat menyusui. Penularan HIV melalui jalur ibu ke anak menyumbang sebesar 20 hingga 45 persen dari seluruh sumber penularan HIV lainnya seperti melalui seks, jarum suntik, dan transfusi darah yang tidak aman. Dampaknya, sebanyak 45 persen bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV akan lahir dengan HIV juga. Anak-anak tersebut akanakan menyandang status HIV Positif sepanjang hidupnya. Data pada tahun 2023, Kemenkes mencatat kasus HIV pada anak usia 1-14 tahun mencapai 14.150 kasus. Angka ini setiap tahunnya bertambah sekitar 700-1.000 anak dengan HIV. Dalam proses deteksi, Kemenkes mencatat hanya 55 persen ibu hamil yang dites HIV, karena sebagian besar tidak mendapatkan izin suami untuk tes. Dari sejumlah tersebut, sebanyak 7.153 ibu positif HIV, dan 76 persennya belum mendapatkan pengobatan antiretroviral atau ARV. Minimnya mitigasi juga akan menambah risiko penularan kepada bayi. Menurut Elvina, selama sumber infeksi masih tinggi, penularan HIV akan terus terjadi, sebab dari 526.841 orang dengan HIV, baru sekitar 429.215 orang yang sudah terdeteksi atau mengetahui status HIV-nya. Artinya, masih ada 100.000 orang dengan HIV yang belum terdeteksi dan berpotensi menularkan HIV ke orang lain. Akar permasalahan yang memicu tingginya risiko penularan kepada bayi ini disebabkan oleh beberapa faktor penting, ujar Elvina, yaitu berkaitan dengan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap anak maupun ODHIV, belum optimalnya pendekatan berbasis HAM dan prinsip hak anak (non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak dalam penanggulangan HIV), serta kurangnya edukasi dan pencegahan terkait HIV kepada masyarakat. Oleh karena itu, Komnas HAM melalui Undang-Undang (UU) No. 39 Tahun 1999 melaksanakan mandat penyuluhan untuk menyebarluaskan wawasan mengenai HAM kepada masyarakat umum. Tujuannya dalam rangka peningkatan kesadaran masyarakat tentang HAM baik melalui lembaga formal maupun nonformal. Ada juga UU yang menjadi dasar hukum yang memuat tentang peran Komnas HAM terkait dengan HIV/AIDS yakni dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. UU ini menjelaskan peran Komnas HAM adalah dapat mengawasi pelaksanaan hak atas kesehatan bagi ODHIV, memastikan bahwa mereka tidak mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan kesehatan. Dalam penjelasan Elvina, dasar hukum yang memuat peran Komnas HAM tidak hanya mencakup hak atas kesehatan saja, tetapi juga terkait perlindungan privasi dan diskriminasi akibat penyebaran informasi status HIV seseorang. Selain itu juga ditambah dengan peran Komnas HAM tentang disabilitas, dimana Komnas HAM berperan mencegah diskriminasi yang dihadapi ODHIV yang mungkin juga dianggap sebagai disabilitas. Semua tugas dan peran Komnas HAM diperkuat lagi dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR. ICCPR sudah mengatur hak-hak sipil dan politik, termasuk nondiskriminasi dan hak atas kehidupan yang layak. Lebih lanjut, Elvina menjelaskan peran Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM berkaitan dengan isu HIV. Anak-anak sering menganggap HIV sebagai lingkaran setan bahkan aib, sehingga membuat mereka menyembunyikan kondisi mereka. Hal ini berdampak pada akses kesehatan yang terbatas dan memicu rasa takut akibat intimidasi, tekanan psikologis, dan stigma sosial. Anak dengan HIV cenderung mengasingkan diri atau diasingkan oleh lingkungan, yang menyebabkan kekerasan dan masalah mental. Sebagai anak, mereka juga masih bergantung pada orang dewasa. Masalah akan menjadi lebih rumit jika ibu mereka juga terinfeksi HIV, hal ini menciptakan kerentanan ganda bagi ibu dan anak. Tantangan ini memerlukan solusi menyeluruh, karena permasalahan anak dengan HIV sangat kompleks dan membutuhkan penanganan serius dari hulu ke hilir. Di akhir pemaparannya, Elvina menekankan pentingnya pemantauan oleh Komnas HAM untuk mengumpulkan informasi dalam merumuskan dan merevisi kebijakan terkait HIV, serta menetapkan prioritas perubahan dan tolok ukur kinerja dengan memperhatikan standar HAM dan menjaga kerahasiaan melalui informed consent. Ia juga menyoroti mekanisme koordinasi dengan aparat penegak hukum, layanan kesehatan, dan layanan rehabilitasi dalam dugaan pelanggaran HAM, memastikan agar korban tidak menjadi “korban sekunder”. Pemantauan harus bersifat positif dan negatif, melaporkan praktik baik serta mengidentifikasi pelanggaran. Selain itu, pelatihan bagi staf diperlukan untuk meningkatkan keterampilan analisis, pelaporan, dan rekomendasi bagi pemerintah.
Diskusi ini ditutup dengan kutipan bijak dari seorang penulis asal India bernama Amit Ray: “Kegembiraan ditemukan ketika kamu memfokuskan energimu untuk meningkatkan martabat, kapasitas, dan nilai-nilai kemanusiaan.” Diskusi kali ini menekankan pemahaman peserta tentang akar penyebaran HIV pada anak serta kemampuan mereka mengidentifikasi pelanggaran HAM yang terjadi. Diskusi juga menyoroti peran Komnas HAM dalam menangani kasus pelanggaran yang memengaruhi hak-hak dasar anak, stigma, diskriminasi, dan kelompok rentan, sehingga berbagai hak lain juga turut terlanggar dalam konteks HAM dan HIV/AIDS. (Try Suriani Loit Tualaka) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |