
Lebih lanjut Gadis mengatakan dalam pengantar modul, Agustine menceritakan bahwa di Museum Nasional terdapat bukti bahwa sejak berabad-abad lamanya keragaman gender dan orientasi seksual telah dikenal oleh masyarakat. Adanya patung Ardhanary adalah salah satu contoh bukti tersebut. Lebih jauh lagi, Plato dalam bukunya Simposium juga pernah membahas mengenai cinta di antara orang-orang dengan gender yang sama. Begitu juga Sappho, seorang penyair yang berasal dari Pulau Lesbos, yang menulis 12 ribu puisi tentang percintaan sesama jenis dengan indah. Tetapi kemudian tiba-tiba datanglah sebuah institusi perkawinan yang mengatakan bahwa tidak boleh bila perempuan menikahi perempuan atau lelaki menikahi lelaki. Dibuatlah undang-undang, dimulai dari Barat, yang menyatakan bahwa pernikahan dikatakan resmi bila dilakukan di antara seorang laki-laki dan perempuan. Aturan ini pun ada dalam undang-undang pernikahan Indonesia.
Bukan hanya undang-undang, para ilmuwan juga bersikap diam pada keragaman gender dan orientasi seksual. Ketika akhirnya ilmuwan membuka mulut mayoritas dari mereka menentang keragaman tersebut. Setelahnya, media pun ikut-ikutan masuk dalam gembong homophobia. Menjadi sebuah kemunduran ketika masyarakat justru bergeser dari menghargai keragaman ke mendiskriminasi keragaman. Diskriminasi disertai kekerasan budaya, kekerasan institusi, dan kekerasan media melahirkan kekerasan fisik dan mental yang berdampak pada kaum LGBT.
Gadis menyatakan bahwa kesadaran akan adanya kekerasan pada kaum LGBT mengawali kerja sama di antara Jurnal Perempuan, Ardhanary Institute, dan Hivos untuk mengadakan training media pada tanggal 30 Mei 2015 mengenai peliputan LGBT. Melalui training tersebut, Gadis mengatakan bahwa begitu banyak pengetahuan baru mengenai term-term orientasi seksual yang dikenalkan. Ia pun menghimbau para aktivis perempuan dan HAM agar tidak menutup mata pada kasus-kasus diskriminasi LGBT. Menurutnya jika para aktivis hanya memperjuangkan nasib perempuan dan HAM tanpa memperjuangkan hak-hak LGBT, maka mereka tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah berjuang demi HAM. Sebagai penutup, Gadis Arivia mengatakan bahwa media dan wartawan harus kembali lagi pada hal-hal yang mendasar seperti akuntabilitas, fakta, dan kejujuran bukannya sensasi. Dengan demikian maka seharusnya diskriminasi pada LGBT dapat dihindari. (Johanna Poerba)