Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal (YJP) Perempuan memberikan pidato dalam acara pendidikan publik JP 86 SRHR & Perubahan Iklim kerjasama YJP dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Gender (P3KG) Universitas Hasanuddin Makassar pada Senin 14 September 2015 di Gedung Pertemuan Ilmiah Universitas Hasanuddin. Gadis Arivia dalam pembicaraannya mengajak peserta untuk mempertanyakan kembali apakah kaitan antara gender dengan alam, dengan lingkungan, dengan perubahan iklim. Gadis memaparkan bahwa pada abad ke-20 isu lingkungan belum dikaitkan dengan persoalan gender, namun di abad ke-21 isu perempuan ialah juga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang nantinya bisa melahirkan environment justice. Instrumen internasional sudah banyak yang mendorong pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi dalam pembangunan. International Conference on Population and Development (ICPD) pada tahun 1994 menyepakati bahwa kesehatan reproduksi adalah persoalan populasi dan pembangunan. Kemudian instrumen internasional lainnya adalah International Planned Parenthood Federation (IPPF) di tahun 1996 yang menuliskan secara detail 12 poin hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual. “Keberhasilan pemenuhan SRHR adalah salah satu indikator kemajuan pembangunan”, Gadis menambahkan. Instrumen internasional sudah tersedia namun informasi tersebut belum sampai dengan jelas sehingga masih banyak yang belum memahaminya. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hak reproduksi, pembangunan dan perubahan iklim juga masih banyak karena kita belum menganggap hal tersebut penting untuk diperjuangkan. Selama pembicaraannya Gadis juga menjelaskan mengenai JP 86 SRHR dan Perubahan Iklim yang berisi hasil riset dan pengalaman-pengalaman perempuan merawat alam. Misalnya pada tulisan Desintha D. Asriani, Gadis menjelaskan bahwa Desintha menuliskan tentang bagaimana perempuan Molo berjuang untuk mempertahankan tanah adatnya dan bagaimana penambangan bisa berakibat pada kelangkaan air dan kesehatan reproduksi perempuan. Kemudian ada juga tulisan Sri Yuliana tentang kisah perempuan Sumatera Selatan yang harus bertahan hidup dengan kondisi tanah yang sulit ditanami tumbuhan. Dalam persoalan lingkungan seringkali bahkan banyak perempuan yang menjadi aktor karena mereka mempunyai kepentingan yang besar untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga. Jadi tidak heran jika akibat dari perusakan lingkungan banyak dirasakan oleh perempuan. Hal lain yang perlu menjadi perhatian juga ialah megenai pendidikan seksualitas, di dalam JP 86 SRHR & Perubahan Iklim ada tulisan Masthuriyah mengenai SRHR di pesantren. Bagi Gadis seksualitas yang ditabukan akan menjadi persoalan bagi anak-anak perempuan, karena nantinya mereka kurang pengetahuan akan Kespro. Selain memuat artikel, JP 86 juga memuat riset mengenai penolakan RUU KKG. Gadis juga turut menyayangkan tidak lolosnya RUU KKG dalam Prolegnas. Menurutnya UU KKG sangat dibutuhkan sebagai payung hukum untuk semua urusan yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender. “Kajian-kajian tersebut telah didokumentasikan dalam JP 86 dan diharapkan bisa menjadi acuan dalam pembuatan keputusan maupun kebijakan yang berperspektif gender”, Gadis memaparkan. Gadis Arivia juga mengungkapkan bahwa 19 tahun yang lalu sangat sulit untuk mencari peneliti dan penulis kajian gender untuk menulis di Jurnal Perempuan. Bahkan juga sulit untuk menjelaskan kesetaraan dan keadilan gender ke masyarakat dan kalangan akademisi di universitas. Namun seiring dengan berkembangnya pendidikan gender di universitas, kini persoalan kesetaraan dan keadilan gender menjadi lebih diketahui dan dipahami oleh banyak orang. Kita juga perlu berafiliasi dengan laki-laki karena pada akhirnya kemajuan perempuan juga menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |