SOREC (Sociology Research Centre) UGM kembali mengadakan diskusi terbuka pada Kamis, 04 Desember 2014. Diskusi yang dimoderatori oleh Dosen Sosiologi UGM, Desintha Dwi Asriani, merupakan diskusi yang ke empat kalinya diadakan oleh SOREC. Diskusi-diskusi sebelumnya membahas mengenai beberapa topik diantaranya, islam radikal, pemuda dan lingkungan serta citizenship. Sedangkan diskusi ke empat ini membahas mengenai ekofeminisme. Diskusi yang dihadiri lebih dari 30 peserta, baik mahasiswa maupun dosen ini dimulai pada pukul 10.00 WIB di Selasar Timur, Fakultas Ilmu Sosial Politik UGM dengan Dr. Phil. Dewi Candraningrum sebagai pembicara. Dewi yang juga merupakan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan membuka diskusi dengan memaparkan penelitian yang baru-baru ini dilakukannya mengenai perempuan Kendeng yang menduduki wilayah tambang semen. Dewi mengungkapkan, yang dia teliti adalah fakta perempuan Kendeng yang dilihat melalui perspektif gender. Bukan penelitian mengenai semen atau proses hukumnya. Dia menempatkan dirinya sebagai seorang ibu yang mendatangi ibu-ibu lainnya, meneliti rahim mereka, mencatat berapa yang hamil dan perubahan-perubahan apa yang mereka alami. Tegasnya lagi, penelitian ini merupakan penelitian yang sedang hidup, bahkan prematur dan akan terus berkembang. Antroposentrisme Dalam lima tahun terakhir, ukuran pembangunan kita yaitu MDGs (Millenium Development Goals) sangat positivistik dan deterministik, yaitu didasarkan atas manusia. Alam dianggap sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Berkebalikan dengan filsafat ekofeminisme yang menganggap pohon, binatang adalah makhluk yang juga bagian dari diri kita. Bertahun sebelum kita lahir, bila nenek moyang kita hendak menebang pohon mereka melakukan berbagai ritual sebagai penghormatan pada alam. Namun saat ini untuk menemukan pohon-pohon yang besar sangatlah susah. Pada 1970, Foucault dalam sebuah adagiumnya “culture without nature”, Rachel Carson dalam “The Silent Spring”, atau puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Joko Damono menunjukkan pad kita betapa nestapa hidup dimasa manusia menganggap alam bukanlah sebagai makhluk. Sehingga warisan yang kita tinggalkan pada anak cucu kita bukanlah air yang melimpah, udara yang bersih, ataupun pepohonan, karena burung-burung yang menyebarkan vegetasi telah kita penjarakan dalam sangkar-sangkar. Seiring dengan pergantian ukuran pembangunan dari MDGs menjadi SDGs (Sustainable Development Goals) pada tahun 2015, kita ditantang untuk memperbaiki kegagalan paham antroposentrisme, yaitu tantangan untuk mengembalikan eksistensi alam sebagai living being. Contoh yang dekat dalam keseharian kita adalah cara berpakaian. Kita tidak pernah berpikir jauh apa yang terjadi dalam proses pembuatan batik yang kita pakai. Tidak terpikirkan oleh kita mengenai jejak produksi, apakah buruh-buruh yang kebanyakan perempuan dibayar dengan layak? Atau etika konsumsi tentang apakah batik kita menggunakan pewarna alami atau kimia? Ukuran SDGs akan memaksa kita untuk berpikir mengenai tanggung jawab ekologisnya. Dasar Binatang! Pernahkah kita sadar seberapa sering kita mengatribusikan sifat negatif kita pada binatang? Binatang tidak diperlakukan sebagai equal living being. Dalam tulisannya, Dewi mengungkapkan betapa manusia dalam meneguhkan jati dirinya, meminjam metafora-metafora binatang untuk menarasikan perilaku buruknya. Sehingga hampir setiap hari kita menggunakan makian “dasar buaya!” atau “dasar babi!”. Masyarakat modern selalu menempatkan alam dan binatang dalam kaitan instrumentalisasi perikehidupan manusia. Sedangkan perikehidupan selalu dikaitkan dengan kemanusiaan, oleh karena itu identitas manusia selalu diletakkan sebagai superior diantara kedua elemen tersebut. Kita adalah Planet! Dan yang Kita Hadapi adalah Perubahan Iklim “Apa-apa yang ada di dalam diri kita adalah apa-apa yang ada di planet”. Secara metafora, kita bisa mengibaratkan sungai adalah aliran darah kita, tanah adalah daging kita. Dalam materi yang dibagikan, Dewi menuliskan bahwa manusia yang menjadi bagian dari alam memiliki atmosfer ekologis, yang menjadi penghubung dirinya dengan alam, serta menyadarkan dirinya atas kerusakan yang dia perbuat atas alam. Kerusakan-kerusakan atas alam juga salah satunya menyebabkan perubahan iklim. Hal ini yang menjadi tantangan besar modernitas. Dikala media internasional seperti The Guardian, New York Times, selalu menyisihkan satu kolom per minggunya mengenai perubahan iklim/ isu lingkungan, di Indonesia sense of crisis-nya belumlah tinggi. Kita masih sibuk pada upaya modernitas yang gemar menciptakan kebutuhan baru, misal untuk tubuh, kita tidak cukup hanya mandi untuk membersihkan kulit. Kita dipaksa perlu mengoleskan cairan-cairan kimia yang akan diserap oleh kulit, dengan harapan menjadi lebih halus dan cerah. Perempuan dan Bumi Seiring dengan diagungkannya produk kecantikan oleh perempuan, menunjukkan bagaimana perempuan dan bumi dikapitalisasi. Kesadaran dasar dari kerusakan lingkungan adalah memahami perempuan sebagai penerima akibatnya. Disebutkan oleh Dewi, patriarki telah menyusun strategi kategori untuk menjustifikasi eksploitasi, yaitu langit/bumi, pikiran/tubuh, manusia/binatang, ruh/barang. Produk dari kategori tersebut yang akhirnya melahirkan kapitalisasi tubuh perempuan. Lebih jauh Dewi menyatakan bahwa ekofeminisme mensyaratkan demokratisasi sains dan ilmu alam yang selama ini menempatkan alam pada posisi yang tidak jauh lebih tinggi dari dirinya. Alam dan sains, kini bukan semata objek di laboratorium. Kita berkewajiban memberikan kembali hak hidup mereka di bumi, dengan pendekatan yang sensitif dan etis. Dalam hal ini ekofeminisme dibangun berdasarkan akta mengasuh, memelihara dan membangun kehidupan yang berkelanjutan di planet bumi. Dari materi diskusi yang disampaikan, banyak muncul pertanyaan dari peserta. Mulai dari pertanyaan sederhana bagaimana kita harus bersikap di tengah dunia yang sudah didasarkan atas ukuran-ukuran modernisme sampai pada anggapan salah satu peserta mengenai kapitalisme yang di satu sisi dinilai memanjakan perempuan. Menurut Dewi sederhana saja bagaimana kita harus bersikap pada bumi. Mulai dari selalu menghabiskan air yang kita minum, membawa tas sendiri ketika berbelanja, belajar pola hidup subsisten dengan makan makanan lokal/hasil kebun sendiri. Mengenai anggapan kapitalisme memanjakan perempuan, Dewi menolaknya. Menurutnya kapitalisme dan ukuran modernitas menjadikan perempuan sebagai objek nestapa. Seperti disinggung dalam materi yang disampaikan. Perempuan dipaksa untuk terus mengonsumsi kebutuhan-kebutuhan baru agar tubuhnya dianggap “cantik” dalam ukuran modernitas yang seragam dan terkategorisasi. Di tengah diskusi muncul juga pertanyaan dari peserta yang merupakan alumnus Fisipol UGM yang sekarang kebetulan bekerja di salah satu perusahan BUMN. Pertanyaan yang dilontarkan seputar konfirmasi data pada penelitian yang dilakukan Dewi di Kendeng. Konfirmasi data yang ditanyakan lebih mengarah pada proses yang dilakukan oleh perusahaan tambang. Kemudian Dewi menjelaskan dan sekaligus menutup diskusi bahwa data yang ada adalah hasil wawancara dengan ibu-ibu di Kendeng. Dewi juga menegaskan, dia menggunakan matra gender dalam melakukan penelitian pada perempuan yang menduduki daerah tambang tersebut. Sekali lagi, yang menjadi fokus dan ketertarikannya adalah fakta yang ada pada perempuan Kendeng, yang menjadi salah satu catatan pengalaman hidup perempuan. (Indriyani Sugiharto) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |