Dalam rangka memperingati hari perempuan internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya, Komunitas Mahasiswa Filsafat (KOMAFIL) Universitas Indonesia dan Jurnal Perempuan menyelenggarakan diskusi publik dengan tema membongkar maskulinitas filsafat dan ilmu pengetahuan melalui perspektif feminis (26/3). Dalam kegiatan ini, Prof. Dr. Gadis Arivia, dosen sosiologi gender Montgomery Collage, Maryland – Amerika Serikat, yang juga adalah pendiri Yayasan Jurnal Perempuan memberikan kuliah. Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, dalam pembukaan acara ini menyampaikan apreasiasinya terhadap inisiatif KOMAFIL untuk menyelenggarakan kegiatan ini. Menurut Atnike, ilmu pengetahuan masih cenderung meminggirkan perempuan, termasuk dalam perkembangan ilmu filsafat. Sejalan dengan misi Jurnal Perempuan, “pencerahan untuk kesetaraan”, Atnike berharap kegiatan semacam ini akan mendorong ilmu pengetahuan yang akan menghasilkan keadilan dan kesetaraan.
Dalam pembukaan kuliahnya Gadis menjelaskan dominasi patriarki yang sangat dominan di dalam struktur masyarakat dan dalam sistem ilmu pengetahuan. Menurut Gadis, feminisme selalu mengaitkan pemikiran dengan pengalaman kehidupan. Keterlibatan Gadis dalam pemikiran dan gerakan feminis adalah hasil refleksinya selama mengenyam pendidikan di jurusan Filsafat UI. Menurut dia, pemikiran feminis sangat jarang dibicarakan, karena adanya hegemoni, dominasi dan seksisme dalam ilmu pengetahuan dan dalam filsafat. Gadis bertujuan untuk membuktikan malestream philosophy (filsafat arus utama yang maskulin), meletakkan fondasi feminisme, mendekonstruksi filsafat, dan memperkenalkan filsafat feminisme. Menurut Gadis, ilmu filsafat memiliki hubungan yang ganjil terhadap perempuan. Pandangan filsafat terhadap perempuan sering kali bias, seksis, bahkan menyingkirkan perempuan. Dalam etika arus utama dominan yang maskulin, teori etika yang ada sangat tercerabut dari pengalaman ketubuhan dan bersifat abstrak. Perempuan baru masuk pada ranah ilmu pengetahuan pada abad ke-17. Artinya, peminggiran perempuan dari ilmu pengetahuan telah menyebabkan perempuan tertinggal selama ratusan tahun. Salah satu dampak diskriminasi dalam ilmu pengetahuan terhadap perempuan dapat dilihat dalam pembagian ilmu yang diskriminatif di mana ilmu-ilmu yang identik dengan rasio diidentikkan sebagai ranah publik dan ranah laki-laki; sementara ilmu yang identik dengan perasaan atau afeksi diidentikkan sebagai ranah privat dan ranah perempuan. Seksisme dalam ilmu pengetahuan, menurut Gadis, berdampak hingga saat ini. Salah satu dampaknya adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan di berbagai negara, minimnya partisipasi perempuan dalam STEM (SciencE, Technology, Engineering & Math), dan minimnya tingkat partisipasi perempuan di pasar kerja. Gadis memaparkan setidaknya ada 16 filsuf laki-laki yang bertanggung jawab atas penyingkiran perempuan dari kehidupan publik, di antaranya adalah: Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa perempuan adalah manusia yang tidak sempurna sehingga tempatnya adalah pada ruang privat. Descartes juga menyatakan bahwa perempuan tidak mampu di bidang ilmu pengetahuan karena tidak memiliki epistemologi. Sementara Rousseau, dalam bukunya berjudul Emile, menggambarkan perempuan yang ideal adalah perempuan yang mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang berkait dengan seni dan afeksi, serta mempraktikkannya pada ranah privat. Pemikir-pemikir filsafat tersebut, menurut Gadis, menganggap bahwa nalar perempuan tidak lengkap sehingga tidak memiliki tempat di ruang publik. Sebagai respons terhadap penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan, para filsuf feminisme memproduksi pemikiran dan praksis sosial untuk mendorong kesetaraan gender. Secara singkat Gadis memaparkan pembagian perkembangan pemikiran feminisme ke dalam tiga gelombang. Gelombang pertama aliran pemikirannya adalah feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis, dan feminisme sosialis. Sedangkan pada gelombang kedua, pemikiran feminisme yang berkembang misalnya adalah feminis psikonalisa dan feminisme eksistensialis. Feminisme gelombang pertama dan kedua, menurut Gadis, berorientasi pada persoalan kesetaraan (equality). Kedua gelombang ini membicarakan keadilan dalam konteks kesamaan. Sementara dalam feminisme gelombang ketiga berkembanglah pemikiran feminisme multikultural, black feminism, teori queer, dan lainnya. Pada feminisme gelombang ketiga, diskursus keadilan justru dibicarakan dengan menyuarakan perbedaan. Perbedaan perlu dikenali dan diakui untuk mengetahui bahwa perempuan dapat mengalami penindasan yang berlipat karena identitas-identitas sosial yang melekat pada dirinya. Dalam semangat perayaan berbedaan, pemikiran feminisme gelombang ketiga menekankan bahwa perbedaan perlu diakui dan tidak boleh dijadikan dasar untuk menyingkirkan dan mendiskriminasi perempuan dan kelompok minoritas lainnya (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |