Jumat (27/7) Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan atau MAMPU mengadakan acara Brown Bag Lunch Discussion dengan teman "Memahami Disabilitas, dengan Pengalaman Sensitivitas, Orientasi dan Mobilitas". Acara ini bertujuan untuk mengupayakan adanya simulasi sensitivitas, orientasi dan mobilitas yang dipromosikan oleh rekan-rekan dari Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN). Pembicara dalam diskusi ini ialah Chandra Sugarda (Gender, Disability and Social Inclusion Specialist). Chandra Sugarda mengungkapkan bahwa fasilitas bagi penyandang disabilitas banyak yang belum memenuhi syarat, "bisa kita temukan pada beberapa titik guiding block atau tanda penunjuk jalan bagi tuna netra belum memenuhi standar keselamatan", tuturnya. Tak hanya itu, menurutnya masyarakat atau pengguna jalan juga belum mengetahui fungsi dari guiding block yang tersebar di trotoar di Jakarta. Sehingga, tidak heran jika kita sering menemukan guiding block yang justru dijadikan tempat parkir. Chandra menambahkan bahwa tim pembuat penunjuk jalan kaum tuna netra bisa jadi tidak memiliki pengetahuan yang cukup atas tanda yang terdapat pada penunjuk arah dan hal ini memungkinkan tidak terpenuhinya standar keselamatan. Chandra Sugarda menjelaskan bahwa kaum disabilitas bukan hanya mengalami diskriminasi karena fasilitas yang ada tidak memenuhi standar keselamatan, tetapi juga mengalami kekerasan seksual khususnya perempuan dengan disabilitas. Hal ini diperparah dengan adanya anggapan publik dan stigma bahwa perempuan disabilitas tidak cakap hukum sehingga kesaksiannya kerap kali diabaikan. Selain itu, negara dan aparat penegak hukum pun belum memberikan layanan hukum yang ramah disabilitas secara maksimal. Dalam kasus seperti itu, perempuan disabilitas mengalami kesulitan pada saat memberikan kesaksian. Lebih jauh, pelecehan atau bahkan kekerasan seksual yang dialami perempuan disabilitas dianggap wajar oleh masyarakat karena ada label yang diberikan secara sepihak oleh masyarakat atas perempuan disabilitas sebagai aseksual dan hiperseksual. "Perlu diingat bahwa perempuan disabilitas bukan hanya mengalami kekerasan seksual tetapi juga kekerasan psikis, fisik dan ekonomi", tutur Chandra. Meskipun terdapat banyak sekali hal yang belum memenuhi standar kelayakan bagi kaum disabilitas, pergeseran makna atau pemahaman negara atas kaum disabilitas mulai maju. Seperti halnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menekankan landasannya pada hak asasi manusia, menempatkan disabilitas sebagai konstruksi sosial, dan menjadikan disabilitas sebagai urusan seluruh jajaran pemerintahan yang bersifat multi-sektoral. Hal ini tentu berbeda dan merupakan kemajuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang masih dilandaskan pada perspektif rasa belas kasihan, menempatkan disabilitas sebagai masalah dari individu yang bersangkutan, dan menjadikan disabilitas sebagai urusan kementerian sosial saja. Meskipun demikian, implikasi dari kebijakan tersebut belumlah terlihat ada kemajuan secara substansi, nyatanya fasilitas umum bagi disabilitas hanyalah formalitas, stigma masih hidup di masyarakat dan perlindungan hukum bagi disabilitas, khususnya perempuan disabilitas yang rentan terhadap kekerasan seksual belum dihadirkan secara maksimal. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |