
Chandra Sugarda menjelaskan bahwa kaum disabilitas bukan hanya mengalami diskriminasi karena fasilitas yang ada tidak memenuhi standar keselamatan, tetapi juga mengalami kekerasan seksual khususnya perempuan dengan disabilitas. Hal ini diperparah dengan adanya anggapan publik dan stigma bahwa perempuan disabilitas tidak cakap hukum sehingga kesaksiannya kerap kali diabaikan. Selain itu, negara dan aparat penegak hukum pun belum memberikan layanan hukum yang ramah disabilitas secara maksimal. Dalam kasus seperti itu, perempuan disabilitas mengalami kesulitan pada saat memberikan kesaksian. Lebih jauh, pelecehan atau bahkan kekerasan seksual yang dialami perempuan disabilitas dianggap wajar oleh masyarakat karena ada label yang diberikan secara sepihak oleh masyarakat atas perempuan disabilitas sebagai aseksual dan hiperseksual. "Perlu diingat bahwa perempuan disabilitas bukan hanya mengalami kekerasan seksual tetapi juga kekerasan psikis, fisik dan ekonomi", tutur Chandra.
Meskipun terdapat banyak sekali hal yang belum memenuhi standar kelayakan bagi kaum disabilitas, pergeseran makna atau pemahaman negara atas kaum disabilitas mulai maju. Seperti halnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menekankan landasannya pada hak asasi manusia, menempatkan disabilitas sebagai konstruksi sosial, dan menjadikan disabilitas sebagai urusan seluruh jajaran pemerintahan yang bersifat multi-sektoral. Hal ini tentu berbeda dan merupakan kemajuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang masih dilandaskan pada perspektif rasa belas kasihan, menempatkan disabilitas sebagai masalah dari individu yang bersangkutan, dan menjadikan disabilitas sebagai urusan kementerian sosial saja. Meskipun demikian, implikasi dari kebijakan tersebut belumlah terlihat ada kemajuan secara substansi, nyatanya fasilitas umum bagi disabilitas hanyalah formalitas, stigma masih hidup di masyarakat dan perlindungan hukum bagi disabilitas, khususnya perempuan disabilitas yang rentan terhadap kekerasan seksual belum dihadirkan secara maksimal. (Iqraa Runi)