
Purwanti, pembicara dari Sigab menyatakan bahwa setiap perempuan korban kekerasan selalu mengalami trauma berkepanjangan. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan difabel yang tidak masuk dalam ranah peradilan di Indonesia karena kebijakan dan sistem yang tidak berpihak kepada difabel. “Dengan adanya film ini maka diharapkan ada gerakan masif yang berdampak secara sistemik yang mengubah paradigma,”tutur Purwanti. Dilihat dari sisi pembuatan film itu sendiri, Purwanti melihat adanya kemanfaatan yang besar dengan hilangnya ego sektoral di kalangan difabel. “Film ini juga salah satu hasil refleksi sehingga bermacam-macam jenis difabel turut berpartisipasi dalam pembuatan yakni difabel daksa, netra, rungu wicara dan cerebral palsy. Kami bekerja sama dengan nondifabel dan terjadi proses peleburan lalu berpikir bagaimana film ini dibuat mudah diakses bagi semua,”tambah Purwanti, pemeran film dan pelaku advokasi untuk korban.
Pada sesi diskusi, Elizabeth Yulianti Rahardjo, pegiat Jejer Wadon dari LPH-YAPHI menanyakan tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pendamping perempuan difabel yang berhadapan dengan hukum. Purwanti menjelaskan bahwa saat ini belum ada Standard Operating Procedure (SOP) yang menjadi pijakan bagi pendamping perempuan difabel yang berhadapan dengan hukum. Purwanti juga mengemukakan bagaimana saat ini sistem peradilan di Indonesia dalam menangani korban kekerasan masih mengacu kepada umur berdasarkan kalender, bukan usia mental. “Melihat sebuah karya dari unsur intrinsik dan ekstrinsik, film Pencari Keadilan bisa dikatakan berhasil menyampaikan pesan tentang advokasi perempuan korban kekerasan seksual ,”pungkas Fanny Chotimah pada diskusi yang dimoderatori oleh Astuti Parengkuh. (Astuti Parengkuh)